Hewan yang Disalahkan: Mengapa Kita Mudah Mengumpat dengan Membawa Nama-nama Hewan?

Oleh Joko Priyono
20 Juli 2024, 09:00 WIB

Percakapan di kalangan para manusia salah satunya dekat pada dunia fauna. Kita dapat meninjau hal tersebut dari ungkapan yang kerap dilontarkan dalam pembicaraan. Fenomena tersebut kemudian memberi pengaruh luas. Berhubungan dengan itu, kita ketahui bersama, banyak jenama benda lekat dengan keberadaan fauna atau dunia hewan.

Nahas, saat manusia melibatkan mereka juga memberi fakta bahwa keberadaannya mendapati makna konotatif. Mulut manusia saat mendapati kemarahan, kekesalan, hingga kekecewaan lekas menjadi kebun binatang. Mereka mudah mengucapkan nama-nama hewan untuk menunjukkan ekspresi tersebut. Hal itu membuat kita menemukan sebuah gejala dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia merekam banyak nama hewan yang kemudian banyak orang mengonotasikannya sebagai makian maupun umpatan. Dari sana, kita bisa membuat sedikit daftar: anjing, babi, munyuk, kadal, buaya, biawak, codot, celurut, hingga kerbau. Orang-orang menuturkan daftar spesies tersebut dengan memperkuatnya lewat volume dan intonasi pengucapan.

Pengucapan yang terjadi membawa kita pada sejarah. Sejarah teks keterlibatan hewan kelihatannya tak lepas dari keberadaan peribahasa. Pencatatan peribahasa menjadi penting, sebagaimana misalnya Sarwono Pusposaputro pernah menyusun Kamus Peribahasa (Gramedia, 1987). Di buku itu, kita bisa meminjam beberapa peribahasa: (1) Anjing tiada bercawat ekor, (2) Gila babi, (3) Bercabang bagai lidah biawak, (4) Adakah buaya menolak bangkai, dan (5) Kera menegurkan tahinya.

Baca Juga: Masih Akrab dengan Istilah “Guru Honorer”? Ternyata Kata “Honorer” itu Berasal dari Bahasa Belanda Lho

Dari sana kita mengingat Hasif Amini (2007) yang pernah mengungkapkan: “Ada kalanya manusia menggunakan (karakter) hewan untuk membayangkan perangainya sendiri, sementara di kala lain hewan-hewan itu dijadikan si lain yang dengannya manusia membedakan dan meninggikan diri. Sebab, bukankah proses “menjadi manusia” adalah proses menghilangkan “sifat-sifat hewani” dari dalam diri kita?” Pernyataan menjadikan kita untuk mengingat masa kecil.

Hewan dan Cerita

Di masa kecil kita mengalami di mana nama-nama hewan menjadi ingatan kolektif sebagai teks. Melalui lirik lagu dan cerita, kita mengerti akan pentingnya menjaga ekosistem, perlunya membuat lingkungan hidup yang seimbang, dan merasa bahwa manusia hanyalah satu dari sekian makhluk hidup yang menaungi di planet Bumi ini.

Namun, kenyataan itu membawa pada paradoks dari manusia. Bahwa tak sedikit dari kita lupa dan abai terhadap keberadaan dari beragam jenis hewan yang mengisi teks cerita. Di tengah-tengah ancaman keberlangsungan hidup seperti krisis iklim, masalah kepunahan, dan terbatasnya ketersediaan pangan—kita sebagai manusia justru mudah menuturkan mereka dalam percakapan yang cenderung menganggap hewan-hewan itu sebagai antagonis.

Bukti itu misalnya ketika menghadapi momentum kemacetan, bukan refleksi terkait kebijakan transportasi dan penggunaan jalan. Akan tetapi, mulut justru mengeluarkan makian: “Mau macet sampai kapan ini, Anjing!!!”. Situasi sama ketika ada berita kejahatan di mana pihak yang melakukan adalah manusia. Terkait hal itu, kita mafhum, di media sosial, banyak pengguna mudah mengomentari dengan kalimat: “Jahat sekali. Kelakuannya melebihi hewan.”

Kehadiran hewan mengingatkan sastrawan Inggris, George Orwell. Ia menulis novel dengan tokoh hewan berjudul Animal Farm (1945). Di Indonesia, Mahbub Djunaidi pernah menerjemahkan dengan judul Binatangisme (1983). Buku itu syarat alegori politik dalam mengkritik eksploitasi yang dilakukan manusia.

Cara Orwell mengisahkan di dalam buku tersebut tentu tak lepas bagaimana sebagai upaya menyuguhkan keberadaan hewan untuk membangun kritik terhadap ideologi, konsep sosial, dan kesadaran politik. Pemosisian hewan dalam buku tersebut menarik untuk mengerti dan membongkar bagaimana keculasan yang dimiliki manusia. Walakin, bila kita kembalikan pada pembahasaan hewan dalam keseharian rasanya pengisahan seperti itu hanya tinggal dalam cerita saja.[]

Artikel Terkait