No Viral No Justice

Oleh rambak.co
13 Juli 2024, 10:00 WIB

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan bahwa inisiatif masyarakat untuk memviralkan permasalahan pada media sosial atau no viral, no justice, adalah tantangan bagi anggota dewan.

“Rakyat telah mempercayakan kekuasaan negara kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif, saatnya untuk menjalankannya secara efektif untuk menangani urusan-urusan rakyat,” kata Puan dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (Antaranews, 11/07/2024)

Ia menjelaskan bahwa kondisi tersebut imbas dari permasalahan yang masyarakat rasakan semakin membutuhkan kehadiran negara. Akan tetapi, kata dia, masyarakat berpendapat negara terlambat atau malah  tidak merespons permasalahan tersebut sebagaimana seharusnya.

“Maka rakyat mengambil inisiatifnya sendiri  dengan memviralkan di media sosial, no viral, no justice,” jelasnya.

Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa DPR RI berkomitmen untuk memenuhi harapan rakyat melalui fungsi-fungsinya. Terlebih, kata dia, rakyat selalu menaruh harapan kepada DPR RI sebagai pengemban amanat konstitusi untuk menjalankan kedaulatan rakyat.

“DPR RI akan terus berupaya dapat mewujudkan kehidupan rakyat yang semakin baik, semakin maju, semakin sejahtera, dan semakin mudah,” ujarnya.

Sementara itu, ia menjelaskan bahwa DPR RI melalui alat kelengkapan dewan (AKD) telah melakukan rapat kerja dan rapat dengar pendapat terkait permasalahan yang menjadi perhatian masyarakat.”Permasalahan tabungan perumahan rakyat, pembatalan ratusan pelamar bidan pendidik yang  telah lulus seleksi PPPK 2023, judi online, masuknya penyedia jasa internet Starlink, pertanahan termasuk mafia tanah dan sertifikat elektronik, dan peredaran narkoba pada perbatasan Pulau Kalimantan,” katanya.

Ia kemudian meminta pemerintah untuk segera menindaklanjuti seluruh permasalahan tersebut, sehingga rakyat merasakan kehadiran negara dalam mengurus rakyat. Jika merujuk pada pernyataan Ketua DPR RI di atas, menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM (BPHN Kemekumham) Prof Widodo Ekatjahjana, “Ini sebetulnya pandangan yang kurang tepat. Proses hukum dan isu yang menyeruak agar mendapatkan respon oleh aparat penegak hukum menyikapinya, itu isu yang berbeda. Sebetulnya tanpa menunggu viral, menjadi kewajiban dan tanggung jawab aparat penegak hukum ketika sudah ada unsur-unsur delik pidana dan minimal ada 2 alat bukti, maka proses itu akan bekerja tanpa menunggu masyarakat untuk memviralkan.”

Lalu pertanyaannya, isu yang viral soal masalah hukum kiwari, apakah boleh membahas dari aspek hukum? Tidak ada ketentuan itu dan ini merupakan bagian dari kontrol masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum. Tidak ada masalah sepanjang memiliki bukti-bukti yang kuat. Sebab jika tidak, itu nanti bisa berbalik menjadi delik fitnah atau menyebarkan berita yang tidak benar.

Sepanjang viral itu untuk edukasi hukum, kemudian meminta respon pertanggungjawaban, saya kira memviralkan masalah hukum itu juga tidak ada masalah supaya kasusnya terang benderang dan terbuka. Kecuali pada delik-delik yang bersifat aduan dan tertutup. Tapi pada delik umum itu bagian dari partisipasi publik-dikutip dari https://news.detik.com tanggal 7 Agustus 2023. Sederhananya, istilah tersebut muncul sebagai respon masyarakat media sosial terhadap pilihan untuk mencari keadilan.

