Jokowi Bayar Lunas Perjanjian Batu Tulis tahun 2009

Oleh rambak.co
20 Juli 2024, 16:15 WIB

Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 telah usai dan Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2024-2029. Pemilihan umum tahun 2024 di Indonesia menyajikan kehebohan dan dinamika yang tak terduga, menciptakan gelombang kontroversi dan perubahan signifikan dalam perjalanan demokrasi tanah air. Sejak awal proses pemilihan, putaran yang diwarnai kejutan dan ketegangan menciptakan sorotan tajam dari masyarakat, memberikan dimensi baru pada panggung politik nasional.

Kejadian yang paling mencolok adalah perubahan signifikan dalam persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi (MK), dengan suara bulat, mengesahkan amendemen pada UU Nomor Tahun 2023 tentang Pemilu, yang secara drastis menurunkan batas usia minimal untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Awalnya 30 tahun, batas usia ini kini ditekan lebih rendah lagi menjadi 25 tahun, membuka pintu bagi partisipasi pemimpin muda dalam persaingan politik tertinggi.

Namun, gejolak bukan hanya terjadi di arena hukum. Kendaraan politik yang semakin berkembang di media sosial menjadi medan pertempuran ideologi dan propaganda. Gerakan-gerakan politik daring, memunculkan narasi baru dan memengaruhi opini publik dengan cepat. Bahkan, fenomena yang menantang keabsahan pernyataan Capres dalam debat turut menyemarakkan arena diskusi publik. Ditambahkan pula diksi-diksi pengkhiatan oleh Presiden kepada Partai Pengusungnya.

Tidak hanya itu, kehebohan di jalanan juga menciptakan perhatian ekstra. Insiden-insiden seperti kecelakaan tragis yang melibatkan bendera partai politik, seringkali menjadi pangkal perdebatan mengenai etika dan dampak atribut kampanye di ruang publik.

Pemilu 2024 seharusnya jadi kesempatan bagi Megawati Soekarnoputri menepati Perjanjian Batu Tulis kepada Prabowo Subianto. Janji itu diingkari Megawati pada 2014 dan pada 2019. Perjanjian Batu Tulis merupakan ikrar Ketua Umum atau Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang diteken keduanya pada 16 Mei 2009.

Berikut ini isi perjanjian Batu Tulis satu dekade lebih silam:

Kesepakatan Bersama PDI Perjuangan atau PDIP dan Partai Gerindra dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia 2009-2014. Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden.

  1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) sepakat mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009.
  2. Prabowo Subianto sebagai wakil presiden, jika terpilih, mendapat penugasan untuk mengendalikan program dan kebijakan kebangkitan ekonomi Indonesia yang berdasarkan asas berdiri di kaki sendiri, berdaulat di bidang politik, dan kepribadian nasional di bidang kebudayaan dalam kerangka sistem presidensial. Esensi kesepakatan ini akan disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri pada saat pengumuman pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden serta akan dituangkan lebih lanjut dalam produk hukum yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bersama-sama membentuk kabinet. Berkaitan dengan penugasan pada butir dua di atas, Prabowo Subianto menentukan nama-nama menteri yang terkait. Menteri-menteri tersebut adalah Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan.
  4. Pemerintah yang terbentuk akan mendukung program kerakyatan PDI Perjuangan dan delapan program aksi Partai Gerindra untuk kemakmuran rakyat.
  5. Pendanaan pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 ditanggung secara bersama-sama dengan persentase 50 persen dari pihak Megawati Soekarnoputri dan 50 persen dari pihak Prabowo Subianto.
  6. Tim sukses pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 dibentuk bersama-sama melibatkan kader-kader PDI Perjuangan dan Partai Gerindra serta unsur-unsur masyarakat.
  7. Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.

Pada pemilu 2024 nampak bahwa dukungan Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada Pemilu Presiden (Pilpres 2024) ada kaitannya dengan perjanjian Batu Tulis. Oleh karena Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak memenuhi perjanjian itu lantaran tidak mendukung Prabowo pada Pilpres 2014, Jokowi berupaya membayar “utang” tersebut dilansir dari (Kompas.com, 27/04/2024).

