Di tengah keramaian malang melintang caci maki terhadap para pendakwah agama apakah ini zaman yang dikatakan Gus Dur menyoal di mana akan datang bukan dari kalangan pesantren akan di panggil ustadz. Hal ini seakan nubuat di mana kiwari banyak sekali bermunculan para pendakwah yang tidak jelas latar belakang ilmunya ngelantur kesana kesini membicarakan kalam illahi menghipnotis masyarakat.
Dari konten membongkar bid’ah hingga pengedar air mineral berkah, dari sematan penjual agama hingga ustadz doyan zina banjir ditujukan bagi pendakwah yang luput dari “Angger-Angger Kautaman” begitu para orang tua dulu menyebutnya. Ditilik lebih dalam persoalan agama memanglah laris manis di tengah masyarakat tradisional yang belum terdorong untuk mengejawentahkan pendidikan kritis ala Paulo Freire.
Kendati demikian pintarnya orang (“) saat ini membalik perekonomian agar cepat cuan, para oknum memilih menggunakan agama sebagai ruang kapitalisasinya. Terdengar sadis tidak memiliki kebijaksanaan itulah nyatanya agama dijadikan pijakan dalam meroketkan status kekayaan. Bagi yang masih dalam kesadaran magis ruang agama yang dikapitalisasi menjadi sangat bias, sulit terbedah karena doktrin teologisnya.
Agama Menjadi Komoditas
Kapitalisasi agama merupakan fenomena ketika nilai-nilai agama hanya difungsikan sebagai kebutuhan komersial yang dengan sengaja dimanfaatkan untuk keuntungan-keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam konteks yang lebih ekstrim, ini bisa mengubah nilai-nilai agama menjadi suatu komoditas yang dapat diperjual belikan. Fenomena seperti ini memang tumbuh subur dikalangan masyarakat konservatif tradisionalis.
Benar yang dikatakan Farish A Noor (2016), kecenderungan globaliasi membawa kawasan Asia mengarah kuat pada arus konservatisme. Hal ini sejalan dengan fenomena agama menjadi sebuah komoditas. Dengan memanfaatkan sentimen religius, individu atau organisasi dapat merancang strategi pemasaran dengan sangat efektif. Sehingga produk atau jasa yang ditawarkan akan terasa lebih autentik dan menarik bagi konsumen yang mencari kedekatan spiritual.
Agama akhirnya menjadi komoditas ditengarai oleh beberapa faktor lapangan seperti kondisi ekonomi pasar, tingginya konsumerisme di tengah masyarakat, politik identitas serta kurangnya literasi dan pemahaman masyarakat menjadi pendorong individu atau organisasi untuk melakukan komoditas dalam ruang agama. Hal ini juga sudah diingatkan dalam Al Quran “Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan bertaqwalah hanya kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 41)”.
Ayat ini merupakan jawaban atas fakta bahwa fenomena mengkapitalisasi agama sudah terfirmankan dalam Al-Quran. Misalnya saja keadaan ekonomi pasar. Kondisi perekonomian yang mengarah pada sistem kapitalisme yang sangat kompetitif mendorong individu atau organisasi mencari cara apapun untuk mendapatkan keuntungan. Termasuk dengan menjamah ruang-ruang agama sebagai komoditas garapanya.
Kemudian tingginya konsumerisme juga mendorong adanya kapitalisasi agama. Pada situasi mutakhir mayarakat cenderung banyak mengkonsumsi segala sesuatu, termasuk nilai-nilai agama. Segala hal yang berkaitan dengan agama semakin laku keras di pasaran. Produk seperti kitab suci, alat musik hingga buku-buku kesaktian menjadi komoditas yang menarik di tengah masyarakat yang masih tergolong dalam kaum konservatif tradisionalis.
Selanjutnya berkaitan dengan politik identitas. Agama sebagai komoditas telah menjadi identitas yang dapat dikonversi sebagai instrumen untuk menambun dukungan politik. Kenyataanya, komodifikasi agama berkaitkelindan dengan kepentingan politik yang ada. Agama sering kali ditunggangi menjadi alat untuk membeda-bedakan kelompok satu dengan yang lainya. Begitulah para pejabat munafik mengolok-olok agama.
