Kurs Rupiah Vis a Vis Dolar

Oleh M Ghaniey Al Rasyid
5 Juli 2024, 18:19 WIB

Baru-baru ini kita diajak untuk menilik kondisi rupiah terhadap mata uang global lainnya. Adalah rupiah yang hari ini nilai tukarnya terhadap dolar mengalami penurunan alias terdepresiasi. Beberapa orang menganggapnya serius, sisanya mengikuti alur.

Menurut data refinitiv, nilai tukar rupiah terhadap dolar (02/07/2024) sebesar Rp. 16.325/USS,-. Artinya sebesar satu dolar Amerika Serikat setara dengan Rp. 16.450,-. Bila harga cokelat di Manhattan sebesar 6$ maka importir harus menukarkan uang dengan nilai Rp. 98.700,- untuk menikmati sebuah cokelat.

Perbandingan nilai tukar rupiah dengan dolar seperti halnya pasang surut air laut. Bila pasang surut air laut diakibatkan oleh proses rotasi bumi di mana efek daya tarik bulan berimbas kepada Bumi, sedangkan persinggungan antara dolar dan rupiah diakibatkan oleh tarik ulur perdagangan (ekspor dan impor), kondisi moneter, dan yang paling utama kepercayaan global di tengah aras keberjalanan ekonomi. Mafhum, naik-turun dolar terhadap mata uang lainnya.

Keberadaan nilai tukar yang di mana dolar menjadi patokan, beberapa pasang mempertanyakannya. Mengapa harus dolar? Kenapa nilai tukarnya tidak dari Jerman saja? Amerika Serikat cukup beruntung atas inisiasi Pak Kumis dari Jerman yang menyuluh Lebensraum. Awal September 1939 pasukan Pak Kumis menghelat Blietzkrieg memasuki Polandia untuk menguasai sebagaian wilayah Polandia yang didaku pak Kumis adalah wilayah milik Jerman.

Pak Kumis yang memiliki ambisi gigantik daripada manusia normal, tak bisa tinggal diam dengan perjanjian Versailes yang mengkerdilkan rakyat Jerman. Jerman kalah, ditekuk oleh situasi perekonomian yang membuat kelaparan. Ditambah beban hutang yang ditangguhkan atas kekacauan dan kerusakan perang kepadanya.

Pak Kumis yang mulanya ingin menjadi pelukis itu, tertarik masuk dalam peran politik. Nah, berlandaskan pada prinsip sosialis ketat namun ia bidahkan, Pak Kumis berkeliling dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya untuk menyuluh menyoal harga diri dan kepercayaan bangsa Jerman di atas apapun.

Setelah perjanjian Versailes ditambah Malaisse 1930, kekacauan perekonomian membuat negerinya menderita. Sektor produksi hancur, dan satu lagi yang tak kalah menarik adalah pride (harga diri) yang tak dapat dibeli dengan sekarung rubel atau dolar ingin ia rengguh kembali, setelah dipecundangi dalam perang dunia pertama.

Setelah berkuasa sejak 1933, ia berhutang ke beberapa pihak salah satunya ialah Amerika dengan jumlah yang tak tanggung-tanggung. Hasil hutang itu ia pergunakan untuk restrukturasi perekonomian. Membuat Volkswagen, membangun pabrik, dan memperbaiki transportasi. Sebelum penyerangan Blitzkrieg, pengagguran yang tadinya membludak, Pak Kumis berhasil menanganinya.

Di balik muramnya sejarah Pak Kumis dalam kancah sejarah, ada prestasi cukup menarik. Negeri Jerman setelah Malaise 1930, bisa berdiri tegak dibandingkan negera-negara lainnya di Eropa. Akhir 1935, sebagian besar rakytanya tak ada yang mengaggur. Mereka sibuk dengan aktvitas besi, peluru, dan reichmark. Kegagahan dan pencapaian itu membikin semakin panas orasi Pak Kumis yang membikin punggung masyarakat Eropa bahkan dunia berkeringat. Keberadannya membuktikan bahwa tak ada lagi yang bisa mendikte dirinya di bawah panji sosialistik.

Walakin, ambisinya yang menyala dan menembus langit itu, tak dapat bertahan lama. Ia hancur dalam angan-angan dan tercekik oleh perilakunya sendiri. Perang adalah perang, hutang adalah hutang. Ketika kesepakatan Postdam didengungkan, di situlah awal mula Jerman harus mengucuri nominal yang cukup besar termasuk untuk uncle sam.

Bantuan sebagai Pengikat

Boleh dibilang Ernest Hemingway cukup berhasil menggambarkan perang sebagai kesialan umat manusia. Dalam buku Tak Ada Pemenang di Medan Perang (Penerbit Salasar, 2009) menggambarkan masyarakat Spanyol yang digebuk rezim Francois Franco yang bermazhab sama dengan Pak Kumis.

