Bukan Soal Percaya atau Tidak, Sains yang Menunjukkan Krisis Iklim itu Nyata

Oleh Joko Priyono
11 Juli 2024, 10:00 WIB

Apa yang membuat kita mempercayai terhadap sesuatu hal, tak terkecuali mengenai krisis iklim? Apakah kepercayaan sama dengan keyakinan? Dua pertanyaan tersebut perlu kita gunakan untuk menguji apa saja yang kita saksikan, alami, maupun rasakan. Bukankah demikian, seperti halnya proses di dalam pencarian akan ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan senantiasa menyaratkan sesuatu hal mendasar. Tidak lain dan tidak bukan adalah bertanya.

Dengan bertanya, kita telah masuk pada bagian kecil di dalam kaidah metodologi ilmiah. Dari bertanya itulah, di dalam ilmu dan pengetahuan, kita kemudian berpikir untuk melakukan pembuktian, pencarian, pengumpulan data, hingga membuat sebuah hipotesis. Tanpa mendasarkan sebuah tanya, kita sulit untuk mengerti, memahami, hingga membuktikan sesuatu.

Pada dasarnya, di sinilah pentingnya terus melatih diri untuk berpikir kritis. Seperti halnya terhadap keberadaan krisis iklim. Di dalam beberapa waktu, kita ketahui bahwa masih banyak orang yang kurang yakin maupun percaya terhadap keberadaan krisis iklim. Mereka mengutarakan banyak alasan, seperti isu konspirasi, kabar bohong, dan perebutan kepentingan. Mereka memang memiliki hak di dalam mengutarakan keraguan.

Akan tetapi, ada sebuah pertanyaan yang perlu menjadikan mereka berpikir. Apakah keraguan mereka mendasarkan pada upaya untuk mengerti lebih mendalam akan fakta dan data yang berhubungan dengan iklim? Jika benar demikian, maka mereka masih berada di dalam proses untuk menapaki tahapan dalam menguji keberadaan isu krisis iklim. Namun, sebaliknya, jika ketidakpercayaan maupun keraguan dari mereka hanya bersandar pada keyakinan subjektif, maka itu yang menjadi sebuah masalah.

Oleh sebab itu, menarik kalau kita mau membaca sebuah esai di Majalah National Geographic edisi Vol. 11, No. 3 Tahun 2015. Esai tersebut garapan dari Joel Achenbach dengan judul “Era Ketidakpercayaan”. Joel memberikan uraian yang detail dan mendalam akan bagaimana perjalanan dari keberadaan krisis iklim menjadikan lahirnya beda pandangan di kelompok masyarakat. Padahal, secara otoritas keilmuan jelas, para peneliti mauun ilmuwan sudah menyajikan data dan fakta yang sejatinya sudah tidak diragukan lagi.

Realitas Internet

Salah satu hal yang terkadang mudah menjadikan munculnya masalah terhadap persebaran ilmu dan pengetahuan memang adalah perdebatan yang tidak ada muaranya atau biasa dikenal dengan omong kosong. Lazimnya, semenjak masifnya perkembangan dari internet justru situasi tersebut makin menjadi-jadi. Memang benar, internet menjadi penanda kemajuan zaman. Namun, di satu sisi keberadaan internet itu memberi keuntungan dengan kemudahan dalam membagi maupun menerima informasi serta efektif, di sisi lain kita mengahadapi masalah.

Masalah itu salah satunya adalah internet menjadikan para pengguna menurun akan kekritisannya. Contohnya ketika ada sebuah informasi, namun ada pihak yang menelan mentah-mentah, tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu. Selain itu, internet juga menghadapi masalah saat beberapa kelompok tertentu malah membuat narasi yang tidak mempercayai keberadaan ilmuwan dengan kajian ilmu yang dikembangkannya.

Di bagian tulisan, wajar Joen memberikan penjelasan berupa: “Sekarang sudah tidak zamannya lagi sejumlah kecil lembaga berpengaruh—universitas elite, ensiklopedia, organisasi berita besar, bahkan National Geographic—menjadi penjaga gerbang informasi ilmiah. Internet telah mendemokratisasi informasi, dan ini hal yang baik. Tetapi bersama TV kabel, internet memungkinkan orang hidup dalam “gelembung filter” yang hanya menerima informasi yang sudah kita sepakati.”

