Pada hari Rabu (10/7/2024) malam program Mata Najwa hadir di Kota Solo dalam tajuk “Panggung Warisan Budaya”. Berkolaborasi dengan Indonesian Heritage Agency dan Institute Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Mata Najwa mengajak sejumlah tokoh kesenian untuk berdialog di Pendopo Ageng KGPH Joyokusumo ISI Surakarta.
Dalam acara tersebut sempat membahas tentang tradisi dan warisan budaya kerap dinilai tak populer di mata anak muda sehingga muncul
kekhawatiran bahwa budaya akan sulit dilestarikan. Di bidang warisan budaya benda (tangible cultural heritage), pemilik acara, Najwa Shihab menyinggung mengenai Candi Muara Jambi. Beberapa kali sang pembawa acara membahas tentang Candi Muara Jambi. Bahkan di channel youtube Najwa Shihab tanggal 25 Juni 2024 menayangkan “Menelusuri Peradaban yang Hilang di Muarajambi”.
Sebenarnya ada apakah di Muarajambi? Berikut kami sampaikan informasi mengenai Candi Muaro Jambi yang sudah masuk kategori Cagar Budaya yang diambil dari banyak sumber. Candi Muaro Jambi terletak di Kabupaten Muaro Jambi adalah kabupaten di Provinsi Jambi, Indonesia. Kabupaten ini merupakan kabupaten dengan penduduk terbanyak di Provinsi Jambi, dengan populasi sebanyak 418.799 jiwa (2023). Kota Jambi, yang merupakan ibu kota Provinsi Jambi, merupakan enklave dari kabupaten yang beribukota di Sengeti ini.
Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia. Tepatnya di tepi Batang Hari. Dilansir dari laman resmi Kemendikbud, Kawasan Cagar budaya Muarajambi terletak di tepian aliran Sungai Batanghari, berhulu di Pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di pantai timur Jambi.
Peninggalan kepurbakalaan di kawasan ini meliputi kompleks percandian, situs permukiman kuno, dan sistem jaringan perairan masa lalu dengan cakupan lokasi delapan desa, yakni Desa Muara Jambi, Desa Danau Lamo, Desa Dusun Baru, Desa Kemingking Luar, Desa Kemingking Dalam, Desa Dusun Mudo, Desa Teluk Jambu, dan Desa Tebat Patah. Desa-desa tersebut masuk dalam wilayah Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi.
Kawasan Cagar Budaya Muarajambi mendapat status warisan budaya nasional melalui penetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No: 259/M/2013 dengan luas kawasan 3.981 hektar dan pada 2009, kompleks Candi Muaro Jambi ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sekaligus menjadi cagar budaya Indonesia.
Muarajambi sebagai lokasi peninggalan purbakala pertama kali dikenal dari laporan seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke tahun 1820. Crooke melaporkan bahwa ia melihat reruntuhan bangunan dan menemukan sebuah arca yang menggambarkan arca Buddha. Pada tahun 1921 dan 1922 ketika T. Adam menerbitkan catatannya dalam majalah Oudheidkundig Verslag, menyebutkan keberadaan reruntuhan bangunan dan arca di Muarajambi.
Selanjutnya, antara tahun 1936 dan 1937, F.M. Schnitger seorang sarjana Belanda melakukan perjalanan ke tempat-tempat peninggalan purbakala di Pulau Sumatera, termasuk Jambi. Ketika mengunjungi Muarajambi tahun 1937, Schnitger menyebut tentang adanya reruntuhan bekas kerajaan kuno dan menyebut nama-nama candi, antara lain Astano, Gumpung, Tinggi, Gudang Garem, Gedong I, Gedong II, dan Bukit Perak.
Pada masa pemerintahan Indonesia melalui Jawatan Purbakala pada tahun 1954 dibentuk tim survei dipimpin oleh ahli purbakala R. Soekmono untuk melakukan peninjauan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala Sumatera Bagian Selatan, termasuk Muarajambi. Pada tahun 1976 untuk pertama kalinya dimulai kegiatan pelestarian candi-candi di Muarajambi oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya dilakukan pemugaran Candi Tinggi pada tahun 1978/1979, Candi Gumpung pada tahun 1982 hingga 1988, Candi Astano tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II dimulai tahun 2001 s.d. selesai, Candi Tinggi I tahun 2005 s.d. 2008, Candi Kedaton tahun 2009 hingga saat ini.
