Fenomena Artis menjadi politikus

Oleh rambak.co
3 Oktober 2024, 09:21 WIB

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “politikus” adalah kata yang berarti “po.li.ti.kus [n] (1) ahli politik; ahli kenegaraan; (2) orang yang terlibat dalam politik; atau “politikus” adalah seseorang yang terlibat dalam politik. Di berbagai negara, para politikus bertanggung jawab atas bagian eksekutif pemerintah, kantor presiden, dan legislatif, serta pemerintah regional dan lokal. Presiden, Anggota legislatif, Gubernur, Menteri, Bupati dan Walikota adalah beberapa jabatan yang biasa dipegang oleh politikus.

Kehadiran artis dalam perpolitikan menjadi alternatif bagi masyarakat. Meskipun, dinilai masih sekadar performatif alias mengedepankan penampilan dan popularitas. Hampir seluruh partai politik di Indonesia memiliki calon legislatif dari kalangan artis.

Demokrasi yang menyediakan persaingan secara terbuka kepada partai politik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat menjadi salah satu faktor banyaknya partai politik menyediakan ruang bagi para selebriti di Indonesia untuk terjun ke politik, beberapa melalui proses pengkaderan, namun juga terdapat yang dicalonkan tidak dengan proses pengkaderan seperti politikus lainnya. Secara substansial, tidak banyak artis yang memiliki gagasan politik yang jelas dan dapat diandalkan. Akibatnya, pemahaman kita tentang politik kontemplatif dari para pelakunya semakin terbatas.

Sebagai negara demokrasi yang menghargai hak-hak warna negara untuk terjun dalam politik praktis tentu hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Salah satu cara suatu negara disebut sebagai “negara demokratis” adalah kehadiran partai politik dalam sistem politiknya, baik sebagai bagian dari usaha dalam menciptakan demokrasi yang substansial maupun prosedural.

Partai politik berfungsi sebagai penghubung antara keinginan masyarakat dan sistem politik Indonesia. Partai politik memainkan peran penting dalam struktur politik demokratis karena mereka berfungsi sebagai penghubung dalam proses pengambilan keputusan bernegara dan menghubungkan masyarakat negara dengan institusi Negara (Resty Nabilah, Izomiddin, 2022).

Fenomena rekrutmen artis oleh banyak partai politik dapat dipahami sebagai satu langkah yang diambil untuk mendulang suara, namun menarik dinanti apakah keterlibatan artis sebagai calon legislative mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam pemilihan umum. Nur Wardhani (2018) menjelaskan Dalam negara demokrasi, partisipasi politik adalah tanda bahwa rakyat menjalankan kekuasaan negara tertinggi yang sah, atau kedaulatan rakyat, yang ditunjukkan dengan partisipasi mereka dalam pesta demokrasi yang dikenal sebagai pemilu.

Tingkat partisipasi politik yang tinggi menunjukkan bahwa orang mengikuti, memahami, dan terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan negara. Sebaliknya, tingkat partisipasi politik yang rendah menunjukkan bahwa orang kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan yang berkaitan dengan negara. Sikap golongan putih, juga dikenal sebagai golput, menunjukkan betapa kurangnya partisipasi politik rakyat.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang partai politik (UU,2011), rekrutment politik diatur pada Pasal 29 yang menegaskan:

  1. Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: Anggota Partai Politik;
  2. Bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
  3. Bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
  4. Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.

(1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mem pertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

  1. Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundangundangan.
  2. Penetapan atas rekrutmen sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.

Serta partai politik juga yang banyak melahirkan para pemimpin, baik di Pemerintahan Pusat maupun Daerah. Douglas dalam Yesi Febriyanti (2022) menyatakan Organisasi politik lebih condong memanfaatkan selebriti, di banding mencetak kader politik sendiri yang militan sesuai ideologi partainya. Fenomena keterlibatan selebriti tentu tidak terlepas dari proses rekrutment yang dilakukan oleh partai politik di Indonesia.

Fenomena Rekrutmen Artis Sebagai Calon Legislatif Ditinjau Dari Perspektif Aksiologi pemilihan umum 2024 sekurangnya terdapat 76 orang calon legislatif dari kalangan artis yang tergabung dalam beberapa partai. Beberapa muncul dengan ide dan gagasan, namun tak sedikit juga yang muncul hanya dengan sensasi dan tidak mampu memaparkan gagasan yang akan dibawa untuk membela dan menjadi perwakilan dari masyarakat Indonesia.

