Belajar dari Muhammadiyah dan Bank BSI

Oleh rambak.co
13 Juli 2024, 13:00 WIB

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mengalokasikan sebagian besar anggaran pendidikan khusus untuk mencetak pebisnis atau entrepreneur Indonesia.

Pakar Ekonomi Islam tersebut mengatakan hal serupa pern terjadi pada kepemimpinan Mantan Menteri Keuangan Indonesia Sumitro Djojohadikusumo pada zaman dahulu, yang menerapkan Sistem Gerakan Benteng, guna mengubah struktur ekonomi peninggalan Belanda menuju ekonomi nasional.

“Hal ini menurut Sumitro perlu dilakukan, karena peta penguasaan ekonomi yang ada tampak sekali berat sebelah dan cenderung mengedepankan kepentingan pengusaha asing, serta tidak menguntungkan bagi pengusaha pribumi atau penduduk asli,” Tukas Anwar Abas (Antaranews, 03/07/2024) dengan judul Pemerintah diminta alokasikan anggaran khusus cetak pebisnis pribumi.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menambahkan program tersebut  memberikan keistimewaan pada importir beretnis pribumi, yang diberi kewenangan melakukan impor khusus dengan mendapatkan jatah devisa dengan kurs murah.

Ia melanjutkan penerapan program ini juga berlanjut dengan memberikan kredit modal kepada para pengusaha etnis pribumi, sebab pada saat itu mereka dinilai sulit untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan, terutama dari dunia perbankan.

Baca Juga: Tujuh Dosa Sosial Menurut Mahatma Gandhi

Namun demikian, lanjut Anwar, pada saat itu program tersebut dinilai gagal karena para pengusaha pribumi yang pemerintah dukung tidak memiliki mentalitas sebagai pengusaha yang tangguh, dimana mereka tidak mampu bersaing dengan para pengusaha dari etnis Tionghoa.

“Meskipun demikian, gagasan Sumitro ini bila menilik dengan peta perekonomian nasional saat ini tentu masih sangat relevan untuk berlanjut, agar negeri ini ke depan bisa berjalan dengan baik tanpa ada kecemburuan sosial ekonomi antara sesama warga bangsa,” ujarnya.

Menurut Anwar, saat ini terdapat semacam kecemburuan sosial akibat penguasaan perekonomian nasional saat ini sangat didominasi oleh Warga Negara Indonesia dari etnis tertentu, seperti etnis Tionghoa.

Ia mengatakan dalam tak boleh saling menyalahkan, karena etnis pribumi tidak sepiawai etnis Tionghoa dalam menjadi seorang pebisnis.

Namun demikian, lanjutnya, hal ini tidak hanya menjadi keresahan dari penduduk etnis pribumi, tapi juga telah menjadi perhatian besar dari para pengusaha besar seperti Ciputra, yang merupakan konglomerat bidang properti dari kalangan etnis Tionghoa.

“Oleh karena itu jalan keluarnya, kata Ciputra, pemerintah harus bisa mengalokasikan sebagian besar anggaran pendidikan yang dimilikinya untuk mencetak para entrepreneur melalui jalur pendidikan yang ada. Sehingga, keseimbangan jumlah entrepreneur dalam perekonomian nasional bisa tercipta dan stabilitas sosial ekonomi serta politik nasional ke depan dapat terwujud sesuai dengan yang kita harapkan,” tutur Anwar Abbas.

Berkaitan dengan pernyataan Wakil Ketua MUI, Pengamat ekonomi dari INDEF, Enny Sri Hartati, mengatakan persoalan kesenjangan ekonomi tidak bisa dilihat sebagai masalah ras.

“Kalau memang ini mau diselesaikan, bukan berdasarkan kasus etnisnya, tapi bagaimana pemerintah punya law enforcement. Siapapun yang melanggar ketentuan-ketentuan, melakukan persaingan usaha tidak sehat, itu yang harus diberi sanksi. Siapapun etnisnya. Tidak elok kalau mendikotomikan antara pribumi dan non-pribumi,” katanya.

Dia khawatir bahwa masalah ini “ditarik ke arah politik” dan melenceng dari solusi. “Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengkoreksi kebijakan yang dianggap salah dan dianggap menyuburkan ketimpangan itu,” tambah Enny (BBC, 15/05/2024)

Sebagai contoh pentingnya pendidikan entreprener yaitu, penarikan dana oleh Organisasi Muhammadiyah dari Bank BSI. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas mengungkap alasan organisasinya menarik dana triliunan dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Menurutnya, dana yang yang tersimpan di bank syariah BUMN itu terlalu banyak.

Atas kondisi tersebut, Anwar khawatir hal tersebut bisa menimbulkan risiko secara bisnis. Pasalnya, dana milik Muhammadiyah terkonsentrasi di BSI. “Fakta yang ada menunjukkan bahwa penempatan dana Muhammadiyah terlalu banyak berada di BSI, sehingga secara bisnis dapat menimbulkan resiko konsentrasi (concentration risk),” kata Anwar (Liputan6, 06/06/2024)

Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Gunawan Budianto menceritakan hubungan BSI dan sebagian pengurus Muhammadiyah memang panas-dingin. Hal itu disebabkan lantaran Muhammadiyah belakangan ini menilai BSI lebih banyak memberikan pembiayaan untuk perusahaan besar dibanding UMKM.

Padahal, pada 2022 lalu, Muhammadiyah dan BSI sepakat untuk menjadi mitra dan berkolaborasi mengembangkan sektor ekonomi umat bagi UMKM. “Yang bikin Muhammadiyah marah, dana disalurkan ke pengusaha-pengusaha besar,” ungkap Gunawan (Tempo, 19/06/2024)

Dari sini kita melihat bagaimana penting nya pendidikan enterpreneur. Tidak cuma untuk mencetak entrepreuner saja, tapi juga menciptakan pengusaha yang bermental pengusaha.  Supaya tidak terjadi permasalahan antara Organisasi Muhammadiyah dengan Bank BSI. Sekelas Bank Plat merah saja bisa kehilangan debitur kakap karena beberapa hal yang kurang menarik bagi kreditur (Muhammadiyah). Sepertinya memang benar adanya jika pribumi hanya menang di sektor kebudayaan dan pemerintahan saja, itu pun karena mayoritas. Untuk sektor perekonomian etnis minoritas masih berjaya.

Artikel Terkait