Terkadang yang kita sangka baik ternyata itulah yang akan membuat kita terjerumus kedalam jurang hitam penuh permasalahan. Itulah kiranya gambaran polemik perihal akan dibabatnya hutan untuk syahwat serakah para penguasa yang kiwari makin saja membuat resah masyarakat adat di Indonesia. Wacana pembukaan lahan hutan 20 juta hektare (ha) oleh pemerintahan Prabwo-Gibran dalam menyongsong program swasembada pangan dan energi menjadi hal yang harus dipertimbangkan dan terus kita kritik bersama.
Semenjak diumumkanya pembukaan lahan 20 juta hektare (ha) hutan di Indonesia, semakin hari semakin banyak orang yang mengecam kebijakan tersebut. Dalam klaim Raja Juli Antoni Menteri Kehutanan saat diwawancarai awak media Senin (30/12) tahun lalu, Raja menegaskan menurutnya, rencana itu guna memanfaatkan lahan hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi dan air. Baginya rencana tersebut memang telah menjadi salah satu misi pemerintahan Prabowo-Gibran yang dimuat dalam kedelapan misinya yang diberi nama dengan Asta Cita.
Kendati demikian persoalan pembukaan lahan tersebut tidak boleh hanya berdasar pada pemanfaatan hutan cadangan yang kemudian diimplementasikan untuk swasembada pangan dan energi. Kita kembali mempertanyakan pembukaan lahan tersebut apakah betul-betul dapat memberikan manfaat ketimbang kerugianya. Kita berkaca program lumbung pangan atau Food Estate pemerintahan sebelumnya. Hasil panen dari Food Estate tersebut gagal sampai kemeja makan masyarakat, justru malah sebaliknya beberapa kawasan harus babak belur karena perampasan lahan dan kerusakan lingkungan lantaran proyek ini.
Meskipun lahan tersebut telah teridentifikasi dan dikategorikan sebagai kawasan hutan cadangan. Akan tetapi ini adalah persoalan akan hilangnya kembali kawasan hutan atau sering kita sebut dengan istilah deforestasi. Istilah deforestasi sendiri mulai popular saat adanya program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dalam COP 13 di Bali. Kemudian oleh Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dijelaskan deforestasi ialah suatu perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.
Tentu fenomena deforestasi ini harus terus kita kaji mengingat dampak yang ditimbulkan cukup fatal. Mengutip data dari World Resources Institute (WRI) deforestasi dapat menciptakan tingkat tekanan panas yang berlebih dan berbahaya di daerah yang beriklim Tropis. Kembali mengingat menurut BMKG letak negara Indonesia yang dilalui oleh garis khatulistiwa itu berarti Indonesia memiliki iklim Tropis, jelas segala hal yang mengakibatkan deforestasi di negara ini perlu kita kritisi dengan lantang. Ditambah kritik dari Indonesian Climate Justice Literacy (ICJL) juga menilai kebijakan tersebut merupakan perwujudtan dari tindakan bunuh diri ekologi.
Tidak hanya dapat menimbulkan panas berlebih di daerah Tropis, menurut data dari The Indonesian Institute (TII) hasil penelitianya mengungkapkan deforestasi juga akan berakibat terhadap kelestarian lingkungan dan juga kehidupan masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Ketika rencana deforestasi dilakukan dengan skala besar temuan TII juga menjelaskan dapat berisiko menggusur masyarakat adat dari tanah mereka, yang hingga kini belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Dimana saat ini konflik agraria juga belum mampu di selesaikan dengan baik oleh para pemangku kebijakan yang ada.
Melanjutkan dampak akibat deforestasi tersebut adalah persoalan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem alami. Menukil data yang dikumpulkan oleh Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) setidaknya terdapat 11.137 keanekaragaman hayati yang berhasil dikumpulkan. Mengingat negara Indonesia termasuk salah satu negara dengan mega-biodiversitas terbesar di dunia, tentu perihal deforestasi adalah momok yang nyata bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati tersebut.
Perihal deforestasi diperparah ketika mengingat kembali terhadap pidato kepala negara terpilih Presiden Prabowo Subianto (30/12) tahun lalu saat mencanangkan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit, Prabowo dengan tegas berdalih yang kurang lebih masyarakat tidak perlu khawatir soal deforestasi karena sawit termasuk pohon yang menyerap karbon dioksida. Hal tersebut tentu keliru jika kita melihat makna antara perkebunan dengan hutan. Alih-alih dapat menyerap karbon dioksida pernyataan tersebut justru lebih cepat menyerap kemarahan di tengah masyarakat.
Oleh karena itu mari kita bersama sama kembali mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam membangun swasembada pangan dan energi apakah sudah benar-benar tepat dengan membuka 20 juta hektare (ha) lahan hutan yang ada. Jika melihat dampak yang ditimbulkan hal tersebut sangat berisiko. Selama ini kegagalan demi kegagalan para pejabat publik dalam merealisasikan kebijakanya membuat traumatik sendiri di tengah masyarakat. Selama itulah kebijakan yang bisa beresiko besar haruslah menjadi catatan dan koreksi bagi para pemangku kepentingan.
Kita tidak menginginkan Indonesia yang terkenal dijuluki sebagai Zamrud Khatulistiwa karena kekayaan alam yang melimpah, justru kini julukan tersebut semakin terancam karena kebijakan yang tidak pro terhadap keberlangsungan lingkungan. Kekayaan alam yang besar tentu mejadi aset penting untuk kita olah sebagai bahan dalam mensejahterakan masyarakat. Mengolah bukan berarti merusak/mengubah alam tersebut akan tetapi mengolah diartikan sebagai pemberdayaan kawasan agar produktif dengan tetap memenuhi prinsip-prinsip ramah lingkungan.-