Baca Juga: Menguji Keadilan: Sidang Praperadilan Pegi Setiawan Siap Digelar 8 Juli 2024 di Bandung

Berangkat dari perkembangan teknologi yang semakin pesat lalu merambat pada pola pikir masyarakat. Kian hari masyarakat tampak semakin bergantung pada media sosial seperti Instagram, Twitter dan TikTok dalam memperoleh segala informasi/berita/isu terkini. Hal ini yang menjadikan media sosial punya kekuatan atau pengaruh sosial yang sangat besar. Melalui berbagai konten yang ada, para penggunanya lebih aktif agar menanggapi dan memberi pendapat antar satu sama lain, bukan malah menjadi alat saling menghina.

Namun, bagaimana jika respon interaktif masyarakat berbondong-bondong untuk menyoroti persoalan keadilan dari pengambilan kebijakan atau sikap para penegak hukum? Hal tersebut dapat kita amati dari berbagai kasus/isu yang terjadi bekalangan ini. Kasus Vina Cirebon misalnya, seperti yang kita ketahui bersama kasus ini sudah terjadi sejak tahun 2016 silam, lalu ramaikembali pada tahun 2024. Terkuaknya berbagai fakta yang menggambarkan kecacatan para penegak hukum dalam menegakkan keadilan, berhasil memantik antusiasme masyarakat untuk mengusut dan mempertanyakan kasus tersebut melalui media sosial, hingga kasus tersebut viral di media sosial lalu  memantik sikap para penegak hukum, termasuk kepolisian.

Selain itu, terdapat juga kasus kematian Afif Maulana, anak 13 tahun yang diduga tewas karean ulah polisi menurut para netizen. Pada Minggu (9/6/2024) silam, jenazah Afif mengambang bawah kali Kuranji, Kota Padang. Polisi sudah menyelidikinya. Berdasarkan hasil autopsi, kepolisian menyampaikan bahwa kematian Afif Maulana imbas  tawuran. Dari laporan tersebut, pihak keluarga pun membantah pernyataan pihak kepolisian, pasalnya Afif Maulana punya penilaian baik sebagai anak yang tidak pernah tawuran sama sekali, bahkan tidak pernah keluar malam. Dari pernyataan tersebut, netizen pun ramai membicarakan kasus ini hingga munculnya dugaan penganiayaan oleh pihak kepolisian terhadap Afif. Berangkat dari isu yang viral tersebut, kepolisian pun meninjau kembali kasus kematian Afif dan melakukan penyelidikan terhadap dugaan penganiyaan oleh polisi.

Bahkan, selain kasus Vina Cirebon dan Afif Maulana, terdapat masih banyak lagi kasus yang ditinjau kembali kebenarannya oleh para penegak hukum berdasarkan berita yang berhasil viral melalui media sosial, seperti Penyiksaan Orang Papua oleh Polri, Tragedi Kanjuruhan, Penembakan Warga Bangkal, Kasus Jenderal Sambo, hingga Represifitas di Rempang. Berdasarkan berbagai contoh kasus tersebut, dapat kita lihat bersama bahwa sebuah kasus yang viral cenderung lebih cepat dan serius proses hukumnya daripada kasus yang hanya laporan biasa. Lantas, jika semua harus viral agar cepat penanganannya, pertanyaan selanjutnya ialah manakah prinsip etika profesi dari para penegak hukum?

Menurut Lubis (1994), etika profesi merupakan sikap hidup berupa kesediaan untuk dapat memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Sementara, dalam UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian cukup gamblang terseira bahwa etika profesi menjadi pedoman sikap, tingkah laku serta perbuatan dalam melaksanakan tugas. Dalam hal ini,  bahwa etika profesi sangat berkaitan dengan bidang tertentu yang memiliki hubungan secara langsung terhadap masyarakat. Maka, dalam penerapannya etika profesi akan berperan sebagai sistem norma, nilai serta aturan yang secara tegas menyatakan apa yang benar/baik serta apa yang tidak benar/tidak baik bagi setiap profesi.