Keharmonisan Megawati-Prabowo pada pemilu 2009, Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Prabowo Subianto untuk mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian, pilkada DKI Jakarta 2012, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua umum dan Partai Gerinda dengan Prabowo Subianto mengusung Joko Widodo untuk menjadi calon Gubernur.

Keharmonisan elite politik tersebut sangat tergambarkan dalam dua kontestasi elektoral besar di Indonesia. Namun, keadaan tersebut menjadi berubah dalam sekejap mata. Kenapa demikian, karena permainan elite politik tersebut hanya didasari pada pragmatisme kekuasaan sehingga pada prakteknya mudah berubah setiap ada kesempatan dan kepentingan.

Pada pemilu 2014, Prabowo merasa di khianati oleh Megawati Soekarnoputri yang lebih memilih untuk mengusung Joko Widodo untuk menjadi calon Presiden. Peristiwa ini bahkan sering dikenal oleh banyak kalangan sebagai pengkhianatan perjanjian batu tulis.

Naik nya tensi politik ini pun berlanjut pada pemilu 2019, yang kemudian banyak kalangan mengatakan pemilu tersebut menjadi yang paling berdarah-darah, hal ini karena polarisasi di kalangan elite atau bahkan ditingkat grassroot menjadi sangat tajam baik itu di dunia nyata maupun maya.

Pada pemilu 2019 tersebut, rematch antara Prabowo Subianto melawan tokoh yang sempat di promosikan oleh dirinya untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta yaitu Joko Widodo. Meskipun begitu kerasnya pertarungan tersebut, keadaan kembali berubah sangat drastis 190 derajat pasca pemilu 2019.

Presiden Joko Widodo memasukan lawan politik elektoralnya tersebut ke kabinet kerja yaitu Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Sanidaga Uno yang merupakan pasangan calon wakil Presiden pada waktu itu sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Maka relevanlah kalimat yang mengatakan “politik Indonesia itu cepat berganti musim” atau kata yang cukup populer dalam menggambarkan politik yaitu “dalam politik tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan bersama”. Kalimat-kalimat tersebut menjadi abstraksi bagaimana politik tersebut hanya di mainkan pada tataran elite untuk mendapatkan kepentingan kelompoknya bukan memikirkan urusan dan kebutuhan dari masyarakat. Sejarah panjang politik elektoral Indonesia sudah membuktikan bahwa kalimat “politik Indonesia itu cepat berganti musim” menjadi sangat relevan – dikutip dari jambione.com tanggal 28 Oktober 2023.

Konstalasi yang sangat mencengangkan bagi masyarakat awam melihat permainan politik tersebut, yang awalnya teman dan lawan, begitupun sebaliknya yang awalnya lawan menjadi teman dengan perubahan yang sangat cepat .

Namun, dalam politik hal tersebutlah yang dianggap biasanya atau bahkan disebut sebagai seni dalam berpolitik. Oleh karena itu, sebagai masyarakat jangan terlalu dianggap serius konflik atau tensi tinggi politik pada saat kontestasi pemilu. Hal ini karena yang terjadi didepan layar mereka berdebat sampai berkelahi namun dibalik layarnya mereka minum kopi dan merokok bersama.

Di sisi lain, politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya ( Politiae legius non leges politii adoptandae. ). Begitu adagium hukum mengungkapkannya. Fakta tak demikian, determinasi dan keangkuhan politik mengamputasi ketajian hukum belakangan ini. Keindahan dalil-dalil, teori hukum yang ideal dan kalimat heroisme yang dipelajari di ruang-ruang kelas fakultas hukum tak menyentuh ruang praksis yang telah lama tereduksi oleh gelagat oportunisme politik. Omong kosong retorika soal negara hukum yang acap digaungkan sejumlah politisi di acara televisi hanya gimmick yang kontradiktif.

Proses pemilu adalah sarana konvensional dalam merotasi pergantian kekuasaan. Guna mewujudkan pemilu yang berkualitas, negara perlu menjamin adanya standar keberlangsungan proses pemilihan secara bebas, rahasia, jujur dan adil didukung dengan ketersediaan perangkat atau lembaga penyelenggara yang imparsial, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dalam kondisi iklim demokrasi suatu negara yang baik maka semakin kuat pelaksanaan norma democratic values sebagai dasar dari ethical political behaviour penyelenggara negara.[]

Artikel Terkait