Bahasa Indonesia, bahasa yang kadang bergerak cepat tapi menimbulkan masalah. Bahasa yang kadang lambat tapi mengingatknya usia dan nasibnya. Di media sosial, bahasa Indonesia melesat dengan kejutan-kejutan. Misalnya kita memperoleh perubahan makna akan obat.
Kita perlu melupakan dulu seteru-seterunya. Mari mengingat lagi apa saja yang kita mudah menemukannya di beranda, halaman, kolom, atau ruang-ruang di dalamnya. Selain memunculkan kosa kata baru, para pengguna media sosial kerap membikin ungkapan-ungkapan yang sungguh jenaka. Media ini menjadi tempat menyenangkan, pelarian dari hiruk pikuk atau kesemrawutan dunia nyata bagi banyak orang.
Frasa-frasa seperti “di luar nurul”, “tidak habis fikri”, dan “gak masuk akmal” adalah pelesetan yang meski tanpa konteks tertentu, terdengar dan terbaca lucu. Para penduduk Indonesia pada umumnya memiliki nama-nama itu. Anggaplah itu nama pasaran. Apa guyonan macam apa ini menyeret kita ke persoalan kependudukan? Jika ada sensus nama paling banyak digunakan untuk bayi-bayi kelahiran tahun sekian, umpamanya, terbitlah nama-nama itu di urutan atas.
Ketika menjumpai sesuatu yang menakjubkan, semacam ketampanan atau kecantikan, hingga kemampuan bernyanyi seseorang, warganet akan merespons berupa kalimat dengan menyisipkan ungkapan “ga ada obat”. Ini semacam ungkapan hiperbolis. Mulanya adalah “candu”. Contoh: “senyumnya candu banget” atau “suara seraknya bikin candu”. Ungkapan yang timbul setelah “obat”, yakni “kayak apotek tutup”. Kenapa? “Ga ada obat.” Lalu, kenapa? “Bikin candu.”
Bahasa dan Pengetahuan
Kata “obat” sebagai bahasa nyatanya telah tergunakan sejak lama. Dalam naskah kuno Nusantara, naskah berhuruf Arab-Melayu atau Arab-Jawi, kita akan menemukan susunan huruf alif, wau, ba, dan ta, lalu terbaca “ubat” atau “obat”. Entah, konsep ini berasal dari masyarakat kita atau adopsi dari budaya lain. Yang jelas, dalam bahasa Jawa, obat disebut tamba.
Lalu, apa bedanya dengan penawar? Bukan, ini lain soal si penawar dalam transaksi jual-beli. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima mendefinisikan “Penawar” seolah tradisional, klasik, bahkan berbau klenik: obat dan sebagainya untuk menghilangkan daya kekuatan bisa (racun, penyakit, dan sebagainya); mantra (jampi) untuk menawar, menawari, atau menawarkan.
Arti “obat” terkesan mentereng, sebab banyak pihak umum menggunakannya dalam kimia dan farmasi: bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit; bahan kimia (untuk pelbagai keperluan); mesiu; peluru; guna-guna.
Indonesia yang katanya subur tanahnya ini kaya akan tanaman obat. Kita banyak menjumpai buku-buku herbal atau mungkin biasa membaca ihwal tanaman lewat majalah Trubus. Simbah-simbah kita masih akrab dengan obat herbal dengan cara meracik sendiri dari kebun sekitar. Kini, kita tidak lagi ambil pusing dan bergerak lebih. Sakit telah menghubugkan jalan alternatif. Mulai mencari obat di warung, apotek, hingga datang ke puskesmas.
Bacaan Anak
Satu cerita anak berjudul Hari Hari Cerah di Ambang Kehidupan Desa gubahan Andy Wasis (1982) memberi gambaran mengenai kehadiran obat dan fasilitas kesehatan di lingkungan desa. Mulanya, warga menempuh jalur pengobatan lokal, dengan ramuan tanaman herbal dan sedikit mitos bahwa jin di rawa-rawa telah mengganggu si sakit.
