Hal apa saja yang terjadi dalam kehidupan di muka Bumi ini, rasanya manusia perlu terus menjadi pihak yang harus peduli. Apa sebab? Manusia menjadi bagian dari kehidupan yang dianugerahi akal untuk terus berpikir. Dengan kata lain, di sana termasuk pula pada hal yang berhubungan dengan ancaman maupun kekhawatiran terhadap perjalanan kehidupan.
Mula-mula, tentu kehidupan di Bumi ini seimbang sebagaimana mestinya. Namun, karena manusia itu memiliki kemungkinan berinteraksi dan melakukan aktivitas, tidak sedikit tindakan demi tindakan mereka justru merusak keseimbangan Bumi itu sendiri. Kau lihat misalnya, bagaimana eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan dalam jangka panjang berakibat pada bencana.
Saat beberapa manusia memiliki watak suka membuang sampah sembarangan, kita tahu ada ancaman pencemaran lingkungan, banjir, hingga munculnya penyakit. Selain itu, saat beberapa manusia suka menebang pohon-pohon di hutan untuk kepentingan pribadi, mereka kadang tidak menyadari bahwa lambat laun hutan menjadi gundul dan berkuranglah suplai oksigen untuk kebutuhan bernapas.
Di luar itu masih banyak lagi tentunya sikap-sikap yang sering dilakukan oleh manusia dalam menjalani kehidupan ini. Kemudian, apa hubungannya terhadap keberadaan krisis iklim? Dulu, sebelum digunakan istilah “krisis iklim”, kata yang digunakan berupa “perubahan iklim”. Secara mendasar pengertiannya adalah banyak tindakan manusia yang berakibat pada terjadinya perubahan dalam iklim itu sendiri. Tentu saja, ini menyiratkan siklus Bumi tidak seimbang.
Baca Juga: Materi Krisis Iklim untuk SMS/MA Kelas X
Ada sebuah buku menarik garapan dari Russ Parker, dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Safran Yusri, diterbitkan Bhuana Ilmu Populer pada 2012. Judulnya Selamatkan Bumi Kita: Krisis Iklim. Di salah satu bagian buku, Parker menulis: “Krisis iklim merupakan masalah bagi seluruh dunia. Badai dan banjir tidak memedulikan batas negara.”
Efek Rumah Kaca
Pernyataan itu membuat kita merenung untuk mencari dampak maupun akibat yang muncul dari keberadaan krisis iklim. Parker memberi penjelasan dengan detail. Seperti di antaranya suhu Bumi yang makin memanas, munculnya cuaca ekstrem, hingga menipisnya lubang ozon. Bukankah kita sadar, ketiga dampak tersebut sangatlah berbahaya bagi kehidupan kita bersama? Mari kita pelajari penjelasan lain yang terdapat di dalam buku! Salah satu dampak yang kentara adalah meningkatnya jumlah gas rumah kaca yang berakibat pada kenaikan suhu Bumi.
Apa gas rumah kaca itu? Kita biasanya mengenal Efek Rumah Kaca, menipisnya lapisan atmosfer Bumi. Panas matahari terperangkap di atmosfer Bumi. Satu penyebabnya adalah peningkatan karbon dioksida (CO2) yang disebabkan oleh beberapa peristiwa. Seperti di antaranya: penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, penebangan liar dan pembakaran hutan, pencemaran laut, industri pertanian, gas industri, hingga penggunanan Klorofluorokarbon (CFC) yang berlebihan.
Di buku, Parker menyinggung mengenai CFC. Tulisnya: “Karbon dioksida perlu diperhatikan karena kita banyak melepaskannya dalam kehidupan sehari-hari. Klorofluorocarbon (CFC) digunakan dalam kulkas, penyejuk udara, pembersih industri, dan kemasan styrofoam. CFC memerangkap panas 20.000 kali lipat lebih banyak dibandingkan CO2, tetapi kuantitasnya jauh lebih sedikit.”
Kita beralih pada buku berjudul Perubahan Iklim dan Pemanasan Global, yang ditulis oleh tiga nama, masing-masing: Prof. Dr. Ir. Odi R. Pinontoan, M. S., Dr. Oksfriani J. Sumampouw, S. Pi., M. Kes., dam Dr. dr. Jeini E. Nelwan, M. Kes. Buku itu berjudul Perubahan Iklim dan Pemanasan Global, diterbitkan oleh Penerbit Deepublish pada 2021. Kita dapat membaca penjelasan Efek Rumah Kaca secara luas.
