Wacana ini muncul melalui surat Panglima TNI Agus Subiyanto kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto yang mengusulkan terdapat pasal lainnya masuk dalam RUU TNI sebagaimana disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro dalam Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan TNI pada 12 Juli lalu. Adapun perubahan Pasal 39 menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI.
Diketahui aturan mengenai larangan personel TNI aktif untuk berbisnis ada pada pasal 39 dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, berikut berbunyi:
Pasal 39
Prajurit dilarang terlibat dalam:
- Kegiatan menjadi anggota partai politik;
- Kegiatan politik praktis;
- Kegiatan bisnis; dan
- Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengatakan penghapusan pasal ini tidak akan jadi masalah. Dia menjelaskan, pemaknaan ‘berbisnis’ ini sah saja bila dilakukan oleh prajurit di luar jam dinas.
“Jadi begini. Kenapa kita tidak boleh bisnis? Karena menggunakan kekuatan. Sebenarnya sama dengan pemilihan itu. Tentara harus keluar dulu supaya jangan menggunakan kekuatannya. Jadi kalau kita berbisnis, kata-kata ‘bisnis’ itu bagaimana? Kalau misalnya kita buka warung, apa berbisnis itu? Ya kan? Kalau misalnya jual beli motor atau apa, ya kalau dia belinya benar tidak menggunakan (kekuatan) itu? Ya jadi berbisnis ya bisnis,” ucap Maruli di Mabes AD, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (16/7).
Dia meyakini kekhawatiran akan TNI menggunakan kekuatan dalam berbisnis sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Dia meminta setiap pihak bisa bersikap tenang alias tidak khawatir akan hal ini.
“Yang nggak boleh itu saya tiba-tiba mengambil alih menggunakan kekuatan. Itu nggak boleh. Itu juga saya kira dengan zaman demokrasi sekarang ini sudah nggak ada lagi lah mempergunakan kekuatan,” ucap Maruli.
Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto, menyebut usulan sebagaimana revisi UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 39 poin C itu masih dalam tahap pembahasan. Hadi menyebut pembahasan itu tengah dilakukan jajaran Kemenko Polhukam dalam rangka DIM RUU TNI.
“Ya ini kan masih dalam proses ya, kita utamanya untuk TNI adalah pasal 47 dan 53. Namun terkait dengan kegiatan bisnis, ini masih terus dalam pembahasan,” kata Hadi kepada wartawan di kawasan Ancol, Jakarta Utara, (Detik, 22/07/2024)
Mengenai penghapusan pasal 39, pendapat pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengkritik revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Dia menolak pencabutan larangan bagi prajurit untuk berbisnis dalam perubahan aturan itu.
“Tentu saja itu tidak boleh dilakukan,” ujar Bivitri usai mengisi acara diskusi bertajuk “Kudatuli, Kami Tidak Lupa” di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau DPP PDIP pada Sabtu, 20 Juli 2024.
Bivitri menilai bahwa pemberian kewenangan berbisnis kepada TNI merupakan langkah yang keliru. Menurut dia, TNI harus tetap berada di pertahanan dan keamanan. Lebih dari itu, TNI memiliki pengaruh besar di kehidupan sosial masyarakat.
“Tentara itu kewenangannya terbatas sekali untuk pertahanan. Dia pegang senjata dan dia juga punya kekuatan kultural juga,” ujarnya – dikutip (Tempo, 22/7/2024).
Bivitri menganggap pencabutan larangan bagi TNI untuk berbisnis sama dengan kembali mundur ke zaman sebelum reformasi. Dia menyebut revisi UU TNI ini akan memberikan akses yang besar bagi militer untuk masuk ke ranah di luar fungsi semestinya.
“Ini akan membuka jalan yang terlalu luas untuk militer masuk ke dalam dunia ekonomi dan politik,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut menyatakan penolakan yang sama atas revisi UU TNI. Dia berpendapat bahwa pasal-pasal dalam perubahan aturan itu akan berdampak buruk bagi demokrasi.
“Di dalam RUU itu banyak sekali pasal-pasal yang bisa membawa bahaya besar, terutama kembalinya dwifungsi ABRI,” ucap Usman dalam kesempatan yang sama.
Sebelumnya, kelompok masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik Koalisi itu menolak pencabutan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dalam perubahan aturan tersebut.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, M. Isnur, menilai revisi UU TNI yang membuka keran militer berbisnis merupakan langkah keliru. Alih-alih ikut berbisnis, Isnur menyampaikan, TNI harus berfokus pada pertahanan dan keamanan negara.
“Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya,” kata Isnur dalam pernyataan tertulisnya.
Jika wacana tersebut terjadi, bisa kita bayangkan apabila Tentara mendirikan perusahaan pembiayaan. Tentunya tidak akan ada tunggakan pembayaran oleh debitur.