Rambak.co -Indonesia, negeri penuh budaya. Dari sabang sampai merauke, semua berlomba menjaga warisan leluhur. Tapi di antara gamelan, wayang, dan sastra lisan yang makin sepi peminat, lahirlah satu budaya baru yang tak kalah “nyeni” budaya sound horeg dari Prindavan. Musik horeg, atau sering disebut juga “sound horeg,” adalah gaya musik remix yang populer di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Musik ini dicirikan oleh penggunaan sound system berdaya tinggi yang menghasilkan suara bass sangat keras dan volume yang ekstrem, seringkali dalam acara-acara informal seperti hajatan, pawai, atau pasar malam dengan lagu-lagu remix berintensitas tinggi.
Ya, ini bukan sekadar hiburan. Ini adalah pawai decibel, parade dentuman, dan festival kebisingan yang entah sejak kapan dijadikan ajang ekspresi jiwa muda. Kalau seni itu menenangkan, budaya ini justru membangkitkan emosi—terutama bagi tetangga yang ingin tidur, lansia yang ingin istirahat, dan bayi yang baru saja lelap.
Bayangkan: di bawah panas terik, tubuh-tubuh berkeringat, namun tak ada yang peduli. Lampu-lampu kelap-kelip bergoyang seperti diskotik keliling, padahal ini cuma hajatan di gang ataupun lapangan, bukan panggung DWP. Musik remix koplo berdentum tanpa ampun, dibawakan oleh DJ tanpa mixer, tapi penuh percaya diri. Volume ditarik habis-habisan sampai speaker jebol, tiang tenda bergetar, dan genting tetangga ikut retak.
Di tengah hiruk-pikuk itu, ada seseorang berdiri mematung. Matanya kosong. Bukan karena terharu, tapi karena otaknya kejut pendek akibat frekuensi suara yang menembus rongga dada dan memantul di dinding gubuk.
Sambil menggenggam es teh dalam plastik, ia mendengarkan lantunan lirik dari Type-X yang entah sengaja dipilih atau memang cocok jadi soundtrack penderitaan:
“Terlalu lama engkau terkenang, hancurkan diri, kian jauh tenggelam…”
“Lelah mencoba ‘tuk lepaskan beban, kaubeli mimpi, semu tak berarti sendiri…”
“Tak mampu kau beranjak pergi…”
Sebuah bentuk penyiksaan massal yang dilegalisasi atas nama kebebasan berekspresi, disponsori oleh sewa sound system dan operator sound yang sok asik yang tidak tahu konsep hening.
Dan ini disebut “kebudayaan”.
Asal Muasal: Dari India ke Indonesia, Lalu ke Telinga yang Luka
Konon, nama “Prindavan” diambil dari Vrindavan, tempat suci di India yang penuh cinta dan tarian. Tapi entah bagaimana, setelah sampai ke Indonesia, nilai spiritualnya berubah jadi pesta sound system keliling yang bersaing di jalan-jalan kampung dengan semangat bak balapan liar. Jika dulu ada karapan sapi, sekarang ada karapan subwoofer.
Budaya ini tumbuh subur di tempat-tempat yang kelebihan listrik PLN dan kekurangan kegiatan produktif. Anak-anak muda yang enggan belajar karawitan atau menari tradisional, lebih memilih nari keliling pakai kipas angin dan lampu disko murahan.
Dan semua ini dilakukan dengan penuh semangat dan keyakinan bahwa “asal rame, berarti sukses.”
Pantas Saja Kena Fatwa Haram
Ketika MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap budaya ini, sebagian publik heboh. Katanya: “Ini kan cuma hiburan!”
Ya, hiburan. Sama seperti colokan konslet yang bisa hibur satu kampung saat kebakaran. Budaya ini lebih sering membuat kerugian daripada nilai. Tidak ada peningkatan ekonomi, tidak ada pelestarian budaya, dan tidak ada manfaat spiritual selain mabuk goyang dan mabuk suara.
Apakah ada warisan budaya yang bisa ditulis dari budaya sound horeg?