Maka melihat etis atau tidaknya tindakan/sikap setiap profesi perlu memahami prinsip-prinsip yang menjadi tolak ukurnya. Menurut Keraf (1993: 49-50), prinsip dasar etika profesi  menjadi beberapa poin, yakni tanggung jawab, keadilan, otonomi dan integritas. Prinsip tanggung jawab berkaitan dengan pelaksanaan, hasil kerja, serta dampak bagi kehidupan orang lain atau masyarakat umum. Konsep keadilan menekankan pada pemenuhan hak dalam menjunjung tinggi makna adil dari setiap profesi. Sedangkan otonomi yang menjadi panduan dalam wewenang serta kebebasan menjalankan pekerjaan sesuai profesinya. Serta integritas yang merujuk pada kualitas kejujuran serta melakukan pekerjaan secara konsisten dari setiap profesi.

Oleh karenanya, dapat kita pahami bahwa munculnya fenomena “No Viral, No Justice” tentu akan menjadi tekanan tersendiri bagi setiap lembaga atau instansi penegakan hukum yang memiliki prinsip etika profesi dalam penjalanannya. Jika sebuah kasus perlu diviralkan terlebih dahulu untuk diusut secara serius dan cepat, maka otonomi dan integritas lembaga penegakan hukum patut dipertanyakan. Serta apabila kebenaran justru ditemukan karena dugaan netizen di media sosial, maka masyarakat tentu akan meragukan sikap tanggung jawab dan keadilan lembaga penegakan hukum, termasuk kepolisian hingga kejaksaan.

Maka, sebenarnya “No Viral, No Justice” sangat berguna untuk mengontrol profesionalitas dari setiap lembaga penegakan hukum. Dengan demikian, setiap lapisan masyarakat juga turut andil dalam memperhatikan setiap pengambilan kebijakan serta perjuangan penegakan hukum. Hal ini dapat menjadi tombak perubahan awal dari apatisme menuju antusiasme di ranah kepentingan rakyat dan negara, meski harus diawali lewat hal-hal terkecil terlebih dahulu seperti kolom komentar dari setiap konten di media sosial yang dapat menjadi keresahan bersama. Dengan catatan, setiap pendapat serta pertanyaan yang muncul pada media sosial harus benar-benar teliti dan bijak agar tidak hanya sebatas penggiringan opini atau hoax yang justru akan menjadi bumerang kepada sesama pengguna media sosial – https://www.kompasiana.com tanggal 7 Juli 2024.

Untuk menghindari penggiringan opini serta hoax, para netizen tentu sangat membutuhkan peran para intelektual sebagai patron untuk membangun argumen yang objektif serta rasional. Hal ini sejalan dengan konsep intelektual Antonio Gramsci, seorang pemikir neo-marxis dari Italia. Berdasarkan pengelompokan kaum intelektual menurut pandangan Gramsci, intelektual organik menjadi kelompok dengan penuh kesadaran dan keilmuan untuk melawan hegemoni pemerintahan yang menindas rakyat. Meski tidak anti terhadap kekuasaan negara, intelektual organik secara konsisten mempertahankan idealisme dan sikap kritisnya untuk kepentingan masyarakat.

Dalam pandangannya, Antonio Gramsci menganggap negara bukanlah satu-satunya aktor dalam mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Melainkan pada hegemoni yang merupakan ketaatan secara sadar atas kekuatan tindakan seseorang tidak dengan cara memaksa bahkan dengan cara kekerasan, namun pada kekuatan atas kontrol yang terjadi. Hal ini tentu berdasarkan dengan basis ideologi yang materil dan mendapat dukungan dari aktor intelektual. Dengan kata lain, semua orang sebenarnya termasuk dalam kategori intelektual, tapi tidak semuanya mem memiliki fungsi atau peran dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan  kasus tersebut, dapat kita lihat bersama bahwa  kasus viral cenderung lebih cepat dan serius untuk proses hukumnya daripada kasus yang hanya laporan biasa. Lantas, jika semua harus viral, pertanyaan selanjutnya ialah manakah prinsip etika profesi dari para penegak hukum?

Artikel Terkait