Keterangan tersebut berupa: “Efek rumah kaca merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan bumi memiliki efek seperti rumah kaca di atas di mana panas matahari terperangkap oleh atmosfer bumi. Gas-gas di atmosfer, seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2), metana (CH4), dan Freon (SF6, HFC, dan PFC) dapat menahan panas matahari sehingga panas matahari terperangkap di dalam atmosfer bumi.”
Efek Rumah Kaca tidaklah merugikan sebenarnya. Justru dibutuhkan. Dikarenakan Efek Rumah Kaca tersebut lah Bumi dapat dihuni. Sebab, apabila tanpa keberadaannya suhu Bumi biasa mencapai -18ºC. Sangat dingin sekali. Namun, jika gas tadi berlebihan itu yang menjadi masalahnya. Bumi menghadapi apa yang dinamakan dengan pemanasan global dengan ditandai kenaikan suhu di atas rata-rata.
Mencari Solusi
Berangkat dari sana, tentu kita perlu menyadari dengan sepenuhnya. Kita tentunya tidak menginginkan kondisi seperti disebutkan di atas. Sedangkan di sisi lain keberadaan krisis iklim terus melekat sejauh perjalanan kehidupan abad XXI ini. Alasan mendasar yang perlu kita jadikan komitmen bahwasannya adalah Bumi sejauh ini merupakan satu-satunya planet yang layak dihuni. Ibarat kata, Bumi itu adalah rumah kita. Mengerti rumah yang kita huni menghadapi tantangan, yang perlu kita lakukan adalah mencegah kemungkinan tersebut.
Ada sebuah artikel menarik yang ditulis salah satu cendekiawan Indonesia, namanya Ismid Hadad. Artikel tersebut berjudul “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar”. Di mana tulisan itu dimuat dalam Majalah Prisma edisi No. 2, April 2010. Tulisannya begitu panjang dan kompleks, akan bagaimana ia menguraikan secara detail keterhubungan antara masalah perubahan iklim dengan kepentingan pembangunan.
Ismid Hadad membuka dengan pernyataan refleksi berupa: “Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius, kompleks dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin hingga abad ke-22. Tak ada satu negara atau kelompok masyarakat di dunia ini mampu menghindar, apalagi mencegah terjadinya ancaman terhadap perdaban bangsa tersebut.”
Salah satu yang ia fokuskan adalah bagaimana memberi bahasan akan keberadaan Gas Rumah Kaca (GRK). Keberadaan GRK perlu distabilkan untuk memperlambat laju kenaikan rata-rata suhu permukaan Bumi. Ia menulis bahwa GRK memiliki keterhubungan terhadap penggunaan energi dan industri. Disebutkan beberapa jenis sektor yang menyumbang kenaikan GRK, Masing-masing: pembangkit tenaga listrik (26%), sektor industri (19%), transportasi (13%), serta bangunan gedung (8%). Sementara itu, sisanya berasal dari alih guna lahan hutan, pertanian, dan limbah sampah.
Ada dua cara atau kunci yang dituliskan oleh Ismid Hadad dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Masing-masing terdiri dari mitigasi dan adaptasi. Bagian mitigasi, ia jelaskan: “Pertama, mitigasi untuk mencegah, menghentikan, menurunkan atau setidaknya membatasi pelepasan emisi gas buangan, gas pencemar udara, yang kini lazim disebut “gas-gas rumah kaca” di atmosfer.”
Sementara itu, adaptasi dijelaskan dalam keterangan: “Kunci kedua untuk menanggulangi perubahan iklim adalah adaptasi. Artinya upaya untuk menyesuaikan diri, melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan yang terjadi. Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklim tak mungkin lagi bisa dihindari, apalagi dicegah. Perubahan iklim dan pemanasan global dalah fenomena yang niscaya akan terjadi.”
Pernyataan tersebut membawa kita perlu memaknai ulang akan kenyataan fenomena perubahan iklim yang kemudian disebut dengan krisis iklim. Kita diajak untuk merenungi dari hal-hal terkecil dalam sekitar lingkungan hidup kita. Tiap-tiap dari kita bisa berbuat sesuatu dalam menghadapi itu semua. Krisis iklim bukan sesuatu yang berada di awang-awang, namun ia nyata dan kita hadapi bersama.[]