Tujuh Dosa Sosial Menurut Mahatma Gandhi

Oleh Umar J Harahap
11 Juli 2024, 15:00 WIB

Mahatma Gandhi mengidentifikasi tujuh dosa sosial yang dapat merusak tatanan moral dan sosial dalam masyarakat. Ketujuh dosa sosial tersebut adalah: kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa suara hati, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.

  1. Kekayaan Tanpa Kerja

    Gandhi mengecam praktik mendapatkan kekayaan tanpa usaha atau kontribusi yang berarti. Fenomena ini mencakup spekulasi pasar, manipulasi aset, dan penumpukan kekayaan tanpa membayar pajak atau menanggung tanggung jawab keuangan yang wajar. Pola pikir “cepat kaya tanpa kerja” berakar pada ketamakan dan menyebabkan distorsi dalam masyarakat. Kendati demikian, perlu adanya kesadaran bagi para politis untuk mengubah mindset agar memandang politik bukan untuk tujuan kapitalisasi, namun sebagai keberpihakan dan pengabdian.

  2. Kenikmatan Tanpa Suara Hati

    Kenikmatan tanpa pertimbangan moral dan tanggung jawab adalah tanda egoisme. Banyak orang mengutamakan kesenangan pribadi tanpa memedulikan dampaknya terhadap orang lain, termasuk keluarga. Suara hati, yang merupakan tempat bersemayamnya prinsip-prinsip kebenaran dan moral, harus menjadi panduan dalam mencari kenikmatan. Hidup yang tidak egois, peka, dan penuh perhatian akan menciptakan rasa tanggung jawab sosial dalam setiap tindakan kita.

  3. Pengetahuan Tanpa Karakter

    Pengetahuan yang tidak disertai dengan karakter moral yang kuat dapat menjadi sangat berbahaya. Pendidikan karakter harus seimbang dengan perkembangan intelektual. Nilai-nilai seperti kebaikan, keadilan, martabat, sumbangsih, dan integritas harus diintegrasikan dalam sistem pendidikan dan pengembangan perusahaan untuk mencapai keseimbangan antara intelektual dan moral.

  4. Bisnis Tanpa Moralitas

    Menurut Adam Smith, dasar moral sangat penting untuk keberhasilan sistem ekonomi. Keadilan dan kemauan baik dalam bisnis adalah tiang penyangga sistem perdagangan bebas. Oleh karen itu, ketika bisnis bergerak tanpa dasar moral, alhasil masyarakat juga pebisnis akan menjadi tidak bermoral, bahkan asusila. kendati demikian, Semangat menang-menang dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat adalah esensi dari bisnis yang bermoral.

  5. Ilmu Pengetahuan Tanpa Kemanusiaan

    Ilmu pengetahuan yang hanya berfokus pada teknik dan teknologi tanpa memperhatikan tujuan kemanusiaan akan menyebabkan konflik antara manusia dan kemanusiaan. Teknologi harus tertuju pada kemanusiaan yang benar. Evolusi dalam ilmu pengetahuan harus membawa pada kemajuan manusia yang nyata dan berharga.

  6. Agama Tanpa Pengorbanan

    Agama tanpa pengorbanan hanyalah tirai sosial tanpa makna spiritual yang mendalam. Melayani kebutuhan orang lain memerlukan pengorbanan dan kerendahan hati. Pemimpin agama yang sejati memiliki semangat pelayanan yang tinggi dan rendah hati. Sebaliknya, banyak orang ingin berpenampilan beragama tanpa mau berkorban, sehingga kehilangan esensi spiritualitas yang sebenarnya.

  7. Dosa Sosial Politik Tanpa Prinsip

    Dosa sosial yang ketujuh ialah politik tanpa prinsip. Banyak politisi menghabiskan banyak uang untuk membangun citra tanpa substansi untuk memperoleh suara dan jabatan. Politik tanpa prinsip ini terlepas dari hukum-hukum alam dan merusak sistem politik. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat menegaskan hak-hak dasar manusia yang harus dihormati, namun kenyataannya masih banyak kerusuhan dan konflik yang menunjukkan kurangnya prinsip dalam politik.

Baca Juga: Antara Partini Widijawati, dan Balekambang: Penulis dan Karya Besar yang Terlupakan?

Masalah Sosial di Indonesia

Menyoal Indonesia, masalah sosial yang kompleks memerlukan perhatian serius. Beberapa masalah utama adalah kesenjangan sosial, konflik antara pribumi dan pendatang, primordialisme SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), arogansi penguasa, saluran politik yang tersumbat, provokasi sebagai alat politik, dan budaya main hakim sendiri.

  1. Kesenjangan Sosial

    Kesenjangan sosial-ekonomi yang mencolok menjadi penyebab utama kerusuhan. PHK massal dan kelaparan di satu sisi, sementara segelintir orang menikmati kekayaan dari korupsi, menciptakan ketidakadilan yang mencolok.

  2. Konflik Pribumi-Pendatang

    Program transmigrasi menyebabkan konflik antara pendatang dan pribumi, terutama ketika pendatang mulai memperoleh keuntungan besar dan menduduki posisi penting.

  3. Primordialisme SARA

    Konflik SARA menunjukkan terkoyaknya nilai-nilai Pancasila. Konflik antar suku, agama, ras, dan golongan semakin mengemuka, menciptakan ketegangan sosial yang berbahaya.

  4. Arogansi Penguasa

    Penguasa sering kali bersikap arogan dan merasa diri mereka tak pernah salah. Kesalahan penguasa yang sering menyeruak tak tersentuh sama sekali, sementara rakyat biasa sering kali menjadi korban ketidakadilan.

  5. Saluran Politik yang Tersumbat

    Suara-suara reformasi sering dibungkam, baik melalui kriminalisasi, maupun pengerahan massa. Saluran politik yang tersumbat membuat rakyat merasa tidak terwakili dan mendorong mereka untuk berdemonstrasi.

  6. Provokasi sebagai Alat Politik

    Kerusuhan dan amuk massa sering kali diprovokasi untuk mencapai tujuan politik tertentu. Provokasi ini merusak tatanan sosial dan membuat rakyat miskin semakin menderita.

  7. Main Hakim Sendiri

    Budaya tawuran (antar pelajar, perguruan silat dan warga)  serta sikap main hakim sendiri semakin merajalela. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada aparat penegak hukum, sehingga cenderung menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan.

Kesimpulan dan Saran

Multikulturalisme sebagai ideologi harus tertanam sebagai bentuk respek yang saling menguntungkan antara berbagai etnik dan kebudayaan. Ini memerlukan pembaruan, pro-eksistensi, inklusi, dan interaksi. Multikulturalisme bukan berarti memperkuat sikap etnosentrisme, melainkan menciptakan komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, upaya komunikasi yang baik akan membantu memahami karakter dan unsur-unsur penting dari berbagai kebudayaan, serta menumbuhkan sikap saling menghargai, yang pada akhirnya akan membantu menjaga eksistensi dan stabilitas Negara Republik Indonesia sesuai dengan cita-cita bangsa dan konstitusi UUD 1945 yang berlandaskan Pancasila.

 

Artikel Terkait