Para ahli memperkirakan Kawasan Cagar budaya Muarajambi merupakan peninggalan Kerajaan berlatar belakang kebudayaan agama Buddha Mahayana yang telah berkembang di Sumatera dari abad VII XIII Masehi. Pada penelitian arkeologi di Candi Gumpung ditemukan sebuah arca Prajnaparamita. Arca ini mirip dengan arca yang ditemukan di Jawa yang bergaya Singhasari berasal dari sekitar abad ke-13 Masehi. Di candi ini juga pernah ditemukan kertas emas.
Berdasarkan bentuk aksara pada kertas emas diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-9 sampai 10 Masehi. Sementara itu, di sekitar kawasan cagar budaya ini banyak pula ditemukan pecahan keramik Cina yang sebagian besar berasal dari masa Dinasti Song (abad 10 Masehi), Dinasti Yuan (Abad 13 Masehi) dan dari masa yang lebih tua, yaitu dari Dinasti Tang (abad ke-8 sampai 9 Masehi).
Kawasan Cagar budaya Muarajambi memiliki potensi untuk dinominasikan sebagai Warisan Dunia. Potensi ini tergambar dari keluasan kawasan, keragaman tinggalan cagar budaya, dan sejarah kebudayaannya. Lebih lanjut, Agus Widjatmoko, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V, dalam channel Youtube Najwa Shihab, menyampaikan bahwa dahulunya kawasan candi ini dibangun untuk pusat pendidikan, perguruan Agama Budhis yang sebanding dengan Nalanda. Tidak hanya sebagai pusat pendidikan, tapi kawasan tersebut juga ditinggali oleh para biku dan murid-muridnya pada masa itu. Bahkan di luar kompleks candi juga ditinggali oleh pendatang-pendatang dari Cina.
Baca Juga: Bukan Soal Percaya atau Tidak, Sains yang Menunjukkan Krisis Iklim itu Nyata
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI Hilmar Farid, mengatakan bahwa kawasan candi ini merupakan kepingan puzzle sejarah Indonesia selain candi-candi yang di Jawa. Tidak hanya itu, Dalai Lama juga menganggap Muara Jambi ini awal dari apa yang kemudian berkembang di Tibet. Harapan dari Hilmar Farid ini kembali menjadi tempat orang menimba ilmu. Dari segi narasi sejarah candi ini lebih besar dari candi Borobudur.
Di tempo.co dijelaskan, dalam sumber peninggalan tertulis, Dinasti Tang di Cina menyebutkan adanya perjalanan pendeta Buddha bernama I-Tsing pada 672 Masehi untuk memperdalam agama Buddha ke India. Menurut Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo, dalam perjalanannya, I-Tsing singgah di Sriwijaya. Peristiwa singgahnya I-Tsing tergambar dari Prasasti Karangbrahi yang ditemukan di wilayah Jambi hulu. I-Tsing menceritakan perjalanannya dan menggambarkan keadaan sebuah kolam yang diyakini sama dengan peninggalan yang ditemukan di Muaro Jambi.
Namun ada beberapa kendala untuk meng-eksplorasi kawasan cagar budaya candi Muaro Jambi. Salah satunya kawasan candi dikelilingi stock field batubara. Debu-debu batubara stock field batu bara sangat mengganggu karena bisa merusak kawasan candi. Karena usia bangunan candi yang sudah ratusan tahun dan menggunakan batu bata.
Kembali lagi kita dibuat kagum dengan kejayaan bangsa ini di masa lalu. Tidak hanya kejayaan di bidang maritim, tetapi juga kejayaan di bidang ilmu dan pengetahuan. Apakah kita cukup rebahan sambil mengenang euforia kejayaan sejarah?[]