Dari Pemanasan Global ke Pendidihan Global

Oleh Joko Priyono
16 Juli 2024, 16:00 WIB

Bumi semakin menunjukkan kondisi yang tidak baik-baik saja. Satu masalah mendasar berupa pemanasan global. Kita boleh khawatir, namun tetap perlu menaruh optimisme pada masa depan. Dalam keseharian kita bingung mengatasi masalah yang terus berjalan akan keberadaan Bumi. Mulai pencemaran lingkungan, permasalahan sampah, cuaca yang tak menentu, polusi udara, hingga suhu yang terasa semakin panas. Bukan hanya diri kita saja sebagai manusia, semua makhluk hidup di Bumi ini mengalami hal yang sama.

Kita patut mengingat dengan sebuah lagu gubahan Theresia Margaretha Gultom atau Dere. Lagu berjudul “Rumah” (2002), dengan beberapa lirik sebagai berikut: Hilang dahan/ Burung berhenti terbang/ Hilang pohon tempat dia beregang// Air naik/ Menelan lahan-lahan/ Kipas yang memutar angin panas// Duh mana yang lebih panjang/ Umurku atau umur bumiku bernaung/ Duh mana yang lebih besar/ Egoku atau ketidaktahunan yang terpasung//.

Lirik demi lirik tersebut bisa menjadi bahan permenungan kita untuk mencari titik pijak dalam memikirkan masa depan Bumi. Agaknya, kemudian kita juga perlu menelisik keterangan demi keterangan dari pemberitaan maupun bentuk tulisan lain yang membicarakan fakta tersebut. Di Harian Kompas edisi 22 September 2021, pada bagian ”Tajuk Rencana” terdapat sebuah tulisan berjudul “Cegah Bumi Makin Panas”.

Pemanasan Global

Kita membaca keterangan berupa: “Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada 9 Agustus 2021 di Geneva melaporkan, perubahan iklim telah memicu intensitas dan frekuensi gelombang panas, musim dingin ekstrem, hujan badai, banjir bandang, hingga mencairnya es yang menaikkan tinggi permukaan laut, siap menenggelamkan pulau-pulau kecil dan rendah. Perubahan iklim juga merusak pola tanam sehingga bisa mengancam cadangan pangan dunia. Oleh karena itu, pemanasan Bumi harus ditahan agar tidak melewati titik kritis.”

Pemanasan global menjadi titik persoalan dalam tulisan tersebut. Harapan pada pencegahan itu salah satunya adalah mencegah suhu Bumi dengan batas kritis sebesar 1.5ºC. Kita kemudian membaca sebuah buku Pengantar Ilmu Lingkungan. Dr. Ir. Mukhtasor, M. Eng menyuntingya, sementara ITS Press menerbitkan pertama kali pada 2008. Penulis dari beberapa nama: Dr. Ir. Mukhtasor, M. Eng, Dra. Enny Zulaika, MS, Dra. Endang Sulistiowati, MS, Ir. Lily Pudjiastuti, MT, Ir. Putu Rudy Setiawan, M. Sc, Ir. J.B. Widiadi, M. Eng, Ir. Musfil A.S., M. Eng, Surapti, SH, Prof. Dr. Ir. Triwulan, Vita Dian Leliyana, ST, dan Maulidiyah, ST.

Di buku, kita mendapat keterangan beberapa hal untuk mengendalikan pemanasan global. Masing-masing berupa: (1) Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama CO2, CH4, N2O dan kelompok gas CFC dan Ozon troposfer, (2) Peningkatan Reboisasi, dan (3) Kesepakatan Internasional. Penjelasan tersebut tentu membutuhkan upaya bersama untuk tetap optimis dalam menghadapi tantangan tersebut.

Gas Rumah Kaca

Gas Rumah Kaca (GRK) dengan beberapa jenisnya itulah yang dapat menyebabkan peningkatan suhu di Bumi. Adhyaksa Dault pernah menggarap berjudul Pemanasan Global dan Perubahan Garis Pantai (PT. Citra Aji Pertama, 2009) penting untuk kita semua menyimaknya. Di buku, ia memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Penjelasan itu berupa:

“Pantulan sinar Matahari dapat terperangkap akibat terhalang gas-gas rumah kaca. Proses terperangkapnya panas di atmosfer dikenal dengan efek rumah kaca. Peningkatan kadar gas-gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan panas yang terperangkap semakin banyak. Hal itu membuat suhu Bumi semakin tinggi.”

