Kisah Gerakan Kepanduan: Bacaan Anak Karya Andi Hakim Nasoetion yang Terbit pada 1951

Oleh Joko Priyono
18 Juli 2024, 16:00 WIB

Gerakan kepanduan di Indonesia berlangsung sejak awal abad XX. Pertumbuhannya kemudian membentuk Pramuka, yang secara resmi diperkenalkan pada 14 Agustus 1961. Tanggal menentukan ingatan yang kemudian kita memperingatinya sebagai Hari Pramuka Nasional. Gerakan tersebut senantiasa berkembang sebagai upaya menggapai misi watak di kalangan anak muda. Itu menyiratkan etos nasionalisme dan pemahaman lingkungan tanah air menjadi penting.

Sejarah keberadaan gerakan kepanduan yang berlangsung menjadi ingatan tokoh ketika memasuki usia dewasa. Salah satunya adalah ahli astronomi Bambang Hidayat. Ia mengisahkannya dalam esai “Gerakan Kepanduan Tempo Doeloe”. Bambang memasukkan tulisan tersebut dalam bunga rampai berjudul Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan (Pustaka Jaya, 2022).

Ilmuwan kelahiran Kudus, 18 September 1934 itu mengungkapkan pengalaman kepanduan saat menempuh sekolah dasar. Ia menulis: “Mulai saat itu saya (masih duduk di kelas 3 SD di tahun 2603, tarikh Jepang, atau 1943 kalender Masehi) tertarik kepada gerakan para muda yang bernama Kepanduan. Sayangnya, di zaman Balatentara Dai Nippon (orang pribumi, Indonesia, tidak boleh lagi mempergunakan sebutan Jepang sebutan Jepang, karena bernilai kurang hormat) mulai Maret 1942 sampai dengan Agustus 1945 gerakan Pemuda, yang menyuarakan nada bermain, kebangsaan dan kebersatuan, tidak diperbolehkan.”

Menelusuri Buku

Pada bagian lain, Bambang memberi pengertian akan kepanduan. Ia menjelaskan: “Makna falsafawi pandu adalah mampu berdiri di depan, menjadi penunjuk jalan, pemecah soal, berbekal pengetahuan. Ibuku adalah tanah air, masyarakat sosial di mana kita berada.” Keterangan tersebut kemudian mengingatkan sebuah bacaan anak berjudul Anak-anak Bintang Pari (Balai Pustaka, 1951). Ahli statistika Andi Hakim Nasoetion (1932 – 2002) menggarap buku tersebut. Sementara itu, Soekanto SA menjadi sosok yang menyunting buku tersebut.

Sebelum masuk ke cerita dalam buku, kita perlu mengingat bahwa Andi Hakim Nasoetion pernah menyampaikan materi berjudul “Buku dalam Kehidupan Saya”. Ia menyampaikan meteri itu pada Pameran Buku Nasional 1981. Ia memuat kembali tulisan tersebut dalam buku Daun-daun Berserakan (Inti Sarana Aksara, 1985). Dalam materi tulisan tersebut, Andi memberi keterangan akan pengalaman dan pencapaiannya. Ia menjelaskan peranan kebiasaan membaca dan buku-buku yang memberi pengaruh dalam kehidupannya. Hal tersebut memberi pesan, untuk membentuk kebudayaan membaca begitu memerlukan konsistensi sejak kecil.

Baca Juga: Imajinasi Zaman Baru: Catatan Bacaan Anak di 1980-an

Andi mengenang akan bacaan yang Balai Pustaka menerbitkannya ketika ia masih berusia 18 tahun dengan judul Anak-anak Bintang Pari tadi. Mengenang buku itu, ia menyampaikan: “Dalam hal yang menyangkut diri saya, saya sangat bersyukur bahwa di masa muda saya, lagi-lagi saya pernah mendapat kesempatan banyak untuk membaca buku. Kesempatan banyak membaca buku itu pula menimbulkan gairah saya untuk menulis cerita di majalah dan mengarang sebuah buku cerita anak-anak berjudul “Anak-anak Bintang Pari” (Balai Pustaka No. 1832) yang pada tahun 1954 kebetulan mendapat hadiah pertama untuk cerita anak-anak di dalam Pekan Buku Gunung Agung.” begitu Andi menuliskan.