Pernyataan tersebut menarik bahwa keberadaan internet menjadi pisau bermata dua. Poin pentingnya adalah secepat dan sefektif apa pun internet menghadirkan informasi , kita mesti memegang teguh prinsip berpikir ilmiah, berpikir kritis, dan bertindak masuk akal. Salah satunya adalah menjadikan peranan ilmuwan sebagai salah satu pertimbangan di dalam memahami sebuah hal.

Hal yang menjadi alasan tentu mengacu pada keterangan lain dari tulisan Joel. Keterangan tersebut berupa: “Karena sains menyatakan kebenaran sesungguhnya, bukan kebenaran yang kita inginkan. Ilmuwan memang bisa dogmatis seperti orang lain—tetapi mereka mau melepaskan dogma jika ada penelitian baru.” Pernyataan tersebut menarik sebagai upaya kita memosisikan keberadaan sains dan relasi dengan gejala maupun fenomena yang ada.

Peranan Buku

Oleh sebab itu, menjadi penting tatkala para ilmuwan membuat ajakan memikirkan banyak fenomena dalam kehidupan, seperti halnya krisis iklim kepada banyak orang. Khususnya melalui tulisan. Sebagai generasi muda, kita memang perlu terus mau membaca apa saja sebagai kesadaran kita untuk terus berilmu. Ada sebuah buku yang pernah ditulis oleh Stephane Batigne, Josee Bourbonnire, Nathalie Fredette, dan Agence Science-Presse.

Baca Juga: Pentingnya Kepedulian Manusia Terhadap Krisis Iklim

Dading H. Nugroho, S. Si menerjemhkannya ke bahasa Indonesia berjudul Memahami Iklim dan Lingkungan. PenerbitBhuana Ilmu Populer menerbitkannya pada 2006. Banyak penjelasan dan keterangan yang gamblang akan keberadaan dari krisis iklim. Buku itu selain ditulis oleh nama yang tersebut di atas, juga melibatkan pihak lain seperti peneliti dan pembuatan grafis.

Sebuah maksud yang ditulis dalam pengantar sebagai ajakan kepada para pelajar. Ada pernyataan bahwa keberadaan buku tidak lain adalah upaya untuk menelaah lebih mendalam akan keberadaan iklim. Sebuah keterangan berupa: “Rasa ingin tahu, tidak hanya menggelitik para ilmuwan dan peneliti. Namun, rasa ingin tahu yang besar sebenarnya ada pada diri anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan betapa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar.”

Pernyataan tersebut tentu memiliki muara tidak lain dan tidak bukan adalah kesetiaan terhadap ilmu dan pengetahuan dan kemauan untuk menghargai otoritasi keilmuan dari para ilmuwan maupun peneliti. Dengan begitu, kita dapat terus menjalani proses penyangsian dan penghormatan terhadap ilmu dan pengetahuan. Kita mau menerapkan proses berpikir ilmiah dengan bertanya yang kemudian melakukan pencarian. Pada akhirnya, dengan ilmu itupulalah yang menjadikan kita memiliki kerendahan hati.

Pentingnya Kaum Muda

Berhubungan dengan krisis iklim, ada sebuah wawancara penting di Majalah Prisma edisi Vol. 29, No. 2, Tahun 2010. Wawancara tersebut berjudul “Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang”. Narasumber dalam wawancara itu adalah Emil Salim, salah seorang ilmuwan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan dan Lingkungan Hidup periode 1983-1993.

Keterangan demi keterangan tersampaikan di dalam wawancara. Sebuah keterangan disampaikan oleh Emil Salim: “Orang itu living in today’s world, he doesn’t care about tomorrow. Semakin bertambah usia, semakin tidak peduli. Tapi besok tidak bisa lagi demikian. Jadi, yang harus sensitif terhadap perubahan itu kaum muda.” Jelaslah pernyataan tersebut perlu menjadi bahan refleksi kita semua. Tiada lain untuk terus mau mempelajari sains dan memedulikan tantangan dalam kehidupan, salah satunya berupa krisis iklim.[]

Artikel Terkait