Adanya tenaga kesehatan (dokter puskesmas) memberi tahu bahwa itu tidak benar. Penyakit itu datangnya dari virus dan bakteri sehingga perlu disembuhkan dengan obat dan upaya pencegahan dengan memunculkan bahan kimia ke dalam rumah seperti formalin untuk mengusir lalat, alih-alih menerapkan pola hidup bersih.
Baca Juga: Rumah dan Kebermaknaan
Buku yang terbit pada Orde Baru itu memang seolah tengah menanamkan ideologi pada kalangan anak. Bahwa ilmu modern adalah segalanya dan tinggalkanlah pengetahuan lokal. Perlahan pola pikir tersebut menihilkan bahasa itu sendiri. Ketiadaan keyakinan akan obat-obatan herbal menjadikan masyarakat kita tidak lagi membutuhkannya. Sehingga sudah semakin jarang yang mau memelihara tanaman. Bahasa itu hilang, pengetahuan itu hilang, dan alam itu pun “hilang”.
Obat dan Politik
Hal sesederhana ini, segala rasionalisasi ini mengarahkan kita pada industrialisasi belaka. Kebutuhan akan obat mengantarkan kita pada apotek. Kita lalu ingat penggalan sajak Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Aku dan Saudaraku”. Kita membaca penggalannya: Sakitku yang tak sembuh/ adalah untuk merasakan/ sakit saudaraku/ yang tak mampu beli obat/ di apotik.
Obat itu apotek. Apotek seakan jadi penyembuh adalah sebuah keniscayaan. Sayangnya, sering harganya tak terjangkau. Ilmu dan pengetahuan memang sudah maju dan kita mesti menghargai modernitas. Namun, mengapa membeli, alih-alih menemukan atau mencipta?
Kita memang benar-benar telah kehilangan sesuatu yang tidak kita sadari. Setelahnya, kita bergantung pada sesuatu dari luar diri kita, alam kita: sesuatu yang telah dikapitalisasi bernama obat.
Kemudian, kita boleh menonton ulang debat-debat Pemilu 2024, utamanya yang terakhir. Untuk mengatasi isu kesehatan, ada tawaran dari ketiga pasangan calon (paslon). Ada yang ingin membangun 300 fakultas kedokteran; satu desa, satu faskes, satu nakes; dan penanganan kesehatan lintas sektoral.
Manusia dan Obat
Keseharian manusia kini tampak begitu padat, sekalipun dimudahkan dengan teknologi. Banyak gerak salah, sedikit gerak makin bermasalah. Hari-hari ketika kita mudah mengonsumsi obat, saat sakit kepala atau flu, membuat kita tidak asing dengan produk farmasi itu. Ini semata agar kegiatan kita tidak terganggu sebab ada setumpuk urusan menunggu.
Banyak bermunculan obat tidak hanya sebagai penawar rasa sakit, tetapi juga mengatasi pelbagai hal, seperti gangguan tidur, ingin menambah tinggi/berat badan, hingga menjaga tubuh agar tetap fit atau prima. Inilah yang juga pernah dijadikan Beni Satryo sebagai judul puisi, “Obat Tidur”. Kutipan yang menyadarkan kita: Di atas dipan. Seekor Tidur/ hendak melahirkan./ Kantuk di tubuhnya/ terjaga semalaman.
Manusia butuh sehat, bahkan dituntut harus selalu sehat, bugar, dan prima, untuk tetap bekerja. Manusia hari ini serupa mesin yang membutuhkan pelumas dan baterai cadangan. Akibatnya, mengonsumsi suplemen dan vitamin dalam bentuk obat alih-alih menerapkan pola hidup sehat, berolahraga, dan kembali pada alam yang menyediakan segala.
Manusia, masih manusiakah kita ketika sudah dengan begitu mudah memasukkan benda asing ke dalam tubuh dan bekerja tanpa henti tanpa istirahat? Lagi-lagi, Subagio Sastrowardoyo telah menyajikan ini di larik-larik terakhir puisinya yang berjudul “Istirahat”. Kita membaca dan merenungkan: Istirahat berarti menunda saatku mati,/ sebab dalam mati aku takut akan disibukkan/ dengan teka-teki.[]