Cerita dan Sains

Andi adalah cendekiawan yang bertumpu dalam pijakan sains kealaman. Meski begitu, dunia kesusastraan juga membentuk dirinya. Wajarlah ia kemudian memberi persembahan buku bacaan bernuansa sastra kepada anak-anak Indonesia. Kita menghadap bukunya hasil dari Gaya Favorit Press yang menerbitkan ulang pada pada 1988. Hior Yogaseca menggarap sampulnya dengan kelihatan menarik. Dalam sampul tersebut memuat gambar beberapa bocah kepanduan dengan ranselnya bersepeda menapaki perbukitan. Sampul juga memuat gambar dua mobil yang sedang melaju. Dari gambar yang ada di dalam sampul memberi imajinasi perkembangan teknologi pada zamannya.

Masuk ke tubuh buku, kita menghadap cerita. Cerita itu adalah perjalanan gerakan kepanduan dengan nama Bintang Pari VII. Dalam sebuah kesempatan, mereka melakukan kegiatan perkemahan di Megamendung, Bogor. Buku menguraikan perjalanan mereka dalam keterangan: “Sembilan belas orang anggota kepanduan dengan mengendarai sepeda yang penuh dimuati dengan bermacam barang, dari tenda sampai alat-alat untuk memasak, sedang dalam perjalanan menuju ke Bogor. Sepeda yang terdepan membawa sebuah bendera yang berwarna putih dan biru. Di tengah-tengahnya terlukis empat buah bintang kuning. Bintang-bintang itu jika dihubung-hubungkan oleh sebuah garis merupakan titik sudut sebuah belah ketupat.”

Keterangan tersebut membuat pembaca memikirkan ilmu dan pengetahuan. Bintang itu menjadi kajian penting dalam ilmu astronomi. Sementara belah ketupat dan sudut itu menjadi bagian penting dalam matematika. Penggunaan istilah menjadi penting sebagai upaya membentuk imajinasi akan kegiatan tersebut. Perkemahan identik dengan alam. Dengan demikian, tak salah bahwa kegiatan tersebut penuh dengan penjelasan akan ilmu dan pengetahuan. Arkian, kita menyadari Andi memberikan bukti akan menghadirkan isu sains kealaman dalam wujud sastra.

Keterangan Ilmu

Pada sebuah bagian dalam buku, kita mendapati keterangan mengenai cuaca. Buku memberi penjelasan: “Kota Bogor dikenal sebagai kota hujan. Rata-rata 4,5 m tinggi hujannya. Musim kemarau dan musim hujan hanya dikenal dalam kitab ilmu bumi saja, karena pada prakteknya sepanjang tahun di situ lembab.” Penjelasan membuat pembaca untuk sedikit jeda guna menelaah keterangan-keterangan ilmu di sana.

Kepanduan mengajarkan kesadaran akan kehadiran alam dan bagaimana cara interaksi yang dilakukan. Pada suatu saat mereka berhubungan dengan masyarakat yang hidup di sekitar perkemahan yang sebagian besar bekerja menjadi buruh perkebunan teh dan menjadi petani. Saat bertemu pegawai Jawatan Pertanian Rakyat, mereka mendapat cerita bahwa musim lalu pertanian gagal panen karena hama tikus. Kegagalan itu menjadi masalah petani, yang terlilit hutang.

Para pandu menginisiasi pertunjukan sandiwara yang mana hasil dari pertunjukan akan diamalkan kepada kaum tani yang mengalami kesusahan. Dari sana, mereka mencetuskan ide demi ide untuk konsep pementasan. Kita mendapat keterangan-keterangan penting mengenai keterampilan mereka dalam menggunakan perkakas. Mulai cat koran, cat, paku, hingga perkakas tukang kayu. Perkakas makin menambah uraian akan penjelasan keilmuan. Cerita mengenai kepanduan dalam buku ini menarik dengan menyuguhkan banyak dimensi keilmuan, yang saling terhubung antara satu dengan lainnya.[]

Artikel Terkait