Masih dalam rangka Haul ke-15 K.H Abdurrahman Wahid atau sering kita kenal dengan Gus Dur, jaringan Gusdurian Solo peringati dengan diskusi publik Jumat (31/1) di Balai Persatuan Warga Theosofi Indonesia (PERWATHIN) Surakarta. Dengan mengangkat tema “Masyarakat Sipil Pasca-Pemilu” hal tersebut menjadi bahan perbincangan keresahan Gusdurian solo menyoal demokrasi yang sedang berjalan.
Acara diawali dengan pembacaan puisi oleh Dadan Ramadani yang dilanjutkan prolog diskusi oleh Dimas Suro salah satu pegiat Gusdurian Solo sekaligus pihak panitia penyelenggara menekankan setidaknya ada tiga aspek penting perbincangan malam itu yaitu dari aspek kepemudaan, seniman dan politik. “Ada tiga aspek penting yang akan coba kita hadirkan yaitu kepemudaan, seniman dan politik”, tegasnya saat memberi prolog.
Seperti halnya diskusi yang bertajuk panel pada umumnya melanjutkan prolog yang tegas disampaikan Dhimas Suro, jaringan Gusdurian Solo menghadirkan tiga pembicara dalam menguliti tema yang telah diangkat sesuai aspek tersebut. Aspek politik ada Edo Johandra sekertaris KNPI Surakarta, sisi kepemudaan Hilya Malihah penggerak gusdurian Solo, selanjutnya kesenian Udyn Oepewe dari sanggar pasinaon pelangi.
Seperti kondisi Indonesia yang telah usai mengalami Pilpres maupun Pilkada Edo membuka dari sudut pandang politik menyoroti soal demokrasi yang ada. Edo menyampaikan konsentrasi demokrasi yang sekarang makin saja naik modalnya, baginya ini seperti ‘Demokrasi Seolah-olah’ seperti yang diistilahkan oleh Gus Dur. “Dengan cost politik yang semakin kesini semakin mahal ini menjadi pertanda kalau kata Gus Dur Demokrasi Seolah-oleh”, jelasnya.
Edo juga menyoroti kondisi demokrasi yang ada dengan membedakan 2 tipikal masyarakat yang ada saat ini. Pertama masyarakat yang ia kategorikan sebagai kelompok masyarakat intelektual kedua adalah kelompok masyarakat awam biasa. Ia menganggap dua masnyarakat ini selalu dibentur-benturkan oleh politik penguasa. “Ada dua tipikal masyarakat satu msyarakat intelektual dan awam biasa, ini yang selalu dibentur-benturkan”, tegasnya.
Tidak hanya itu Edo menambahkan adanya dua generasi yang selalu diadu, ia menyebutnya dengan istilah generasi tua dan muda. Ia menganggap demokrasi hari ini hanya persoalan dominasi bukan murni kompetisi sehingga tugas ormas/ masyarakat sipil harus bisa mendobrak hal tersebut. “Masyarakat saat ini deibenturkan dengan dua generasi yaitu tua dan muda, oleh karena itu masyarakat sipil harus bisa mendobrak hal tersebut”, tandasnya.
Selanjutnya dari sudut pandang kesenian yang disoroti oleh Udyn. Ia melanjutkan keterangan Edo soal dua generasi yang selalu dibenturkan. Di dalam kesenianpun sempat terdapat yang namanya senioritas. Bagi dirinya hal itu tidak bisa dihindari akan tetapi beliau memberikan pepatah dengan istilah ‘Hangeli ning ojo keli’ sebagai pegangan dalam menjawab dikotomi-dikotomi tersebut. “Di dalam kesenian juga sama adanya soal senioritas, itu tidak bisa dihindari tetapi kita bisa memegang prinsip hangeli ning ojo keli”, Jelasnya.
Udyn menyampaikan kesenian hanya dipertontonkan di gedung-gedung pertunjukan saja sedangkan ketika mengambil naskah selalu melihat realitas di tengah masyarakat. Baginya ini suatu hal yang kurang elok itu malah menjauhkan seni dari masyarakat. Baginya masyarakat juga perlu dikenalkan dengan seni bisa melihat dan menikmatinya. “Kesenian hanya dipertontonkan di gedung-gedung saja. Jika mengambil naskah ide itu terkadang muncul dari realitas di masyarakat. Tetapi masyarakat tidak bisa melihatnya”, tegasnya.
