Teknik selalu terngiang di benak kepala banyak orang. Teknik itu ingatan kolektif yang melahirkan berbagai tafsir untuk mengartikannya secara sederhana. Kata itu kemudian melekat pada berbagai aktivitas kehidupan manusia dalam berbagai bidang. Setidaknya adalah pemerian makna untuk menjelaskan sesuatu dengan tahapan demi tahapan yang dilakukan. Banyak orang memaknai teknik berupa melakukan sesuatu.
Namun, rupa-rupanya sejarah yang berlangsung ketika berbicara teknik, kita mengingat akan keberadaan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Konon, kampus itulah yang memiliki sejarah dan berperan penting dalam mengartikan teknik. Pada tahun 2011, pihak kampus bekerja sama dengan PT. Nusa Global menerbitkan buku berjudul Sembilan Puluh Tahun Pendidikan Teknik di Indonesia. Buku tebal dan dicetak dengan kertas konstruk dari istilah Inggris, art paper.
Buku itu mengajak para pembaca untuk kembali mengingat sejarah perguruan tinggi teknik di Indonesia. Kemudian hari sampai saat ini kita mengenalnya dengan Institut Teknologi Bandung, kampus mentereng dan tiap tahun menjadi idaman ratusan ribu anak Indonesia. Kita diajak menelusuri kesejarahan nama dan perubahan yang terjadi seiring perubahan zaman dan gejolak yang terjadi.
Sejarah
Mulanya, sejak zaman kolonial Belanda dengan nama Technische Hogere School (THS) yang menapaki sejarah pada 1920-1942. Rencana awal diresmikan pada Juli 1922. Keterangan tertulis di buku: “Gubernur Jendral mengharapkan perguruan tinggi yang pertama di Indonesia itu dapat dibuka pada tahun 1920. Berkat ketekunan penyelenggara dan bantuan yang besar dari berbagai pihak, pembangunan berjalan dengan lancar sehingga dalam tempo satu tahun bangunan inti sudah berdiri.”
Sejarah mencatat, pada 3 Juli TH diresmikan. Penjelasan membawa catatan mahasiswa angkatan pertama yang masuk ke sana. Penjelasan tertulis: “Sebagaimana telah dikemukakan, jumlah mahasiswa pada waktu TH dibuka ada 22 orang. Jumlah itu kemudian bertambah menjadi 28 orang, yang terdiri atas 22 orang Belanda, 2 di antaranya wanita, 2 orang Indonesia, dan 4 orang Cina. Semuanya lulusan HBS. Di samping itu, tercatat 5 mahasiswa luar biasa, yakni 3 orang untuk Ilmu Pasti dan 2 orang untuk Fisika.”
Kita tak ingin menghanyutkan diri pada nostalgia. Namun, perlu menghayati kenyataan yang ada. Sebuah institusi mungkin sejak dirintis tak langsung membuat banyak orang memberi perhatian. Itulah proses yang terkadang harus menjumpai jalan bernama lambat laun. Hal menarik yang terdapat dalam sejarah itu adalah keberadaan institusi sebelum berada di tangan pemerintah, terdiri dari Fakultas Jalan dan Air. Kita dibuat sadar bahwa kedua hal itu penting pada masanya. Bahwa kemudian teknik menjalar pada urusan infrastruktur, pembangunan, hingga sosial masyarakat.
Ekspedisi
Teranglah ketika menyimak buku garapan Rudolf Mrázek yang karya aslinya oleh Princenton University Press menerbitkan pada 2002. Hermojo menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Yayasan Obor Indonesia menerbitkannya pada Juni, 2006 dengan judul Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Buku itu dibuka dengan pembahasan mengenai jalan.
Ia menceritakan ekspedisi yang dilakukan oleh Dr. Jan Willem Ijzerman, insinyur Jawatan Kereta Api Belanda. Nama itu penting pula bagi TH. Ia adalah orang pertama yang mendapat gelar honoris causa dari TH, tepatnya pada 7 April 1925 dalam bidang teknik. Di buku Sembilan Puluh Tahun Pendidikan Teknik di Indonesia tertulis: “Selanjutnya, sebagai penghargaan terhadap jasa Dr. Ijzerman, taman di dalam kampus TH dinamai Ijzermanpark (sekarang taman Ganesha) dan di situ ditempatkan patung Ijzerman.”
Mengenai ekspedisi itu, Mrázek mencatat: “Semua pekerjaan itu dilakukan sedemikian rupa agar roda-roda [kereta api], di masa depan, dapat menggelinding. Namun, agar ekspedisi itu bergerak—dan memindahkan bentang alam sewaktu mereka bergerak—berarti meninggalkan jejak-jejak kaki dilumpur basah, seperti badak atau babi hutan. Untuk maju terus, diperlukan teknologi tertentu….”
Masa Bergejolak
Keterangan penting dan mengajak berpikir akan keberadaan teknologi. Teknologi tidak akan sah ketika tidak membicarakan ilmu dan pengetahuan. Pendidikan meyakinkan banyak orang sebagai gerbang dalam memperoleh itu. Kita ingin kembali pada sejarah perjalanan TH. Di masa pendudukan Jepang (1944-1945), lembaga berubah nama menjadi Bandoeng Kogyo Daigaku dengan terdiri dari Daigakubu atau Sekolah Tinggi dan Senmonbu (Sekolah Menengah).
Sementara itu pada 1945-1946 menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung. Tahun bergejolak pada 1946 saat Belanda mencoba untuk menguasai kembali Indonesia, keberadaan lembaga bukan menjadi sebuah sekolah tinggi sendiri. Namun, sebagai sebuah fakultas. Peleburan saat Republik Indonesia Serikat terjadi setelah upaya pengambilalihan lembaga dari NICA yakni terdiri dari Balai Pergruan Tinggi RIS dan Universiteit van Indonesie. Kampus yang di Bandung itu merupakan bagian Fakultet Teknik dan Fakultet Ilmu Alam dan Ilmu Pasti dari Universiteit van Indonesie yang kemudian pada 1956 menjadi Universitas Indonesia.
Peresmian
Situasi perubahan terus terjadi sampai pada 2 Maret 1959, Soekarno meresmikannya berupa apa yang kemudian dikenal sampai saat ini: Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain sebagai prsiden ketika itu, Soekarno adalah salah satu alumni dari Technische Hogeschool (TH). Di sekian gelar honoris causa, Soekarno mendapatkannya salah satunya dari kampus ITB. Tepatnya pada 13 September 1962 ia memperoleh gelar honoris causa bidang Ilmu Teknik.
Baca Juga: Daftar Pidato Bung Karno Saat Menerima Doktor Honoris Causa dan Kutipan yang Perlu Dikau Pahami
Dalam buku berjudul Ilmu dan Perjuangkan (Inti Indayu Press, 1984) melampirkan pidato ketika mendapatkan gelar di ITB berjudul Ilmu Teknik Harus Mengabdi Masyarakat Adil dan Makmur. Soekarno berpidato panjang, mulai mengenang masa dia di TH (terdaftar pada 1921, setelah dua bulan berhenti setahun dan mendaftar lagi pada 1922) hingga berbicara mengenai teknik. Ia membahasakan istilah teknik bukan sebatas alat. Ia menyampaikan teknik dengan berbagai dimensi—ilmu, sosial, politik, dan ekonomi. Pidato Soekarno agaknya ingin menegaskan untuk terus memikirkan ulang bagaimana mendudukkan kata “teknik”.[]