Sejarah Orang Biasa dengan Kisah Menggugah

Oleh rambak.co
9 Juli 2024, 09:00 WIB

Sejarah yang menggambarkan fenomena zaman, tidak harus selalu bercerita dari pusat kekuasaan atau membahas tokoh-tokoh besar. Kisah orang-orang tanpa nama besar, namun berdampak hebat, pernah ditulis oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya yang terbit menjadi buku berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888.

Para kiai dan petani yang menjadi tokoh penting dalam disertasi Sartono memang bukanlah sosok heroik di narasi utama sejarah masa kini, tetapi efek tindakan mereka tak lekang oleh zaman. Hal itu menjadi dasar pendapat jurnalis senior Seno Joko Suyono di tulisan berjudul 100 Tahun Sartono yang Sepi.

Tulisan itu menjelaskan, sejarah yang terungkap dari disertasi Sartono bisa bertaut dengan kisah perlawanan di belahan Bumi lainnya, meski tokohnya bukanlah pemain utama di pusaran kekuasaan pada masa itu. “Disertasi Sartono merupakan sumber yang kaya. Yang tak habis-habisnya bisa dipakai untuk mengkaji fenomena zaman. Bahkan zaman sekarang pun,” tulis Seno.

Menulis sejarah orang-orang biasa pernah dilakukan oleh wartawan dan penulis Muhammad Radjab dalam bukunya berjudul Semasa Kecil di Kampung. Buku autobiografi ini merupakan rekaman sejarah masa kecil penulisnya di sebuah kampung dekat Danau Singkarak, Sumatera Barat.

Salah satu tulisan di Tempo tentang Muhammad Radjab bertajuk Jurnalis dan Penerjemah dari Minang menerangkan, buku itu menggambarkan kehidupan di wilayah Minangkabau pada awal abad ke-20. “Buku itu mengisahkan kondisi warga Minang secara detail, pergolakan pemikiran serta dinamika kehidupan,” tulis laporan tersebut.

Hal serupa juga dilakukan oleh jurnalis senior, Nezar Patria. Ia menuliskan kisah tentang perubahan sosial penduduk di kampung halamannya, Mulia, Banda Aceh dalam tulisan berjudul Sejarah Mati di Kampung Kami (2023). Tulisan ini disebut-sebut sebagai salah satu reportase terbaiknya selama berkarir di Tempo.

Baca Juga: Antara Partini, Widijawati, dan Balekambang: Penulis dan Karya Besar yang Terlupakan(?)

Tulisan itu menceritakan Nezar mengunjungi rumah sekaligus kampung halamannya di Aceh yang baru saja dihantam ombak Tsunami pada 2004 silam. Di awal pembuka tulisan, ia mengungkapkan kesannya dalam ekspresi muram, terkejut, sekaligus sentimentil. “Tak terbayangkan: rumah itu kini musnah! Sebulan lalu saya masih bisa tidur nyenyak di lotengnya. Kini tinggal selembar dinding beton menuding langit.”

Cerita berlanjut pada kenangan tentang rumah dan kampungnya. Nezar mengisahkan geografi rumahnya yang terletak di pinggir kota. “Berdiri sekitar 35 tahun silam, rumah kami termasuk pionir. Dulu tempat itu termasuk pinggir kota. Hanya ada satu-dua rumah, selain gubuk kayu peninggalan keluarga ibu. Selebihnya rawa. Baru sepuluh tahun kemudian daerah itu menjadi hunian padat. Rumah-rumah muncul berderet dengan batas tembok yang sesak.”

Kisah tentang awal rumahnya berdiri, menunjukkan sejumlah permasalahan di kota kampung halaman Nezar yang merupakan jantung pemerintahan dan perdagangan Provinsi Aceh. Terdapat persoalan kepadatan penduduk dalam fragmen kisah itu. Ada juga masalah perubahan tata guna lahan menjadi pemukiman.

Selain itu penduduk kampungnya dikisahkan cukup majemuk dengan beragam latar belakang. Mereka diceritakan juga memiliki jalinan arus sejarah besar seperti Perang Aceh. Pada masa itu, terjadi perpindahan penduduk dalam skala besar. Termasuk yang terjadi pada leluhur tetangganya.

“Asal-usul warga kampung kami cukup beragam. Umumnya berasal dari berbagai daerah di Aceh. Tetangga belakang rumah saya keluarga Cina yang tiba di kampung itu lebih dulu dari kami. Leluhur A Lung, tau ke tahu tetangga kami itu, datang ke Aceh masih semasa Perang Aceh yang garang itu.”

Masalah kependudukan lantas diikuti dengan konsumsi energi penduduk sekitar. Nezar menerangkan kampungnya sudah mendapat penerangan listrik. Namun listrik di sana acapkali hidup-mati dan tidak bisa terus diandalkan. Solusinya adalah penerangan lewat penerangan tradisional, yakni lampu petromaks.

“Dulu listrik kerap padam di kota kami. A Lung sering menghidupkan petromaksnya saat listrik mati. Dia membawa lampu petromaks saat listrik mati. Dia membawa lampu pomp aitu ke pintu menusah agar warga yang sedang salat Maghrib atau Isya tidak beribadah dalam gelap,” ujarnya.

Perubahan sosial yang terjadi di kampungnya memiliki keterkaitan dengan berbagai sisi kehidupan, termasuk sejarah Aceh dari narasi besarnya. Kisah di tulisan itu bisa mewakili apa yang terjadi pada Aceh, atau bahkan melengkapi kepingan sejarah lain di Serambi Mekah.

Usai menceritakan segala kenangan dan amatan tentang kampungnya di masa lampau, Nezar menutup kisahnya dengan melankolis dan getir. “Bau laut kini tercium sampai ke bekas pemukiman warga kota yang porak-poranda itu. Pahit. Saya mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah.”[]

M.T. NanditoArsiparis dan Peneliti Partikelir.

Artikel Terkait