Ia menambahkan demokrasi melalui kesenian adalah hal yang bisa digencarkan. Ia mengamati melalui kesenian demokrasi bisa tumbuh. Udyn mengganggap kesenian hari ini haruslah menjadi ruang ekspresi bagi setiap generasi untuk berkerumun, berkolektif menggagas permasalahan yang ada serta kesenian untuk mendorong seseorang untuk menemukan orientasi. “Kesenian dapat mendorng adanya demokrasi melalui karya-karyanya. Kesenian bukan hanya sekedar bagus atau tidak outputnya melainkan dapat mendorong orang untuk menemukan orientasi”, pungkasnya.
Terakhir mewakili perempuan dalam diskusi malam itu Hilya sellaku pembedah dari sudut pandang kepemudaan menyoroti kembali ruang perempuan di dalam kontestasi demokrasi. Dia menganggap perempuan masih termarginalkan tidak mendapat ruang di ranah politik. Dia mengambil nilai dari Gus Dur bahwasanya Gus Dur sendiri adalah orang yang sangat memuliakan perempuan. “Perempuan hari ini masih saja kurang mendapatkan panggung di kancah politik. Representasi perempuan masih saja kurang. Inilah yang harus tetap kita dorong, Gus Durpun adalah sosok orang yang memuliakan wanita”, jelasnya.
Hilya mendorong perempuan-perempuan muda harus banyak tampil dan mengisi ruang ruang demokrasi yang ada. Baginya perempuan juga musti terlibat dalam ruang-ruang demokrasi, tidak hanya politik representasi perempuan juga dapat berdiaspora kesegala bidang/ profesi. “Perempuan harus berani terlibat dalam ruang-ruang demikrasi serta dapat berdiaspora ke segala bidang agar perempuan tidak terus terpinggirkan”, tegasnya di akhir penjelasan.
Baca Juga (Perempuan Berpolitik Hantam Patriarki)
Banyak respon positif dari para peserta menaggapi topik tersebut. Ghany misalnya seorang arsiparis yang tinggal di Kota Solo menambahkan sosok Gus Dur tidaklah hanya sekedar dikenang sebagai tokoh toleransi saja melainkan sebagai tokoh ekonom juga. Ia menemukan di majalah Tempo tahun 99 Gus Dur juga terlibat dalam penyembuhan ekonomi pasca reformasi yang pada saat itu Gus Dur Rela merogoh tabunganya untuk membantu dan berkolaborasi dengan Bank Suma untuk memberi permodalan agar perekonomian tetap berjalan.
Dimas Suro juga memberikan tanggapanya melalui kesenian. Gus Dur juga seorang penikmat seni seperti ‘Gambus Misri’ di Jombang Jawa Timur. Pada saat itu kesenian dijadikan sebuah tempat untuk berkumpul dan meramu kebersamaan. Gus Dur melalui pertunjukan Gambus Misri mengingatkan kita pentingnya mengembalikan pertunjukan-pertunjukan kesenian ditengah masyarakat Kota. Hal itu adalah bentuk demokrasi melalui kesenian.
Aji Najmudin salah satu penggerak Gusdurian Solo memberikan selayang pandangnya mengenai Gus Dur. Gus Dur adalah tokoh yang bisa diambil dari mana saja ketokohanya, tegantung dari sudut pandang mana kita melihat Gus Dur. Baginya nilai dan gagasanya bisa memberikan warna persoalan demokrasi di negeri ini.
Delza Pujanah selaku demisioner Ketua PMII Kota Surakarta memberikan tanggapanya yang menguatkan pandangan dari Hilya yang menyoroti perempuan. Delza mengungkapkan politik dari daerah hingga nasional masih saja maskulin. Akan tetapi Gus Dur memandang perempuan memiliki akses kesetaraan sama dari segi kapabilitas dan kredibilitas.
Terkahir Faiz Nur salah satu orang yang dekat dengan kekuasaan menekankan pentingnya para pelaku politik mengingat kembali nilai yang ditawarkan Gus Dur soal keberpihakan. Ruang politik hari ini haruslah cakap dan diisi oleh orang yang memiliki keberpihakan jelas. Keberpihakan yang digagas Gus Dur beserta nilai ajaranya menjadi pegangan yang bisa dibawa oleh sektor manapun.
Sebagai penutup acara para narasumber dan peserta yang hadir kompak melantunkan Syiir Tanpo Waton sebagi ciri khas Gus Dur dalam menerangkan kehidupan. Lirik yang memuat ajaran di pelbagai lini tersebut khidmat di baca seluruh peserta yang hadir sebagai bentuk muhasabah sekaligus juga pengingat akan makna demokrasi di kehidupan ini.-