Narkoba Piranti Pendukung untuk Perang Non Militer

Oleh rambak.co
21 Juli 2024, 13:00 WIB

World Health Organization (WHO) menyatakan, remaja merupakan periode transisi seseorang dari anak-anak menuju dewasa di rentang usia 12 sampai 24 tahun. Menurut BNN, sebanyak 2,2 juta remaja di 13 provinsi di Indonesia menjadi penyalahguna narkoba dan angka ini terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Menurut data mereka, rentang usia pertama kali dalam menggunakan narkoba adalah pada 17 sampai 19 tahun. Disinilah mengapa usia remaja menjadi rentang usia pengguna narkoba terbanyak dan pada usia mereka 35 sampai 44 tahun, ketergantungan ini dapat menjadi tanpa henti.

Dikutip dari situs PBB UNDOC, perdagangan narkoba adalah industri gelap global yang mencakup penanaman, pembuatan, distribusi, dan penjualan zat yang ilegal. Perdagangan narkoba menghasilkan untung yang luar biasa. Maka tak heran banyak negara besar yang bersedia memproduksi dan mengedarkan barang illegal ini.

Penyalahgunaan narkoba dapat bermula dari berbagai jalur dan pendekatan yang berbeda. Sebab para pengedar akan melakukan aksi-aksi khusus yang disesuaikan dengan targetnya. Layaknya ketika seorang yang sedang depresi berat tidak tahu lagi kemana dia harus kembali. Atau para pemuda tanpa arah yang masih mencari jati diri, katanya. Bahkan tongkrongan-tongkrongan yang seharusnya tempat bertemu kawan dan bersenda gurau saja.

Semua ini akan dimulai dengan tahapan mencoba yang akan berlanjut dan menemui klimaks pada ketergantungan. Mereka tidak lagi menghiraukan jeratan hukum pidana yang menanti. Saat itu hanya kesenangan sesaat yang menjadi tujuan utamanya. Lalu mengapa remaja masih menjadi target utama? Bukankah usia problematik seseorang mencapai puncaknya di rentang dewasa?

Dorongan dan gempuran yang dialami para remaja untuk menampilkan dirinya sebagai kelompok yang berbeda, unik, menjadi salah satu pemicu motivasi mereka untuk mencoba berbagai hal. Benar, dapat dibuktikan banyaknya mahasiswa (yang masih termasuk dalam rentang umur remaja) yang berprestasi dengan bidang dan passion-nya yang beragam.

Tak sedikit pula yang justru menjerumuskan remaja pada masalah-masalah yang serius, dengan menjadi pecandu narkoba. Hal ini juga dipicu oleh lingkungan dan semangat pada diri untuk mempertahankan mimpinya yang masih sangat kurang.

Narkoba digunakan sebagai alat untuk Perang non milter (Asimetris) kepada Indonesia. BNN menyebutkan 4,8 juta masyarakat Indonesia sudah menjadi pengguna Narkoba. Koordinator Indonesia Narcotics Watch (INW), Josman Naibaho mengatakan ada upaya pelemahan generasi muda Indonesia melalui penyelundupan Narkoba. Kalau ingin menguasai Indonesia 20 tahun ke depan, hancurkan dulu generasi muda Indonesia.

Menurut Josman Naibaho, kerja sama internasional tidak optimal lantaran ada upaya untuk menghancurkan Indonesia. Menurutnya, ada upaya perang non militer (Asimetris) untuk menaklukkan Indonesia oleh negara tertentu melalui Narkoba.

Karena itu, kejahatan narkoba dapat dikategorikan sebagai ancaman negara dalam bidang non militer (Perang Asimetris). Sebagai ancaman non militer, permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya aparatur tertentu saja.

