Dalam beberapa hari terakhir, dunia pendidikan kita menunjukkan keramaiannya dengan investigasi mengenai fenomena pengangkatan guru besar yang diragukan oleh banyak kalangan. Majalah Tempo edisi 8 – 14 Juli 2024 memuat tajuk berjudul “Skandal Guru Besar Abal-abal”. Hal tersebut tentu saja meresahkan kita semua sebagai warga yang masih menaruh harapan akan tumbuhnya kultur akademik.
Satu hal yang mengemuka adalah permasalahan tersebut juga menyangkut akan merebaknya kalangan akademik untuk menerbitkan karya di jurnal yang terindikasi predator. Dengan kata lain, mengemuka ketidakjujuran akademik yang terjadi. Sebuah karya ilmiah harusnya melewati proses pegecekan yang ketat dan perlu menekankan rasa tanggung jawab.
Di Tempo juga merilis sebuah laporan yang mengatakan: “Peneliti dari Republik Cek, Vit Machacek dan Martin Srholec, mencatat Indonesia berada di peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik. Mereka meneliti para akademikus yang terbit di berbagai jurnal predator sepanjang 2015 – 2017.
Peringkat kedua adalah Indonesia dengan persentase sebesar 16,7% berada di bawah Kazakhstan dengan 17 persen. Sementara itu, posisi di bawah Indonesia masing-masing adalah: Irak (12,94 %), Albania (12,08 %), Malaysia (11,6 %), India (9,65 %), dan Oman (8,25 %). Situasi ini tentu mengkhawatirkan dalam benak kepala kita.
Agaknya, kita perlu mengingat sosok Bung Karno. Sebagai salah satu proklamator dan presiden Republik Indonesia yang pertama, ia dikenal dengan kecakapan akan gagasan dan pikirannya. Ia mungkin saja marah besar dengan tindakan para akademisi yang seenak perutnya dalam mengajukan gelar guru besar dengan terjerat pada jurnal predator.
Dalam perjalanan hidupnya, satu hal yang penting akan keberadaan Bung Karno mengenai gelar doktor honoris causa. Gelar tersebut merupakan gelar kesarjanaan yang diperoleh suatu tokoh dari perguruan tinggi atau universitas yang memenuhi syarat. Orang yang memperoleh gelar tersebut memiliki pengaruh dan telah berkontribusi maupun berjasa terhadap ilmu dan pengetahuan.
Daftar Gelar Bung Karno
Bung Karno tercatat memperoleh gelar doktor honoris causa sejumlah 26 dari kampus yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Luar negeri sejumlah 19 kampus, sementara dalam negeri berjumlah 7. Ketika mendapatkan gelar tersebut, Bung Karno senantiasa menyampaikan pidato ilmiah berhubungan dengan keilmuan spesifik atas gelar yang didapatkannya.
Baca Juga: Kebudayaan dalam Tiang Pancang Beton
Kerja sama antara Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno pada 1984 menerbitkan buku berjudul Ilmu dan Perjuangan. Buku tersebut merekam tujuh pidato ilmiah Bung Karno ketika menerima gelar doktor honoris causa. Jumlah itu mengacu gelar yang didapatkan dari kampus yang ada di Indonesia. Apa saja itu? Berikut rangkumannya.
Pertama, “Ilmu dan Amal”. Bung Karno menyampaikan ketika mendapatkan gelar doktor honoris causa bidang Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada pada 19 September 1971. Bung Karno mengungkapkan hal menarik: “Camkanlah intisarinya pidatoku sekarang ini, bahwa pengetahuan, bahwa ilmu, bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada ujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya Hidup.”
Kedua, “Ilmu Teknik Harus Mengabdi Masyarakat Adil Makmur”. Bung Karno menyampaikan ketika menerima gelar dalam Ilmu Teknik dari Institut Teknologi Bandung pada 13 September 1952. Satu pernyataan menarik : “Maka oleh karena itu, lebih dahulu saya ulangi, kataku, jikalau bangsa Indonesia ingin mengubah masyarakat, dan sudah jelas tujuan kita yaitu masyarakat adil dan makmur, maka bangsa Indonesia harus dapat mempergunakan ilmu teknik.”