Fenomena Artis terjun ke dunia politik telah menarik perhatian banyak kalangan dan menjadi perbincangan dan pemberitaan oleh media massa serta mengundang banyak diskusi di dalam media digital. Beberapa artis papan atas direkrut oleh partai politik dan dijadikan sebagai icon utama dalam menarik simpati masyarakat. Aulia (2016) menyatakan bahwa kondisi partai politik saat ini lebih mengarah pada memuluskan kepentingan sendiri atau golongan.

Maka tidak heran mengapa fenomena tersebut marak terjadi di Indonesia saat ini. Status mereka sebagai artis yang sudah memiliki popularitas dimanfaatkan untuk mendulang suara partai, pada tahun 2019 terdapat 14 artis yang sukses masuk Senayan menjadi perwakilan dari rakyat Indonesia. Tanpa mendiskreditkan profesi artis, fakta bahwa dunia entertainment dan politik sangat jauh berbeda tidak bisa dikesampingkan.

Maka tidak salah cukup banyak yang meragukan kapasitas para artis tersebut untuk mampu mejadi perwakilan masyarakat Indonesia di Pemerintahan. Proses kaderisasi artis juga terkesan sangat instan, hal tersebut menunjukkan partai politik saat ini sudah sangat pragmatis dan layak dipertanyakan kualitas dari proses kaderisasinya.

Perspektif Aksiologi terhadap fenomena rekrutment artis sebagai calon legislatif Salah satu bentuk dari demokrasi perwakilan adalah pemilihan umum, di mana pemilih memilih wakil mereka untuk menjalankan pemerintahan. Masyarakat inilah yang melakukan pemilihan secara langsung yang diwujudkan dalam bentuk melalui pemilihan umum.

Pemilihan dilakukan dengan prinsip langsung, umum, bebas, jujur, dan adil. Berdasarkan berita yang penulis dapatkan dalam laporan berita yang diterbitkan oleh Kompas.id pada tanggal 24 Mei 2023 dengan judul “Caleg Artis Belum Dibarengi Kapabilitas Politik sebagai Legislator” yang dikutip dari pernyataan Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar yang mengatakan bahwa “fenomena caleg artis ini bisa dilihat dari pola kaderisasi parpol yang belum ideal.

Parpol kerap kali luput dan tidak bekerja melakukan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berkala serta terbuka dan demokratis”. selain itu dalam laporan berita yang diterbitkan oleh Detik.com pada 24 Maret 2023 dengan judul “Marak Partai Merekrut Artis-Eks Pejabat Jadi Bacaleg, Ngefek Nggak Sih? Yang mengutip pernyataan dari Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya itu plus-minus. Parpol menggaet artis itu dengan asumsi karena merasa para artis sudah banyak dikenal masyarakat dan mudah untuk menggaet voters. Sementara pertimbangan kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas serta gairah perjuangan dibuat nomor sekian. Jadi itu memang cara instan parpol memperoleh kursi dengan menonjolkan faktor keartisan.

Tapi yang harus diketahui, kontestasi caleg itu sangat kompleks”. Berdasarkan kutipan dari dua berita tersebut dapat dipahami bahwa fenomena rekrutmen artis dipengaruhi oleh asumsi para petinggi partai politik dalam upaya mendapat simpati masyarakat dan mampu mendulang suara dalam pemilihan umum.

Namun, langkah tersebut mengesampingkan fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik yang baik, serta strategi rekrutmen artis merupakan bentuk langkah instan yang ditempuh oleh partai politik di Indonesia. Fenomena banyaknya artis yang terjun ke politik sekarang ini menjadi satu hal yang layak diperbincangkan di tengah masyarakat maupun di ranah akademik. Aksiologi yang merupakan ilmu yang mengkaji tentang nilai dan kebermanfaatan dari ilmu itu sendiri.

