Tergiur pada bacaan anak terjemah adalah keniscayaan. Buku-buku itu didatangkan dari beragam negara, membawa kondisi geografis, sejarah, kebudayaan, dan sederet pernak-pernik tempat buku berasal. Beberapa judul impor yang masuk dalam lemari-lemari Indonesia: Taman Rahasia (1987) dan A Little Princes (2010) gubahan Frances Hodgson Burnett, Pangeran Kecil (1981) gubahan Antoine De Saint-Exupéry, The Tale of Despereaux (2005) gubahan Kate Dicamillo, The BFG (2010) gubahan Roald Dahl, A Wrinkle in Time gubahan Madeleine L’Engle, Pippi Longstocking (1950) gubahan Astrid Lindgren.
Selesai membacanya, kita bisa terperangah pada isi cerita dan gambaran yang tidak ditemukan pada tanah Indonesia. Cerobong asap, salju, gaun, jaket musim dingin, hidangan penutup, pepohonan, dan kastil-kastil, disuguhkan pada hampir banyak kisah. Pembaca dibuat kagum hingga pengkultusan bacaan impor, menyisihkan buku-buku lokal. Yang lokal, dianggap tertinggal, membosankan, dan menggurui.
Bunga-Bunga Hari Esok (cet.8, 2007) gubahan Sasmito, terbitan Balai Pustaka, adalah salah satu dari banyaknya buku lokal yang didaku sebagai bacaan anak. Buku dicetak tahun 1983, di masa pemerintahan orde baru. Masa yang dipercayai sebagai rezim bacaan. Buku-buku diproduksi dalam jumlah besar. Namun, yang banyak disisipkan bukan imajinasi, cara berpikir ilmiah, daya kritis, melainkan program pemerintah, pujian untuk pemerintah, dan beberapa kata “Pembangunan” juga “Proyek”.
Membaca Bunga-Bunga Hari Esok, membuat kita tersenyum lelah. Sepanjang cerita, pembaca dihidangkan segudang nasihat, setumpuk program pemerintah, dan superioritas kota. Buku seperti alih wahana program kerja, juga mirip buku mata pelajaran, penuh tanda seru.
Pada setiap babnya terselip beragam petuah: “Sekolah tidak mengenal umur, Gurit. Bahkan anak muda sekarang wajib dapat membaca dan menulis. Sebab, kepadanyalah pundak kepemimpinan kelak diserahkan oleh para pemimpin kita.”
Lalu, disusul program-program“Untuk proyek pengerasan jalan, desa Merbu mendapatkan ‘Ban-Des’, Bantuan Desa. Juga nanti akan ada proyek perintis pemugaran perumahan desa. Ini juga mendapatkan bantuan dari Pemerintah, yaitu dari Departemen Pekerjaan Umum.” Lalu pujian untuk pemerintah: “ Kurang apa coba, Pemerintah itu? Semuanya serba dicukupi.”
Pembaca tentu dibuat kesal dan jemu karena tak henti-hentinya digurui, diperintah dan didikte. Kita boleh kesal dan sedikit marah-marah. Bacaan anak yang semestinya menawarkan kesenangan dan pemahaman tentang kehidupan, seperti yang dijelaskan Burhan Nurgiyantoro dalam Sastra Anak (2014) justru menjadi momok juga beban. Pembaca seperti memikul negara.
Meski begitu, ditengah sederet alasan tidak menariknya buku lokal dibanding buku terjemah Inggris, Amerika, Kanada dan Jepang, buku lokal tetap lebih baik ketimbang impor. Buku lokal mengandung khazanah pengetahuan yang lebih dekat dengan mata, telinga, dan pikiran pembaca Indonesia. Di sana, kita menemukan kebudayaan, gambaran geografis juga kondisi psikologis masyarakat Indonesia. Pengetahuan yang tidak ditemui dalam buku impor.
Misalnya dalam Bunga-Bunga Hari Esok, kita mengenal nama-nama yang dekat dengan telinga dan lidah: Mbak Kinanti, Mas Asmaradhana, Mas Laras, Mas Kumambang, Mbak Slendro, Gurit, Bawang, Pucung, Titi Larasati, Dewi Sri dan Galuh Parikesit. Nama-nama tersebut lebih mudah didengar dan diucapkan ketimbang Meg Murry, Charles Wallace, Calvin O’Keefe, Miggery Sow, dan Despereaux Tilling.
Dewasa ini, persoalan nama anak menjadi perbincangan cukup ramai. Nama-nama yang dulu terdengar biasa saja kini kerap dimodifikasi agar terdengar Kebarat-Baratan atau ke Arab-Araban. Alhasil, pengucapan dari para pendengar kerap keliru. Orang tua mungkin berharap dengan nama yang unik anak bisa tampil mencolok dan lebih mudah dikenal, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Andina Dwifatma dalam Menua dengan Gembira (2023) menjelaskan bahwa orang dengan nama yang mudah dibaca, secara umum dipandang secara lebih positif ketimbang mereka yang namanya ribet.
Lalu, dalam buku lokal, ikatan sosial yang disuguhkan lebih nyata dan dekat dekat pembaca. Masyarakat desa dalam Bunga-Bunga Hari Esok menceritakan kisah Gurit dan Pucung, anak yatim piatu yang diasuh oleh warga desa. Secara bahasa, kata yatim piatu merujuk pada ketiadaan orang tua untuk merawat dan bertanggung jawab pada anak. Tetapi, di desa, kata yatim piatu berubah arti menjadi milik bersama. Warga desa bahu membahu menjadi wali bagi Gurit dan Pucung. Desa, menjadi miniatur keluarga.
Dalam buku tersebut, kita juga dikenalkan budaya lalu keadaan geografis Indonesia: Kesenian jatilan, ketoprak, lagu Sunda Bubuy Bulan, suara seruling, gemericik air pancuran, Gunung Ungaran, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Muria, suara serangga malam, burung rajawali, nama-nama kota di Indonesia dan sederet pengetahuan lokal lainnya. Anak menjadi tahu kekayaan negeri juga nilai kebudayaannya. Pengetahuan yang absen dalam buku-buku impor.
Pada akhirnya, kita tidak lagi kesal atau jengkel ketika berhadapan dengan buku-buku lokal. Soal imajinasi dan gaya bercerita, bisa terbenarkan tidak lebih unggul dari bacaan-bacaan terjemah, tapi soal penanaman nilai kebudayaan dan kontekstualisasi, buku-buku lokal jelas lebih baik dari impor. Sebesar apapun kritik yang dilontarkan untuk bacaan lokal, disanalah tersimpan harta karun pengetahuan yang dekat dengan kehidupan pembaca. Kita boleh tetap bangga dan optimis pada bacaan-bacaan lokal.