Ilmu Bukan untuk Ilmu
Ketiga, “Ilmu Pengetahuan Sekadar Alat Mencapai Sesuatu”. Bung Karno menyampaikan saat mendapatkan gelar doktor honoris causa bidang Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan dari Universitas Indonesia pada 2 Februari 1963. Ia mengatakan: “Saya adalah orang yang mengetahui, bahwa ilmu pengetahuan adalah sekadar alat. Ilmu pengetahuan an sich, an sich, bagi saya tidak ada banyak gunanya, Saudara-saudara. Ilmu pengetahuan hanyalah berharga jikalau ilmu pengetahuan itu menyumbang kepada perbuatan manusia untuk mencapai suatu hal.”
Keempat, “Hiruplah Pengetahuan untuk Berjuang”. Pidato itu terjadi pada 29 April 1963 saat Bung Karno mendapatkan gelar di bidang Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan dari Universitas Hassanudin. Ia menjelaskan: “Nah, ini, bagiku jikalau aku berkata, ilmu harus kita abdikan kepada masyarakat, ilmu harus kita abdika kepada perjuangan. Bukan science for the sake of science. Ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, tidak! Tetapi science for the struggle. Science for the sake struggle. Ilmu pengetahuan kita pergunakan menjadi alat daripada perjuangan kita.”
Islam dan Sejarah
Kelima, “Temukan Kembali Api Islam”. Ia menyampaikan ketika memperoleh gelar dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Dakwah dari IAIN Jakarta pada 2 Desember 1964. Bung Karno mengungkapkan:“Maka Saudara-saudara akan melihat, akan mengerti apa yang saya katakana berulang-ulang, umat Islam mengalami alam dunia yang ia sebagai mercu suar, tatkala api Islam berkobar-kobar. Api Islam yang sejati berkobar-kobar di dalam dada umatnya. Umat Islam mengalami kesurutan, tatkala api Islam padam di dalam dadanya. Ya, padam apinya, bukan padam beberapa amal keislamannya. Apinya yang padam.”
Keenam, “Memberi Arti pada Sejarah”. Bung Karno menyampaikan pidato tersebut saat mendapatkan gelar di bidang Ilmu Sejarah dari Universitas Padjajaran pada 23 Desember 1964. Ia menjelaskan: “Mahasiswa-mahasiswa jangan kira sejarah itu adalah, tempo hari sudah pernah saya katakan, entah di sini entah di ITB, yaartallen kennis, yaitu mengetahui kejadian-kejadian, tahun ini itu, tahun ini itu, tahun ini itu, tahun ini itu, tahun ini itu. Kalau engkau sudah hafal kejadian tahun-tahunnya, lantas engkau berkata, bahwa telah mengetahui sejarah. Tidak, tidak. Kejadian-kejadian itu sekadar satu bagian, bagian, bagian, bagian dari sejarah. Kejadian itu sendiri, kejadian kecil, kejadian itu.”
Tauhid
Ketujuh, “Tauhid adalah Jiwaku”. Bung Karno menyampaikan saat menerima gelar dalam Falsafah Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 3 Agus 1965. Ia menymapaikannya di istana negara. Bung Karno menyebutkan: “Saudara-saudara. Saya ulangi, jikalau Tuhan hanya duduk di sana saja, Tuhan adalah terbatas. Padahal Tuhan adalah without end, limitless; without any limit, tapi bersatu, kataku, tidak bisa dipecah-pecahkan Saudara-saudara, bersatu. Maka oleh karena itu Saudara-saudara, Tuhan itu Saudara-saudara, juga memberi daya kepada segala perbuatan kita. Oleh karena Dia is everywhere, anywhere and everywhere, di mana-mana.”
Nah, kita telah menyimak tujuh judul pidato ilmiah Bung Karno ketika memperoleh gelar doktor honoris causa dari tujuh kampus dalam negeri. Dalam konteks mutakhir, tentu dengan mempelajari, memahami, dan merenunginya jadi bagian penting akan pentingnya keilmuan. Bahwa keilmuan bukan sebatas pada gelar, namun berhubungan dengan pertanggungjawaban ilmiah akan upaya melahirkan ide maupun gagasan.[]