Jakarta, 9 Desember 2024 – Polemik mengenai gagasan Otto untuk membentuk organisasi advokat (OA) tunggal terus menuai kritik tajam. Usulan tersebut dianggap sebagai langkah mundur yang mengancam kebebasan berorganisasi dan keberagaman dalam dunia advokat Indonesia.
Dalam perkembangan terbaru, Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang digelar di Jimbaran, Bali, pekan ini juga menyoroti isu penting lainnya. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah mendesak pencabutan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 73 Tahun 2015, yang mengatur pelaksanaan sumpah advokat.
Ketua Umum PERADI, Otto, menyampaikan bahwa SEMA tersebut dianggap tidak sesuai dengan semangat independensi advokat dan berpotensi menghambat proses pengangkatan advokat baru. “Rakernas telah mengusulkan agar SEMA terkait sumpah advokat ini segera dicabut,” ujar Otto dalam keterangannya. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), Otto memiliki hak untuk menyampaikan gagasan tersebut.
Namun, penting bagi yang bersangkutan untuk memahami terlebih dahulu kondisi dan perkembangan advokat di Indonesia, baik sejak masa perjuangan, masa Orde Lama (Orla), maupun Orde Baru (Orba).
Sejarah mencatat bahwa pada 30 Agustus 1964, berdirilah Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang secara aklamasi diterima dan diresmikan sebagai satu-satunya organisasi advokat di Indonesia pada masa itu.
PERADIN menjadi wadah persatuan pertama yang mempersatukan advokat di Indonesia. Namun, dengan berkembangnya sistem hukum dan kebebasan berorganisasi, pada 21 Desember 2004, para advokat di Indonesia sepakat membentuk organisasi baru, yaitu PERADI.
Pembentukan PERADI didasari pada mandat dari UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menegaskan kebebasan dalam pembentukan organisasi advokat tanpa mengesampingkan semangat persatuan.
Dalam konteks ini, ide Otto dan koleganya untuk kembali mendorong OA sebagai satu-satunya wadah tunggal bagi advokat (single bar) dinilai tidak berdasar dan justru bertentangan dengan prinsip kebebasan berorganisasi dalam negara hukum. Hal ini dianggap mencederai nilai-nilai demokrasi dan pluralisme yang dijunjung tinggi di Indonesia.
“Upaya ini wajib kita tolak,” tegas salah satu tokoh advokat senior Advokat Imam Syafi’i SH . Menurutnya, sejarah menunjukkan bahwa pluralitas organisasi advokat telah menjadi bagian penting dari dinamika hukum di Indonesia, dan keberagaman tersebut harus tetap dijaga demi mewujudkan keadilan dan kebebasan berorganisasi.
Diskursus mengenai gagasan ini diharapkan dapat dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak, guna memastikan kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada kepentingan para advokat dan masyarakat hukum secara umum.