Saya mengamati ada dua faktor mendasar yang menjadikan ilmu alam masih kerap dianggap sebagai hal yang menakutkan. Pertama, muncul kekerasan simbolis terhadap makna dalam sajian keilmuan. Betapa tidak, di sinilah bisa terbukti jika mendengar kata “rumus”, banyak orang cenderung menolak dan tidak memberi ruang untuk membuka dialog untuk berpikir.
Kedua, minimnya metafora dalam penyajian ilmu alam, khususunya kalau mengacu dalam ranah pendidikan adalah lewat buku-buku teks pelajaran. Keberadaan buku teks pelajaran yang berbasis ilmu alam cenderung menekankan pada penyampaian keilmuan secara informatif. Kaita harus mengakui ada kekurangan dalam serapan makna keilmuan.
Memang, secara umum, dalam banyak pemahaman kalangan cendekiawan, sains kealaman menaruh paradigma mendasar berupa penjelasan ringkas dan lugas. Yang kemudian menjadi persoalan adalah proses pemaknaan bagi pembaca yang terasa kering. Selain itu, ada kemungkinan besar—sebagaimana yang sering terjadi di buku teks pelajaran terjadi penggunaan bahasa yang berulang-ulang.
Perlu diketahui bersama, bahwa sejatinya penting untuk terus menjuarakan kosakata keilmuan dalam perkembangan bahasa Indonesia. Selain mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, tentu berhubungan pula dengan kamus keilmuan terkait, seperti Kamus Fisika, Kamus Biologi, Kamus Matematika, Kamus Sains, hingga Kamus Kimia. Dua landasan itu menjadi hal mendasar dalam menghubungkan antara bahasa dengan keilmuan.
Entah masih menjadi pegangan atau tidak, nyatanya keberadaan buku pelajaran membuat kita harus mengakui sering bermasalah. Salah satunya dengan menanggalkan kata-kata ilmiah bahasa Indonesia yang sejatinya menarik dan penting untuk memperkenalkannya pada tiap generasi. Akhirnya, kata demi kata tersebut hanya sanggup mendekam di lembar-lembar kamus lusuh dan sebatas menjadi obrolan kalangan pengkaji kamus.
Metafora
Kata-kata itu sejatinya memungkinkan tradisi bernalar dan berpikir dengan memacu imajinasi. Inilah yang memungkinkan kemunculan metafora, yang memiliki hakikat sebagai analogi dengan perbandingan untuk menjelaskan sebuah konsep. Menggunakan kata dalam teks dengan menekankan imajinasi dan penalaran. Buku garapan Andrew S. Reynold, Understanding Metaphors in The Life Science (Cambridge University Press, 2022) menarik dalam membahas diskursus tersebut. Di sana kita mengerti dan memerlukan metafora ini sebagai alat pemikiran ilmiah untuk menjelaskan peran mereka dalam kehidupan ilmu dan pengetahuan.
Metafora mungkin tampak terdiri dari kata-kata atau ungkapan linguistik lain yang berasal dari terminologi tersebut mendekati bidang tersebut, namun metafora konseptual berada pada dasar sistem metaforis terkait ekspresi yang melampaui wilayah kebahasaan dan menyiratkan panggilan terhadap gambar, ruang, waktu, gerak sebagai serta unsur-unsur dasar pengalaman manusia lainnya yang diringkas menjadi rumusan sebelum linguistik (Diana Csorba, 2014: 772).
Baca Juga: Bukan Soal Percaya atau Tidak, Sains yang Menunjukkan Krisis Iklim itu Nyata
Kita dapat merasakan kehadiran metafora saat membaca buku-buku sains populer yang telah masuk Indonesia. Para tokoh itu di antaranya adalah Stephen Hawking, Carl Sagan, Ann Druyan, hingga Siddharta Mukherjee. Kepustakaan Populer Gramedia mengupayakan karya mereka dalam terjemahan bahasa Indonesia. Kehadiran mereka, di satu sisi memberi pengalaman baru mengenai bidang kealaman, namun di sisi lain menjadi tamparan bagi para penulis yang kurang cakap mempopulerkan tema dalam keilmuan alam.
Literasi Sains
Menjadi mafhum tatkala Ahmad Arif menulis “Literasi Sains” (Kompas, 11 September 2019). Ia menyatakan, “Buku-buku sains populer karya penulis Indonesia nyaris tak ada. Kalaupun beredar di pasaran, sebagian besar merupakan karya terjemahan. Memproduksi buku sains populer tak mudah. Selain menuntut riset panjang, idealnya buku-buku sains populer ditulis oleh para pakar yang paham tentang sains, yang dibahasakan untuk publik.”
Saat membaca buku Stephen Hawking, kita akan mudah menemukan kalimat metaforis yang menjadi bagian untuk mendalami dan memahami konsep alam semesta. Carl Sagan dan istrinya, Ann Druyan begitu indah dan memukau menyajikan guratan mengenai kosmologi dan astronomi dalam karya mereka. Sementara itu, Siddharta dengan penuh keyakinan melibatkan sastra dalam karyanya untuk mengajak kita memikirkan biologi molekuler.
Untuk mencapai kecakapan terhadap sains kealaman tentunya tidak sebatas hanya mengandalkan pada fungsi hafalan. Namun, setidaknya perlu meletakkan pada kesadaraan pemahaman dan telaah lebih lanjut terhadap keberadaan sebuah teori dengan fungsi persamaan matematika yang ada. Kita sangat perlu mengembangkan peranan teori kebahasaan dalam ranah pendidikan sebagai dasar untuk mengerti hakikat sains.
Pengalaman Finlandia
Pengalaman di beberapa negara yang kecakapan mengenai sains di atas rata-rata, seperti halnya di Finlandia, menerapkan metode keterhubungan proses berilmu terhadap lingkungan dan kebudayaan sekitar. Dalam artian lain, mempelajari konsep dan teori di ruang kelas benar menjadi inspirasi dan penuntun imajinasi untuk menghayati proses demi proses dalam kehidupannya.
Beda arti tatkala dalam proses pendidikan adalah hanya menekankan pada hafalan persamaan dan teori dan diberi beban pada capaian pengerjaan soal tanpa pelibatan makna. Metode itu yang menjadikan proses keilmuan kering dan menanggalkan keterhubungannya dengan peristiwa maupun fenomena yang dialami dari lingkungan sekitarnya.
Pada konteks pertumbuhan dan perkembangan mengenai capaian pemeringkatan terkait kecakapan sains, matematika, dan literasi di tingkatan internasional—kita masih terbawa pada logika persaingan. Namun, kekurangannya adalah menilik jauh dari banyak aspek tentang cara kita menyajikan hal tersebut. Katakanlah pada sains kealaman dan matematika—notabene itu menjadi bahasa warga dunia. Tentu ada hal yang keliru ketika budaya mengenai keduanya di negeri ini tidak bertumbuh dengan baik.[]