Kabar buruk semakin melintasi telinga kita. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Antonio Guteres pada 27 Juli 2023 mengungkapkan bahwa keberadaan pemanasan global yang dikenal dengan istilah bahasa Inggris berupa global warming diubah menjadi pendidihan global (global boiling). Tentu, pernyataan itu bukanlah tanpa alasan. Hendaknya terus menjadi perhatian bagi kita bersama.

Suhu Terpanas 2023

Ahmad Arif, seorang jurnalis yang banyak pihak mengenal dengan tulisannya berhubungan isu pangan, iklim, lingkungan, serta sains. Di Harian Kompas, ia kerap menulis pada rubrik “Catatan Iptek”. Pada Harian Kompas edisi 9 Agustus 2023, ia menulis di rubrik tersebut dengan judul “Sindrom Katak Direbus”. Di tulisan tersebut ia juga memberikan penjelasan kepada para pembaca akan mengapa PBB mengubah situasi pemanasan global menjadi pendidihan global.

Penjelasan dalam tulisan berupa: “Gelombang panas berkepanjangan menjadikan bulan Juli 2023 sebagai rekor suhu terpanas secara global. Terik matahari yang memanggang memicu kebakaran hutan terdahsyat dalam sejarah Kanada, menyebabkan kehancuran dan evakuasi, bahkan merenggut puluhan korban jiwa.” Kebakaran terjadi juga di wilayah lain. Banyak wilaah di benua yang ada di dunia ini mengalami hal yang sama. Ahmad Arif juga mengisahkan akan bagaimana nasib yang terjadi di Indonesia.

Baca Juga: Pentingnya Manusia Terhadap Krisis Iklim

Tulisnya berupa: “Tak ada lagi ang luput dari cuaca ekstrem. Di Indonesia, titik api mulai bermunculan, seiring datangnya El Nino. Beberapa bulan ke depan, ancaman kekeringan dan kebakaran kemungkinan meluas. Tiga tahun sebelumnya, La Nina memicu hujan berkepanjangan dan menyebabkan banjir serta longsor di mana-mana, selain juga kegagagalan panen.”

Realitas yang disebutkan itu kiranya banyak dari kita yang merasakannya. Akan bagaimana banyak terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kekeringan, sulitnya akses air bersih, hingga bencana alam lainnya. Tak mengherankan ketika di Harian Kompas edisi 8 Agustus 2023, Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Siti Murtiningsih juga menulis sebuah opini berjudul “Manusia dan Perubahan Iklim”.

Antroposentrisme

Ia mengajak pembaca untuk melakukan permenungan secara mendalam akan situasi yang terjadi. Di sisi lain, yang menarik, ia juga memberi keterangan untuk membangnu kesadaran bahwa kadangkala perubahan iklim dipukul rata bahwa semua manusia menanggungnya. Konsep tersebut dikenal dengan antroposentrisme. Padahal yang terjadi, perubahan iklim disumbang oleh pihak yang melakukan aktivitas peningkatan gas emisi rumah kaca oleh para pemodal dalam aktivitas industrinya.

Murtiningsih menjelaskan: “Tidak semua manusia juga akan terkena dampak serius perubahan iklim. Yang paling terdampak tentu orang-orang yang masih menguntungkan hidupnya pada alam, mulai dari petani, nelayan, pekerja lapangan, hingga penghuni kawasan kutub pesisir.” Di keterangan lain, kita membaca: “Jika seluruh umat manusia mesti bertanggung jawab atas perubahan iklim ini, fakta tragis menyelimuti kelompok sosial menengah ke bawah. Sudah terdampak oleh masalah yang disebabkan oleh orang lain, masih saja mereka diminta bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.”

Kita semua tentu benar-benar perlu terus banyak belajar akan perkembangan yang terjadi pada krisis iklim ini. Pada saatnya, bukan pada persoalan beban tanggung jawab. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita menyadari bahwa banyak tindakan kecil yang bisa saja menjadi penyebab masalah dalam lingkungan. Di luar itu, banyak tindakan kecil juga yang bisa kita lakukan. Krisis iklim mengajak kita berpikir dan berkaca pada lingkungan sekitar, kemudian diikuti tindakan sekecil apa pun untuk menjadi bagian bersama dalam upaya merawat Bumi.[]

Artikel Terkait