Kebudayaan, dalam lanskap politik masih menjadi imaji dalam membangun keran perhatian guna menyukseskan misi. Dalam serangkaian debat Pemilihan Presiden tahun 2024, kita ingat perihal kebudayaan menjadi tema penting yang disajikan tiap calon presiden maupun wakil presiden. Galibnya, yang terdengar oleh kita, kebudayaan mudah dimaknai secara sempit yang sejatinya menyiratkan itu penganggapan remeh-temeh belaka.
Mutakhir, sebaran-sebaran pemberitaan politik mengacu pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 27 November 2024. Kota Solo termasuk wilayah yang akan menentukan siapa walikota dan wakil walikota untuk masa satu periode mendatang. Pada konstelasi nasional, Kota Solo terus menjadi bagian penting dalam dinamika politik di Indonesia.
Tokoh demi tokoh yang berkepentingan dalam pilkada perlahan hadir di media dengan gagasannya. Dilansir dari solopos.com, 23 April 2024 ada liputan berjudul “Mimpi Masyarakat Solo Punya Gedung Kesenian Megah dan Modern”. Kita paham, imajinasi kebudayaan adalah gedung modern dengan segenap fasilitasnya, yang tentu saja tujuan mendasar berupa daya tarik wisatawan.
Secara semantik, menarik untuk kita tafsirkan. Kecurigaan mudah muncul. Kebudayaan kini nampak dipahami sebagai perwujudan akan infrastruktur. Seturut dengan itu, agaknya hal lain yang menjadi cakupan luas atau boleh kita sebut dengan “suprastruktur” akan berkemungkinan diabsenkan. Pertanyaannya, apakah kebudayaan ibarat tiang pancang beton belaka?
Ketaksaan muncul dengan kehadiran klaim historis. Ungkapan Solo sebagai akumulasi pusat sejarah kesenian dan kebudayaan mudah terucap. Namun, terkadang hanya berhenti begitu saja dan tidak menjadikan kontekstualisasi pada perubahan zaman. Fakta itu tentu menjadikan kita berpikir ulang akan wujud apa, bagaimana caranya, dan apa landasan pijak dalam mengembangkan kesenian dan kebudayaan.
Mengerti itu, saya teringat salah satu esai dalam bunga rampai garapan Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya (1983). Keraguan Cak Nun akan refleksi kebudayaan termaktub dalam kalimat “Bagaimana mau melestarikan budaya daerah, kalau kota-kota dibikin makin meng-Eropa. Bagaimana mau menanam nilai-nilai Ibu leluhur, kalau benih-benih yang disodorkan oleh praktik kebudayaan memang bukan itu.”
Pernyataan Cak Nun agaknya relevan untuk merefleksikan Kota Solo pada masa kini. Bagaimana tidak, dengan melihat beberapa perkembangan aspek pertumbuhan kota, Solo dalam beberapa waktu terakhir erat dengan pembangunan. Itu kemudian ditopang kehadiran para pemodal maupun investor dalam cakupan perkembangan bisnis. Ada titik wajah kebudayaan yang terlihat luntur.
Pada saat bersamaan, forum-forum baik itu diksusi tematik maupun pertemuan kultural yang membicarakan perkembangan kebudayaan makin sepi. Kita menduga regenerasi dalam bidang kebudayaan agak terlambat. Risikonya adalah nasib kalangan muda di kemudian hari, yang akan menerima dirinya kehilangan identitas, jatidiri, maupun alamat asal. Arkian imajinasi kolosal peradaban menyingkap mengenai keberlanjutan ketahanan budaya vis a vis kemodernan.
Kebudayaan adalah siasat, sebagaimana diungkapkan Karlina Supelli dalam pidato di Dewan Kesenian Jakarta 2013, yang berupa “mentransformasikan politik untuk menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab dan bukan kekuasaan.” Pernyataan itu menyiratkan bagaimana politik betul-betul memikul beban tanggung jawab mengenai kebudayaan. Dengan begitu, cara pandang yang perlu dilakukan tentu tak lekas akan menyerahkan semua hal pada urusan pembangunan fisik.
Ada kesadaran yang perlu dititikberatkan dalam menyusun transformasi kebudayaan. Ketika menilik Kota Solo, tentu ini berhubungan dengan keberadaan dan kiprah para seniman dan budayawan. Perlu diakui bahwa tak sedikit dari mereka harus menerima situasi jalan sepi dengan profesi yang digelutinya. Kesejahteraan yang tak menentu membuat mereka terpaksa legawa dengan ungkapan “ramai ing gawe, sepi ing pamrih”.
Saya teringat dengan beberapa kawan di Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir yang merintis sebuah komunitas teater. Pementasan demi pementasan telah dilaksanakan. Nuansa orang berteater konon makin sepi. Itu yang membuat mereka harus berterima saat akhirnya tiap anggota di kelompok tersebut harus “tombok” guna menutup biaya operasional yang dibutuhkan. Teringat ketika satu forum diskusi dengan seorang etnomusikolog ISI Surakarta. dengan satire berucap “untuk apa menyaksikan teater, sedangkan kehidupan kita sudah begitu teatrikal”.
Hal yang sama dialami oleh seorang kawan bersama beberapa temannya dengan semangat muda yang masih membara pamrih membuat forum diskusi akan seni dan budaya setiap satu bulan sekali. Forum itu sebagai upaya lintas disiplin ilmu dalam menyeka isu perubahan dan perkembangan zaman. Jangan dulu bertanya implikasi pada ranah kebijakan maupun kegairahan terhadap seni dan budaya. Kenyataannya dari segi antusias kalangan publik belumlah terjadi.
Naga-naganya, ada ruang dan tembok yang memisahkan kebudayaan di antara angan-angan pemangku kebijakan dengan praktik yang terjadi di kalangan seniman dan budayawan. Ruang itu yang melahirkan situasi paradoks akan imajinasi kebudayaan yang tersublim dalam bangunan beton, namun minim kepedulian akan keberadaan para pelaku di tiap komunitas seni dan budaya. Rasanya penting untuk diurai, sebagai bahan wacana dalam pelaksanaan Pilkada 2024 di Kota Solo. Semoga.[]