Solo, 17 Desember 2024
Aliansi Sahabat Pelindung Anak (SPA), sebuah kelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap isu sosial yang genting. Dalam sebuah acara penyuluhan hukum bertajuk “Menyuarakan Hak Anak: Strategi Pencegahan Kekerasan Seksual Berdasarkan UU TPKS dan UU Perlindungan Anak”, (SPA) mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melindungi generasi muda dari ancaman kekerasan seksual.
Acara ini menghadirkan dua narasumber kompeten, Umar dari Kantor hukum Umar J Harahap & Partners dan Mutimatun Ni’ami, S.H., M.Hum.,, Dosen Fakultas Hukum UMS, yang membahas permasalahan kekerasan seksual terhadap anak dari berbagai sudut pandang, mulai dari tantangan hukum hingga dampak psikologis yang mendalam bagi korban.
Ketua SPA, Muhamad Syech Anis Baraja, menjelaskan bahwa penyuluhan ini merupakan upaya membangun kesadaran masyarakat terkait hak-hak anak dan peran penting semua pihak dalam pencegahan kekerasan seksual. “Tingginya angka kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia harus menjadi peringatan keras. Kita tidak bisa diam saja. Semua pihak, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah, harus bergerak bersama,” tegasnya.
Fakta Mengejutkan: Kekerasan Seksual Di indonesia
Data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2024) mengungkapkan bahwa Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menempati posisi teratas dalam kasus kekerasan anak, dengan mayoritas korban berada pada rentang usia 13-17 tahun. Bentuk kekerasan paling dominan adalah kekerasan seksual, mencapai lebih dari 12.000 kasus.
Ironisnya, mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat korban, seperti anggota keluarga atau tetangga. Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah kasus di Pasar Kliwon, Solo, di mana seorang paman memperkosa keponakannya hingga korban hamil di usia 14 tahun.
“Ini bukan sekadar angka. Di balik setiap data, ada nyawa, ada trauma, dan ada anak yang kehilangan masa depannya,” ujar Umar J Harahap dalam paparannya.
Tantangan Penegakan Hukum
Umar juga menyoroti berbagai kendala dalam penegakan hukum terkait kasus kekerasan seksual. Meski ekspektasi masyarakat terhadap hukuman pelaku cukup tinggi (15 tahun – seumur hidup), kenyataannya banyak pelaku hanya dijatuhi hukuman ringan. Proses restitusi atau ganti rugi bagi korban juga sering terhambat karena minimnya pemahaman aparat hukum.
“Banyak korban yang akhirnya harus berjuang sendiri untuk pemulihan mental dan fisik. Negara memang hadir dalam bentuk bantuan sementara, seperti biaya medis, tetapi itu tidak cukup. Trauma korban membutuhkan perhatian jangka panjang,” tambah Umar J Harahap.
Melenyapkan Stigma: Peran Masyarakat Sangat Vital
Salah satu tantangan terbesar dalam perlindungan anak adalah stigma masyarakat yang kerap menyalahkan korban. Mutimatun Ni’ami, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa budaya ini membuat banyak korban enggan melapor. “Stigma bahwa korban adalah pihak yang ‘tidak suci’ harus dihapuskan. Korban adalah pihak yang harus dilindungi, bukan dikucilkan,” tegasnya.
Selain itu, dia menekankan pentingnya kasih sayang dan perhatian orang tua dalam mencegah kekerasan seksual. “Keluarga adalah benteng pertama. Orang tua harus lebih dekat dengan anak, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Jangan biarkan kesibukan sehari-hari membuat kita lupa memberi cinta kepada anak-anak kita,” ujarnya.
Strategi untuk Masa Depan
SPA memberikan beberapa rekomendasi konkret untuk menyuarakan hak anak dan mencegah kekerasan seksual:
- Sosialisasi intensif melalui media dan komunitas.
- Kampanye anti-stigma terhadap korban kekerasan seksual.
- Sinergi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
SPA juga mengajak masyarakat Solo untuk lebih peduli dan proaktif dalam melindungi anak-anak di lingkungan sekitar. “Kami ingin masyarakat tahu bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Jika kita semua bergerak, kekerasan seksual pada anak dapat dicegah,” ujar Muhamad Syech Anis Baraja menutup acara.
Harapan ke Depan
Penyuluhan ini bukan hanya sekadar diskusi. Ini adalah panggilan aksi bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu perlindungan anak. Aliansi SPA bertekad melanjutkan kampanye ini dengan lebih banyak kegiatan sosialisasi dan advokasi.
Dengan semangat yang dibawa oleh SPA dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan masa depan anak-anak Indonesia menjadi lebih cerah. Perlindungan anak bukan lagi sekadar wacana, melainkan tanggung jawab bersama yang harus diwujudkan.