Perspektif aksiologi ini adalah mengkaji kebermanfaatan dari langkah rekrutment artis sebagai calon legislatif yang banyak diambil oleh banyak partai politik di Indonesia, serta bagaimana kondisi tersebut mempengaruhi masyarakat Indonesia yang memegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi.

Manfaat tersebut merupakan hal yang utama, karena pada akhirnya siapapun yang akan terpilih menjadi wakil rakyat harus memprioritaskan kepentingan rakyat Indonesia dengan ide dan gagasan yang dimiliki. Perspektif aksiologi yang mempertanyakan kenapa (why)? dalam artikel ini dihubungkan dengan kenapa partai politik merekrut para artis menjadi bagian dari calon legislatif, dan apapula manfaat yang akan didapatkan oleh masyarakat dan partai politik itu sendiri.

Tentunya jika bicara tentang manfaat yang akan dirasakan oleh partai politik adalah popularitas yang dimiliki oleh para selebriti akan membantu menunjang popularitas partai secara langsung, walaupun popularitas itu bukan pada ranah ide dan gagasan namun akan cukup membantu proses kampanye dari partai politik karena sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal para kandidat dari kalangan selebriti tersebut.

Saat ini fenomena calon legislatif dari kalangan artis seperti sudah menjadi keniscayaan dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal itu dipengaruhi oleh upaya dari partai politik untuk memperoleh banyak suara di pemilihan umum.

Namun bagaimana dengan peran yang akan dilakukan oleh para artis ini jika terpilih? Hal itu menjadi pertanyaan bersama mengenai kapasitas dan kemampuannya dalam membawa aspirasi masyarakat.

Berdasarkan pada pandangan Moh. Wardi, 2013 dalam Armanto et al., (2021) menjelaskan Aksiologi bisa artikan sebagai the theory of value atau teori nilai yang merupakan bagian dari ilmu filsafat yang memperhatikan tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Pada tulisan ini penulis mencoba memaparkan berdasarkan pandangan tersebut. Pertama tentang baik dan buruk, tentunya hal ini menjadi perdebatan, mengingat salah satu tugas partai politik adalah kaderisasi dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang mampu menjadi solusi bagi permasalahan bangsa.

Keterlibatan artis dalam pemilihan legislatif bisa dipandang baik jika kemunculan mereka disertai dengan gagagasan yang ditawarkan, namun akan menjadi buruk jika hanya mengandalkan popularitas semata. Hari ini tidak banyak calon legislatif dari kalangan artis yang mampu menjelaskan ide dan gagasan mereka.

Padahal pada dasarnya proses demokrasi adalah pertarungan gagasan dari setiap kandidat. Hal tersebut merubah wajah demokrasi Indonesia ke arah pertarungan popularitas dan eksistensi dimata masyarakat. Jika hal tersebut menjadi sesuatu yang dianggap normal tentunya ruang legislatif tidak lagi hangat oleh pertarungan gagasan oleh para perwakilan rakyat.

Kedua terkait benar dan salah, Konstitusi Indonesia telah menjamin hak politik bagi seluruh warganya, sehingga tidak bisa dinyatakan salah keputusan rekrutmen para artis yang dilakukan oleh partai politik, selama calon tersebut memenuhi persyaratan secara administratif untuk mengikuti pemilihan umum.

Namun, sepertinya rekrutmen para artis yang dilakukan oleh para selebriti hanya untuk kepentingan partai politik dalam memperoleh suara pada pemilihan umum di Indonesia. Fenomena tersebut menjadi ironi di dalam dunia perpolitikan Indonesia, proses kaderisasi partai politik yang semestinya ditujukan untuk melahirkan pemimpin masa depan hanya ditujukan untuk meloloskan partai politik melewati ambang batas parlemen.

Diskusi di ruang publik tidak lagi memperdebatkan gagasan secara subtansial antar politikus, khususnya yang berlatar belakang artis. Bahkan terdapat calon legislatif dari kalangan artis yang hanya melahirkan sensasi di ruang publik. Selanjutnya masyarakat Indonesia lah yang akan menentukan pilihan mereka, sayangnya pendidikan politik di Indonesia tidak cukup untuk melahikan pemilih yang tidak tergoda oleh popularitas calon legislatif tersebut.