Pasar terbuka narkotik Dunia Indonesia menjadi pasar narkoba global. Lemahnya penegakan hukum dan besarnya jumlah pengguna di Tanah Air menyuburkan perdagangan barang ilegal itu dari seluruh dunia. Sindikat internasional pun melakukan berbagai cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di sini. Pada tahun 2019, dikutip dari laman bnn.go.id, Ketua Tim Sosialisasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar (Kombes) Polisi Drs. Siri Mahmud mengatakan, Indonesia bukan lagi konsumen, tetapi sudah menjadi produsen narkoba di dunia.

Jaringan narkoba internasional tergambar pada pengiriman 5,1 kilogram paket sabu lewat jalur logistik udara di Jakarta pada 11 Desember 2023. Sabu itu diselipkan di antara kotak keramik lantai yang dikirim dari Meksiko. Pengiriman sabu itu dikendalikan oleh warga negara Australia bernama Gregor Johann Haas. Ia ditengarai kaki tangan Kartel Sinaloa, sindikat narkotik di Meksiko yang dipimpin gembong narkotik dunia, Joaquín Guzmán-Loera alias El Chapo.

Tak hanya mengirim paket dadah, sindikat lain merekrut pekerja untuk membuat pabrik narkoba. Pola ini terungkap dari pabrik narkotik di Malang, Jawa Timur, yang disebut-sebut sebagai vang terbesar di Indonesia. Lima pekerja tersebut dikendalikan dari Malaysia. Saat digerebek polisi, pabrik yang berkedok kantor penyelenggaraan acara tersebut berisi 1,2 ton ganja sintetis siap edar, 25 ribu butir pil ekstasi dan 25 ribu pil Xanax, serta 40 kilogram bahan baku yang bisa diolah menjadi 2,1 juta butir ekstasi.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat transaksi narkotik mencapai Rp 400 triliun. Angka menggiurkan itu membuat para bandar tak pernah patah semangat menembus Indonesia. Sebab, ada 3,3 juta pengguna narkotik yang tersebar di kota besar hingga pelosok desa pada 2024. Situasi inilah yang membuat Indonesia dinyatakan darurat narkoba dalam tiga tahun belakangan.

Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian RI memang rutin menangkap pengedar dan bandar hingga membongkar pabrik narkotik sepanjang tahun. Tapi mereka tak pernah berhasil menekan jumlah pemadat dan nilai transaksi narkotik. Cengkeraman sindikat narkoba bahkan makin kuat. Indikasinya, peredaran narkotik di dalam penjara terus meluas. Situasi ini diperparah oleh adanya peran polisi dalam jaringan peredaran narkotik. Mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Teddy Minahasa, misalnya, terbukti menggelapkan 5 kilogram sabu yang seharusnya menjadi barang bukti polisi. Belum lagi barisan personel kepolisian berpangkat bintara yang tertangkap mengedarkan narkotik tiap tahun. Padahal tanggung jawab pemberantasan narkotik berada di tangan polisi.

Siapa El Chapo Bandar Narkoba Jaringan Kartel Meksiko Adu Strategi Polisi dan BNN Memberantas Penyalahgunaan Narkoba Sudah lama penegakan hukum kasus narkotik tak pernah optimal. Penyelundupan narkotik lewat jalur laut kerap lolos karena patroli kapal Korps Kepolisian Air dan Udara Polri, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta lembaga lain yang bertugas mengawasi perairan berjalan sendiri-sendiri. BNN dan Direktorat Narkoba Polri juga tak kompak memberantas jaringan narkotik. Pada September 2023, Polri bahkan membentuk Satuan Tugas Penanggulangan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba. Sejak berdiri, mereka mengklaim menyita 4,4 ton sabu. Munculnya organisasi baru justru makin membuat tugas pemberantasan narkotik tumpang-tindih antara BNN dan Direktorat Narkoba Polri. Karut-marut penegakan hukum ini pasti menjadi celah sindikat narkotik internasional untuk terus beroperasi di Tanah Air (Tempo, 14/7/2024).

Artikel Terkait