Pemerintah telah menerbitkan PP 25 / 2024 tentang perubahan PP 96 / 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara. Dalam PP terbaru ini telah diatur mengenai izin untuk ormas keagamaan melakukan kegiatan usaha pertambangan. Hal tersebut dapat ditemui dalam penjelasan pasal 83 A ayat (1) yang berbunyi:
“Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu bara berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas. Penawaran WIUPK secara prioritas dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam. Selain itu, implementasi kewenangan Pemerintah tersebut juga ditujukan guna pemberdayaan (empoweing) kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Yang dimaksud dengan “organisasi kemasyarakatan keagamaan” adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/ umat”.
Perlu dipahami berdasarkan penjelasan tersebut, izin usaha pertambangan sebenarnya tidak secara langsung diberikan kepada ormas keagamaan, melainkan kepada badan usaha yang dimiliki atau terafiliasi dengan ormas keagamaan. Jadi sejatinya tanpa adanya ketentuan terbaru tersebut, izin usaha pertambangan memang telah lazim diberikan kepada badan usaha pada umumnya, yang menjadi pertanyaan adalah ada motivasi apakah pemerintah justru menggaungkan isu Izin Usaha Pertambangan untuk Ormas keagamaan yang tidak benar?
Baca Juga: Tambang
Ormas Keagamaan yang pada umumnya yang berbadan hukum Perkumpulan/Perserikatan maupun Yayasan merupakan badan hukum Non-Profit, karena mempunyai tujuan sosial, kemanusiaan dan keagamaan, bukan untuk mencari keuntungan pribadi pemiliknya (profit oriented). Walaupun demikian berdasarkan Undang-undang Yayasan pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
Carut marut pengaturan badan usaha yang didirikan dan/atau yang terafiliasi oleh Ormas Keagamaan timbul karena ketidak-tegasan ketentuan pasal 3 ayat (1) tersebut. Idealnya demi menjaga cita-cita mulia dari keberadaan Ormas Keagamaan yaitu untuk mencapai maksud tujuan sosial, kemanusiaan dan keagamaan, badan usaha yang didirikan, dimiliki dan/atau terafiliasi oleh Ormas Keagamaan hanya boleh berbentuk badan usaha yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT).
PT merupakan badan usaha yang terdiri dari saham-saham yang bisa berasal dari kekayaan Ormas Keagamaan yang dipisahkan. Hal ini sejalan dengan penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut, yang menyatakan:
“Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana Yayasan menyertakan kekayaannya.”
Kesimpulannya, untuk menjaga marwah dan cita-cita luhur dari Ormas Keagamaan, maka sudah waktunya untuk pembaharuan hukum keperdataan untuk mengatur bentuk badan usaha yang bisa didirikan oleh Ormas Keagamaan, yang secara tegas memisahkan bentuk badan hukumnya secara tersendiri, terpisah dari badan hukum Ormas Keagamaan sehingga tidak secara langsung kegiatan usahanya dilakukan oleh Ormas Keagamaan.
Ormas Keagamaan terbatas hanya sebagai pemilik saham pada badan usahanya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT).[]
Ponxi Yoga Wiguna. S.H., M.Kn. – Ketua MAHUTA ( MASYARAKAT HUKUM PERDATA )