Terkhir minimnya literasi dan pemahaman masyarakat . Agaknya buku gubahan Paulo Friere “Pendidikan Kaum Tertindas” menjadi salah satu pisau analisis yang dapat digunakan masyarakat dalam membedah fenomena kapitalisasi agama. Masyarakat perlu memahami konsep majelis taklim bukan pasar umum, di mana para pendakwah bebas melakukan apa saja. Pemahaman yang dangkal membikin individu mudah terpengaruh oleh penafsiran agama yang bersifat komersial.
Bentuk-Bentuk Kapitalisasi Agama
Yang marak terjadi kapitalisasi agama ialah motif memanfaatkan doktrin teologis dan menggiring masayarakat melalui sisi psikologis. Hal tersebut mejadi sasaran empuk untuk dibawa terhadap produk-produk seperti air mineral yang sudah di khatamkan Al-Quran, ijazah amalan prantara perlengkapan ritual, garam rukyah dan lain sebagainya. Semuanya itu menjadi komoditas yang dapat diperjual belikan.
Tidak hanya itu pengembangan bisnis berbasis agama juga dilanggengkan dalam menggait konsumen. Dengan mengeklaim produk tesebut memiliki nilai spiritual atau sejarah keagamaan acap kali jitu dalam menarik minat pelanggan. Yang paling parah lagi dalam menarik konsumen, menggunakan klaim terjamin dengan menyuguhkan ayat-ayat suci dan tokoh-tokoh spiritual ternama. Memang tampak kejam begitulah oknum pendakwah beraksi.
Pungutan dana berkedok infaq atau sodaqoh juga dilakukan organisasi keagamaan dalam mengkapitalisasi agama. Tidak adanya kejelasan transparansi akan kemana dana digunakan, organisasi membabi buta menggalang pungutan uang dari pengikutnya. Ditambah stimulus motivasi semacam iming-iming pahala dan berkah begitu kiranya mereka memanfaatkan ketulusan para jamaah.
Yang lebih memilukan penggunaan agama sebagai kepentingan politik bahkan menempatkanya sebagai alat politik. Para pelacur-pelacur kekuasaan itu seringkali menggunakan simbol-simbol agama untuk meraup suara suci dari masyarakat. Agama yang seringkali lekat dengan moralitas dan kebenaran, berubah arah tatkala dibawa para politisi munafik. Terlalu berlebihan “Ngono Yo Ngono, Ning Ojo, Ngono” kata pepatah jawa menyikapi situasi.
Berhati-hati Jalan Keselamatan
Kapitalisasi agama telah menjadi fenomena yang memperlihatkan betapa lemahnya masyarakat dalam memahami agama sebagai elan vital yang sederhana. Yang jika dibawa oleh para penceramah agama merupakan sesuatu yang pasti dianggap benar. Masyarakat hendaknya juga meneladani maksud ucapan Gus Dur tentang ustadz yang tidak jelas tingkat pendidikan dan ilmunya dalam memahami agama. Hal ini nampaknya menjadi tanda bagi kita untuk lebih memperhatikan siapakah pengkhotbah yang sebaiknya kita ikuti.
Kehati-hatian kita dalam mengikuti seorang pendakwah sangat ditekankan oleh Imam Bukhori yang telah di Syarahi Imam Nawawi memberikan nasihat sebagai berikut: “Mengajilah (belajarlah) dengan bersungguh-sungguh kepada orang yang benar-benar berilmu sebelum kamu bertemu dengan masanya orang yang berbicara ilmu yang hanya bermodalkan prasangka tanpa sandaran yang jelas”.
Kapitalisasi agama menggambarkan keadaan kemampuan membaca situasi dan berpikir kritis dimasyarakat masih lemah dalam menanggapi realitas yang ada. Akibatnya, ruang keagamaan yang dianggap sakral dalam benak masyarakat dimanfaatkan individu atau organisasi sebagai tempat pengembangan kekayaan materi. Orang-orang yang tamak melihat agama hanya sebagai alat tukar, sedangkan orang bijak melihat agama sebagai ruh yang tidak dapat dipertukarkan.