Pemenang dalam sebuah peperangan itu fatamorgana. Peperangan yang galibnya dibalut dengan kekerasan akan menimbulkan vicious circle menyoal dendam, kuasa, dan kepalsuan.  Dom Helder Camara membeberkan cukup jelas menyoal perang dan kekerasan, dengan teori spiral kekerasannya.

Sejak The Fed dikumandangkan pada awal abad ke-20, kemampuannya untuk merayu negara manapun termasuk Britania menyoal perdamaian, uang dan kuasa. Nasib Amerika cukup menarik. Ia terlibat ke dalam sekutu, sejak Tojo menyumpali telinganya atas instruksi Pak Kumis agar mendamprat tentara merah dari sisi timur. Tojo dan pasukannya malah mendamprat Harbor. Ia membangunkan singa yang tertidur.

Kecamuk perang itu membuat sebagian besar Eropa dan beberapa bagian Asia terlibat. Tangisan, kehancuran, dan kelaparan membelit mereka. Setelah munculnya perjanjian seperti Postdam, San Fransisco, Perdamaian Paris, dsb, muncul pelbagai niat yang politik dikemas altruis untuk membantu negara-negara yang remuk akibat perang.

Amerika yang di mana tidak terlalu parah dalam ikut campur dalam perang dunia sesi dua itu, memiliki keunggulan secara moneter dan juga dana jangkar yang besarnya minta ampun. Ia berlagak seperti juru selamat. Memperkenalkan Bretton Woods, Marshall Plan, Doktrin Thruman, Doktrin Yoshida, dsb yang akhirnya menjadikan persaingan baru setelah perang fisik menjadi perang modal.

Selesainya perang dunia kedua, banyak negara rela membeli obligasi (surat hutang) dengan denominasi dari dolar. Nilai dolar semakin melenting dan dipercayai dapat memberikan kucuran dana segar untuk kepentingan ekonomi suatu negara. Tak hanya itu, beberapa ekonom juga mewanti-wanti efek samping dari paket kebijakan itu. Seperti halnya secangkir Taquilla bila dikonsumsi dengan takaran yang masif tanpa mempertimbangkan kekuatan diri, bisa menyebabkan pusing maupun muntah.

Kasus di Indonesia

Bantuan-bantuan itu jumlahnya cukup besar. Bantuan yang tersebar jadi pengikat para kreditor dari negara manapun, termasuk Indonesia. Sejak lengsernya Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto, International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan diri untuk memberikan bantuan atas beban inflasi besar yang ditinggalkan Soekarno.

Soeharto tidak sendirian. Ia menggandeng peracik handal dalam meramu kebijakan ekonomi. Di antaranya: J.B Sumarlin, Widjojo Nitisastro, Ali Wardana, Soemitro Djojohadikoesoemo, Arifin Siregar, M. Sadli, hingga Emil Salim.  Kerja sama Soeharto dan IMF pada satu dekade awal cukup harum. Ia mampu memanfaatkan hutangnya untuk membangun negerinya dengan target rancangan per lima tahun. Pencapaianya cukup menarik. Terhitung pada 1975 terdapat 54,2 juta (40,08%) penduduk miskin, berkat pembangunan, jumlah bisa ditekan menjadi 27,2 juta jiwa (15,02%).

“Itu bom waktu!” ucap seorang ekonom dari Unviersitas Gadjah Mada Revrisond Baswir menilisik dalam perspektif berbeda. Syahdan, jabat tangan Michele Camdessus dan Soeharto pada pertengahan Januari 1998 meneken memorandum untuk berhutang. Soeharto menggerakan roda perekonomian dengan jargon Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tanpa mempertimbangkan rasio hutang (debt ratio) dalam kebijakan hutangnya. Nasi sudah menjadi bubur, hari esok lah yang akan mempelajarinya.

Baca Juga: Tuan Biswas, Rumah, dan Tapera

Apakah dolar akan terus jadi nilai tukar dunia? Keberadaan BRICS (Brazil, Russia, India, China, Mesir, Ethiopia, dan Afrika Selatan) beberapa kali menyuluh dedolarisasi. Cukup sulit namun tidak bisa dipandang remeh. Menyitir Karl Polanyi dalam Transformasi Besar; Asal Usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang (Pustaka Pelajar, 2003), “Selingkung permodalan sama sekali bukan hasil akhir yang “alami” atau “mendasar”, namun selingkung permodalan berkembang dari tuntutan kelas-kelas merkantilis baru serta kemudian kelas borjuasi kepada negara untuk melindungi bisnis-bisnis yang baru merangkak dan status sosial yang masih rapuh.”

BRICS yang terdiri dari beberapa negara di mana memeiliki hubungan kerja sama dalam perekonomian, menyusun simpul kuat untuk bertahan dan eksis di tengah persaingan perekonomian terhadap dolar. Tak ada yang tidak mungkin dalam persinggungan konteks ekonomi dunia, termasuk BRICS yang sedang membiawak dengan terus membidik targetnya. Sekian.[]

Artikel Terkait