Rumah dan Kebermaknaan

Oleh Joko Priyono
3 Juli 2024, 16:26 WIB

Hari-hari terakhir, perhatian kita di komunikasi digital merujuk pada tumpukan informasi, salah satunya mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Perdebatan yang kemudian terjadi, saling sambut antara satu dengan hal lain adalah sesuatu yang lumrah. Sebab, bergulirnya wacana tersebut tak dapat dipisahkan dengan keberadaan kebijakan lain, situasi sosial, dan kondisi politik mutakhir. Naga-naganya, ada makna yang mesti kita bongkar dari pergulatan makna tersebut.

Berdasarkan estimasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebanyak 81 juta Generasi Milenial dan gen Z diperkirakan belum memiliki rumah (solopos.com, 28 April 2024). Generasi milenial dan Z di wilayah perkotaan sulit memiliki hunian karena harga rumah melambung tinggi. Sebagian besar dari mereka terpaksa menguras gaji, patungan bersama istri, atau kekasih demi mencicil rumah (kompas.id, 13 Maret 2024).

Derita dan susahnya memiliki rumah mengingatkan seorang antropolog Belanda, Roane van Voorst. Pengalamannya melakukan riset di sebuah sudut perkampungan di pinggiran bantaran kali Ciliwung, Jakarta. Perjalanan riset entografi untuk keperluan disertasinya, membuahkan kerja sekunder, yakni kumpulan catatan atas pengalaman ketika berinteraksi bersama warga masyarakat di sana dengan corak sosial maupun budaya yang dihadapi.

Kumpulan tulisannya diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Martha Dwi Susilowati, berjudul Tempat Terbaik di Dunia (Marjin kiri, 2016). Kisah getir mengenai kehidupan dengan kondisi penerimaan akan ruang hidup yang tak layak menjadi babak penting para warga masyarakat. Itu semakin menandaskan, Jakarta bagi banyak kalangan adalah lambang kerasnya kehidupan. Rumah, bagi warga bantaran kali adalah ketidakadilan akan ruang hidup di tengah ancaman banjir dan rusaknya ekologi.

Sejak dulu, angan-angan akan betapa sulitnya memiliki rumah telah terbayang dengan mendasarkan pada ekonomi. Bukti itu agaknya pernah digambarkan oleh Rhoma Irama melalui lagu berjudul “Gelandangan” (1972). Di sana kita mengerti akan penggambaran terkait rumah: Langit sebagai atap rumahku/ Dan Bumi sebagai lantainya/ Hidupku menyusuri jalan/ Sisa orang yang aku makan//.

Kehadiran rumah seiring perkembangan zaman, setidaknya ditandai akan urbanisasi semakin mengalami perubahan. Rural dan urban adalah dua wajah yang berbeda dalam struktur sosial masyarakat. Hal itu dapat dilihat, di kalangan urban maupun perkotaan, rumah adalah petunjuk ruang aman yang tersekat dengan hadirnya konsep perumahan. Konsep yang berlangsung setidaknya sejak 1950-an tersebut, kini telah membentuk imajinasi hunian di ruang perkotaan.

Baca Juga: Tempat, Lokasi, Posisi

Betapa pun, kawasan urban adalah ruang yang penuh tantangan dan ketegangan terhadap perubahan sosial. Seno Gumira Ajidarma (2019) menyebutkannya tidak akan mendapat rumah bahasa yang nyaman selain mampu bergabung dalam komunitas yang berjuang menciptakan ruang budayanya sendiri. Seturut dengan itu, Melani Budianta (2020) pernah menyoroti pertumbuhan kota. Jelasnya, saat ini di zaman merdeka, kita, warga kota, telah menyekat-nyekat diri sendiri dalam ruang publik, pemukiman, dan bahkan juga ruang konsumsi seperti mal super elite, setengah elite, dan seterusnya.

Dalam lanskap kesusastraan, kita ingat sebuah novel gubahan V. S. Naipaul, Sepetak Rumah untuk Tuan Biswas (Pendulum, 2004). Novel tersebut mendapatkan penghargaan Nobel bidang sastra di tahun 2001. Bagi Biswas, impian memiliki rumah adalah hasrat yang terjadi dengan gambaran nasib yang sial untuk menggapai kepemilikan rumah. Pengisahan rumah di cerita tersebut juga membongkar akan budaya dan identitas manusia rantau dalam konteks pascakolonial.

Sitor Situmorang justru menggambarkan rumah mengenai dimensi kesepian. Kita mendapat keterangan dalam puisi berjudul “Rumah”, termaktub dalam buku Surat Kertas Hijau (Dian Rakyat, 1985). Larik puisi itu berupa: Laut dan darat tak dapat lagi didiami/ Benahilah kamar di hatimu/ Atau-mari diam dalam rumahku,/ Bumi yang tak berumah satu// Atau-tahanlah sendiri/ (Lama sudah)/ Di rumah-rumah sepi/ Tiada laki// Lampu setia/ Yang menunggui diri/ Serta kursi-kursi/ Dan jam di malam tuan//.

Di lagu-lagu musik pop, gambaran rumah menjadi perhatian sekian musisi—yang nampaknya sebagian besar menyiratkan pergeseran makna rumah. Amigdala (2018) merilis lagu “Kukira Kau Rumah”. Kita mengerti beberapa liriknya: Kukira kau rumah/ Nyatanya kau Cuma aku sewa/ Dari tubuh seorang perempuan/ Yang memintamu untuk pulang//. Sementara itu, Raissa Anggiani (2023) merilis lagu “Kau Rumahku”. Beberapa lirik berupa: Jangan biarkan ku pulang/ Ke rumah yang bukan engkau//.

Amigdala dan Raissa memberikan makna rumah pada persoalan asmara. Kita tak mudah mengerti perubahan selera, imajinasi, dan konsep rumah yang berdasarkan ide bermunculan dari ranah industri. Industri perumahan bisa jadi adalah keterkaitan yang tak bisa dipisahkan dari keramaian akan Tapera. Dengan demikian, rumah adalah cerita tunggal dengan cicilan demi cicilan yang mesti dituntaskan. Pemaknaan akan rumah telah bergeser pada tanggungan yang menjadi beban, bukan berdasar pada pemaknaan dan relasi eksistensial.

Kesederhanaan mungkin benar saat mengingat sebuah lagu “Tentang Rumahku” (2014) garapan Dialog Dini Hari. Di lagu tersebut, kita menemukan lirik: Tentang rumahku/ Berbagai macam musim t’lah kurengkuh/ Jadi saksi bisu/ Cerita mimpi indah di masa lalu//.  Pengisahan rumah dalam lagu tersebut menyulam ikatan emosi terhadap keluarga, alam, dan budaya. Rumah adalah pembentukan identitas seseorang dalam mencari makna akan hidup. Cara berbahagia dengan sederhana akan rumah itu naga-naganya sulit terbayang dari imajinasi Tapera.[]

Artikel Terkait