Ketiga tentang cara dan tujuan, hal ini menjadi poin vital dalam proses rekrutment para artis menjadi calon legislatif. Keputusan partai politik tersebut banyak dicibir, khussnya bagi mereka yang menilai partai-partai politik hanya memanfaatkan popularitas tanpa mempertimbangkan kapasitas dari kandidat bakal calon. Jika demokrasi hanya mempertarungkan popularitas, maka dapat dinilai proses demokrasi tersebut akan kehilangan marwahnya sebagai momen adu ide dan gagasan tentang Indonesia ke depan.

Dalam rekrutment artis sebagai calon legislatif oleh partai politik harusnya disertai dengan sekolah pengkaderan yang baik. Sehingga para calon dari kalangan artis tersebut selain memiliki popularitas, juga memiliki kemampuan dalam menyampaikan ide dan gagasan serta prinsip utama memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia.

Masyarakat menitipkan masa depan mereka kepada para perwakilan rakyat di ruang parlemen untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi mereka. Terdapat tiga fungsi lembaga legislatif yang harus dijalankan dengan baik, yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Tiga poin tersebut sangat krusial dalam berjalannya roda pemerintahan di tanah air, kapasitas para perwakilan rakyat harus memadai agar fungsi tersebut bisa berjalan dengan baik. Dewasa ini, fenomena rekrutmen artis oleh partai politik sebagai calon legislatif sudah menjadi keniscayaan. Partai politik memiliki kepentingan untuk mendulang suara di Pemilu, walaupun terkesan mengesampingkan kapasitas dari kader yang dicalonkan, semua itu demi meningkatkan popularitas partai politik itu sendiri. Karena, dalam proses demokrasi, masyarakat yang memiliki hak suara melalui sistem pemilihan umum akan berdampak pada kebijakan Pemerintah.

Pada akhirnya, masyarakat jugalah yang akan menentukan nasibnya sendiri. Terlebih penyelenggaraan Pemilu di Indonesia tidak menyediakan ruang debat terbuka secara resmi antar kandidat legislatif agar masyarakat bisa menyimak dan mempertimbangkan ide dan gagasan yang dipertengkarkan oleh para calon legislatif, maka setelahnya penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia sangat ditentukan oleh popularitas, serta satu hal yang tidak bisa dikesampingkan dari proses pesta demokrasi Indonesia adalah logistik dari para calon tersebut. Pada dasarnya, para artis memiliki dua faktor tersebut sebagai modal dalam mendulang suara dalam pemilu.

Jika hal itu yang berlaku, sangat disayangkan proses yang sangat krusial bagi kemajuan bangsa ditentukan oleh faktor yang tidak substansial. Penulis menilai hal tersebut menjadi bukti kegagalan partai poliik di Indonesia dalam memberikan pendidikan politik, serta bentuk dari dari kemunduran demokrasi Indonesia.

Proses pengkaderan yang terkesan instan dan tidak memperhatikan substansi dari fungsi partai politik dalam melahirkan pemimpin masa depan yang memiliki kompetensi, kapasitas, serta kapabilitas sebagai wakil rakyat menjadi hal yang bertolak belakang dengan perspektif aksiologi yang mengkaji tentang nilai-niali.

Fenomena rekrutmen artis sebagai calon legislatif oleh partai politik mengesampingkan nilai-nilai dari proses politik yang memberikan manfaat kepada masyarakat, serta fenomena tersebut bentuk dari kegagalan partai politik melahirkan pemimpin yang mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi rakyat (Hidayat, 2023). Dalam perspektif aksiologi, fenomena rekrutmen artis sebagai calon legislatif dapat dilihat dari dua sisi.

Di satu sisi, hal ini dapat dianggap positif, karena artis memiliki popularitas di masyarakat. Di sisi lain, hal ini dapat menimbulkan risiko terhadap kualitas calon legislatif yang diusung, karena tidak semua artis memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk menjadi seorang legislator (Azmi, 2023). Oleh karena itu, proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik perlu dievaluasi secara kritis dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan kepemimpinanan yang berkualitas. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa calon legislatif yang diusung memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk mewakili kepentingan rakyat dengan baik, sehingga dapat memperkuar nilai-nilai demokrasi dan keadilan dalam sistem politik Indonesia.

Artikel Terkait