Rambak.co – Surakarta. Sore itu cukup cerah. Lokananta pepat pengunjung. Buku-buku tertata rapi di atas meja. Seorang bergerak penuh gairah tak sabar mendengarkan sang penulis bersabda tentang keabadian. Adalah Eka Kurniawan yang melawat ke Surakarta berkat Tilik Sarira dan Partners kala membikin kegiatan acara cukup besar bertajuk Ketika Seni Bekerja, (20-22 September 2024).
Bila kita mendengar Eka Kurniawan, maka benak kita mengingat wajahnya tenang, realisme sosialis dan Cantik Itu Luka. Kala masih jadi mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Eka menulis skripsi mengenai Pram dan Realisme Sosialis. Kemudian karya fenomenalnya Cantik itu Luka diterbitkan, semakin membikin namanya harum mewangi bagi pembaca seantero dunia.
Ribuan pengunjung membikin pepat Lokananta Surakarta yang terletak di Kerten Surakarta. Bangunan Lokananta yang baru diresmikan beberapa bulan lalu itu, temboknya yang masih putih bersih, tercium aroma cat yang menyeruak. Rumput jepang yang hijau terhampar. Di situlah pagelaran dihelat. Para pengunjung duduk bersila lengkap dengan kertas dan pena.
Pengepul informasi Rambak.co datang terlambat. Dengan wajah kumal dan benjolan jerawat di rahang kanannya, tertatih-tatih sambil mempersiapkan alat rekam. Ketika meletakan pantatnya dirumput jepang yang tajam-tajam itu terlihat jelas, pria berkacamata sedang berdendang menyuluh sastra, seni dan kita. Dari balik kata-kata yang menyeruak, kemudian teringat Gabrielle Zevin yang membikin buku berjudul Kisah Hidup A.J Fikry.
A.J Fikry ialah tokoh fiksi. Syahdan, kehidupan seorang penulis di era digital ini, Zevin cukup berhasil menyiratkan keresahan demi kegelisahan yang muncul. Adalah keabadian. Keabadian penulis yang telah bersumpah tetap setia mendekap pena dan kertas. Sore itu Eka menyingkap dibalik karya-karya pentingnya.
Lelaki Harimau. Karya gubahan Eka Kurniawan. Eka bercerita mengenai novel itu. Masa silam mengetuk dirinya untuk menulis. Ia tak ingin masa silam lenyap begitu saja. Meski sang waktu akan melindas yang berlalu, Eka melawannya dengan karya-karya berupa novel ataupun novelet.
Novel Lelaki Harimau misalnya. Buku yang menyabet Book of the Year IKAPI 2015 itu jadi bahan perbincangan setelah pengepul berita rambak.co bersila di bawah pohon mahogany. Novel Lelaki Harimau di tulis ketika Eka memilih singgah di Salemba. Namun, idenya didapat ketika ia masih menjadi mahasiswa semester satu.

Kos, ide dan masa silam. Martin Heidegger sempat berfilsafat mengenai waktu. Adala temporalitas. Baginya manusia hidup tidak seperti yang dikatakan Aristoteles, dimana yang silam, masa kini dan masa depan memiliki sekat pemisah. Bagi Heidegger manusia yang ada bergerak, berjalan, bertindak itu berada di kesatuan masa yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan bernama temporalitas itu.
Lelaki harimau dituliskan ketika Eka mengingat kos, harimau dan kawannya. Suatu ketika di ruang kos yang sempit, kawannya tersandung dan terjatuh. Meletup kata macan dan diksi yang hanya diketahui mereka, yang membekas dalam ingatan Eka. Peristiwa itu alhasil mengajak Eka untuk menyiratkannya menjadi novel.
Harimau tersirat cukup kentara. Eka mengakui harimau didapatkan dari cerita-cerita yang serupa folklore sewaktu dia kecil. Aing Maung dan sejenisnya yang berbau mistik itu, jadi bahan bakar tulisannya. Eka beberapa kali menyiratkan hewan dalam novelnya. Adalah Lelaki Harimau, Anjing Mengeong Kucing Menggonggong. Eka menyampaikan bahwa dirinya mencintai cerita beraroma fable.
Keampuhan Eka dengan karya-karya, menyiratkan gilang-gemilang karya sastra Indonesia untuk dunia. Meski Eka bisa dibilang berpengaruh di dalamnya sampai-sampai Majalah New York Times sempat mengajak Eka pada 2016 untuk menulis Esai dan menyabet Worl Reader’s Award (2016). Eka menyuluh agar penulis-penulis Indonesia tetap tegak walaupun dunia penerbitan dan tulis-menulis sedang kembang-kempis.
Kemudain, Eka bercerita mengenai dirinya yang silam. Ia mengakui dirinya bukan terlahir dari darah seorang penulis. Kakeknya seorang petani, Ibunya hanya penjual toko kelontong dan Ayahnya seorang pekerja keras. Kecintaannya pada sebuah karya tulis menekankan dirinya untuk menghantam segala pahit pelik yang kadang melingkupinya. Mafhum, semua yang Eka lalui adalah setapak demi setapak proses. “Jika saya tak mencintai apa yang saya lakukan, mungkin saya sudah jualan di toko kelontong.” Tukas Eka Kurniawan kemudian menyelesaikan beberapa kata dan acara diakhiri dengan bersua foto. Tak hanya itu, para pengunjung pun meminta tanda tangan Eka.
Oleh: Don Vito