Tujuan RUU menjamin perlindungan bagi terpidana mati berdasarkan prinsip HAM yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Mandat Pasal 102 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) memerintahkan pengaturan lebih lanjut tata cara pelaksanaan pidana mati diatur melalui UU. Pemerintah menindaklanjuti mandat tersebut dengan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
(Dilansir dari hokum online 08/10/2025), Wakil Menteri Hukum, Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan KUHP Nasional mengatur pidana mati bersifat khusus yang diancamkan secara alternatif dan masa percobaan 10 tahun. Ada peluang komutasi bagi terpidana mati yang berkelakuan baik selama 10 tahun masa percobaan.
Beleid ini mengganti Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Prof Eddy begitu biasa disapa, mengingatkan DPR telah memasukan RUU ini dalam program legislasi nasional (Prolegnas)Prioritas Tahun 2025.
“Tujuan RUU ini memberikan jaminan perlindungan bagi terpidana mati berdasarkan prinsip HAM yang berlandaskan pancasila dan UUD. Mengatur tata cara pelaksanaan pidana mati. Memberikan kepastian hukum bagi terpidana mati dalam pelaksanaan putusan pidana mati,” ujar Prof Eddy dalam uji publik RUU Pidana Mati, Rabu (8/10/2025).
Dia mencatat sedikitnya ada 9 kebaruan yang diatur dalam RUU. Pertama, hak terpidana mati sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Bebas dari penggunaan alat pengekangan yang berlebihan. Mendapatkan fasilitas hunian yang layak. Menjalin komunikasi dengan keluarga dan/atau pasca penetapan pelaksanaan pidana mati dietatapkan. Mengajukan tempat pelakanaan pidana, permintaan lokasi dan tata cara penguburan.
Kedua, Kewajiban terpidana mati, sesuai UU 22/2022. Ketiga, syarat pelaksanaan pidana mati yakni selama masa percobaan tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki atau telah masuk masa tunggu. Telah mengajukan grasi dan ditolak. Serta berada dalam kondisi sehat.
Keempat, waktu dan tempat pidana mati. Prof Eddy menyebut waktu tidak lebih dari 30 hari sejak penetapan pelaksanaan putusan pidana mati. Terpidana mati dapat mengajukan permohonan tempat eksekusi, diutamakan di daerah tempat menjalani pembinaan.
Kelima, pemberitahuan pelaksanaan putusan pidana mati. RUU mengatur pemberitahuan disampaikan kepada terpidana mati dan keluarga, Presiden, advokat, Mahkamah Agung (MA), Menteri Luar Negeri (Menlu), Menteri Hukum (Menkum), Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menimipas), Kapolri, dan Komnas HAM. Pemberitahuan disertai informasi upaya hukum, hasil pemeriksaan, penilaian terpidana mati dan keputusan penolakan permohonan grasi.
Keenam, publikasi informasi, dilakukan pada hari keputusan pelaksanaan pidana mati ditetapkan.
Ketujuh, kebaruan lain yang dipaparkan Prof Eddy yakni tahap persiapan meliputi pembentukan regu tembak, penyiapan petugas, penunjukan pejabat penanggungjawab. Pengoordinasian pelaksanaan dengan kementerian/lembaga dan atau pihak terkait. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP.
Kedelapan, tahap pelaksanaan pidana mati. Prof Eddy menjelaskan ketentuan ini mengatur terpidana mati dibawa dalam keadaan bebas dengan pengawalan. Dalam hal terpidana mati perempuan, pengawalan diutamakan dilakukan petugas perempuan. Jarak regu tembak tidak lebih dari 5 meter dan tidak kurang dari 1 meter.
Kesembilan, Pengakhiran. Penanganan jenazah berdasarkan permintaan terpidana mati atau keluarganya. Kemudian penanganan jenazah bagi terpidana mati yang bukan warga negara Indonesia.
Selain itu RUU memuat peran Presiden dan fiktif positif. Presiden dapat memberikan pertimbangan pelaksanaan pidana mati dan harus segera ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam waktu 90 hari sejak keputusan pelaksanaan pidana mati diterima Presiden telah lewat dan Presiden tidak menetapkan keputusan perubahan pidana mati menjadi seumur hidup, usulan perubahan pidana mati dianggap dikabulkan secara hukum.
Dalam forum yang sama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Prof Asep Nana Mulyana menjelaskan peran jaksa dalam pelaksanaan pidana mati yang diatur dalam RUU antara lain Jaksa Agung menetapkan pelaksanaan pidana mati. Jaksa Agung memberitahukan pelaksanaan pidana mati kepada terpidana mati, advokat, keluarga terpidana mati, Presiden, MA, Menlu, Menkum, Menteri Imipas, Kapolri, Kepala Lapas, dan Komnas HAM.
Jaksa agung memberitahukan pelaksanaan pidana mati kepada Presiden. Jika Presiden punya pertimbangan lain terhadap pelaksanaan terpidana mati, Jaksa Agung menindaklanjuti pertimbangan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Publikasi pelaksanaan pidana mati melalui laman Kejaksaan Agung.
Prof Asep menuturkan sekalipun pelaksanaan pidana mati ini menjadi tugas jaksa, tapi penanganannya berbeda dengan eksekusi lainnya. Apalagi setelah eksekusi penembakan dilakukan, belum tentu terpidana langsung menghembuskan nafas terakhir. Ada kalanya setelah ditembus timah panas perlu menunggu beberapa saat sampai akhirnya terpidana meninggal.
“Ini tidak tega juga melihatnya. Selain itu untuk hal-hal yang sifatnya teknis akan diatur dalam Peraturan Jaksa Agung,” imbuhnya.

