Akhir lebaran keluarga-keluarga di Indonesia cukup sibuk. Mereka mempersiapkan perayaan hari kemenangan. Mereka mulai membersihkan pelataran rumah dan mengecat tembok yang mulai menguning agar nampak bersih enak dipandang. Tak hanya itu menyiapkan segala bentuk kuliner pun mereka bikin untuk menjamu tamu-tamu ataupun perantau yang kembali ke rumahnya.
Perantau kembali ke rumah menilik yang silam. Kepergiannya sejak beberapa lama melamuni tempat yang menyisakan kenangan dan kisah. Adalah rumah. Debu-debu halus yang menempel di kordain dan meja, semakin kuat mengajak perantau bergeming dan merenung.
Tak hanya itu, foto-foto yang sengaja di cetak di sebuah album, semakin memperdalam imajinya untuk memastikan bahwa dirinya sudah lama melawat hingga suatu saat kulitnya bakal menua dan keriput.
Pulang ke rumah merupakan sesuatu yang menggembirakan. Di tempat yang bernama rumah menyisakan kenangan dan renungan akan waktu yang tak bisa diulang kembali. Gambaran saat seseorang memutuskan untuk pulang ke rumah digambarkan menarik dalam sebuah novel. Rangkaian cerita di dalamnya mengisahkan tentang, pulang dan rumah.
Toha Mochtar dalam Pulang (Pustaka Jaya, 1957) cukup lekat dengan renungan seorang perantau yang memutuskan untuk pulang. “Pulang. Apakah yang dapat lebih menggelorakan hati daripada mengalami pertemuan dengan keluarga kembali?” (Hlm. 6).
Saat pulang, kita berjumpa dengan keluarga. Perjumpaan itu membikin kita merenung sejenak menyaksikan segalanya berlalu begitu cepat. Orang tua yang kita kasihi nampak keriput diseret waktu, uban nampak melambai-lambai mengundang murung, terkadang membikin kita bergidik. Pertemuan dan perisahan harus manusia hadapi dengan berani cepat atau lambat. Dari situlah (baca; keluarga), para perantau mengencangkan ikat pinggang kemudian memastikan kembali jalan yang ia pilih.
Perjumpaan dengan rumah galibnya kita menyapa lingkunan sekitar rumah. Bertemu dengan kawan kecil maupun mengendus semerbak udara yang berbeda ketika tinggal di kota nan pepat,
Bukan hanya seisi rumah yang bakal kita rasakan dan renungkan. Akan tetapi kampung halaman yang pula bakal kita saksikan. Keluarga kecil yang tinggal di sebuah kampung itu jadi bagian dari kelompok sosial. Seseorang yang tinggal di suatu wilayah, tak luput dari yang namanya perenungan asal mula mereka.
Peraih Nobel Sastra 2006 –Orhan Pamuk, mengisahkan rumah dan lingkungannya. Dalam memoar berjudul Istanbul (Serambi, 2009), kita diajak oleh perjumpaan tentang makna sebuah ‘pulang ke rumah.’ Di mana ketika kita pulang dihadapkan dengan keluarga maupun benda-benda kesayangan.
Dalam memoir itu, kita disuguhkan dengan lekatnya keluarga. Keluarga Pamuk yang tinggal di apartemen tak begitu lebar, menghiasi hidupnya dengan cerita dan potret. Kebahagian, kesedihan dan harapan lekat dalam memoir. Istanbul kota yang menyiratkan banyak perjalanan sejarah, seseorang dalam waktu lama meninggalkan tempat kelahirannyame, akan merasakan kembali bahwa ia adalah dirinya sewaktu ia dilahirkan.
Kita melengkapi lebaran acap kali dengan ‘mudik’. Mudik ditandai dengan keputusan para pemudik untuk pulang ke kampung halaman. Keberadaan mudik mengundang suka cita bagi mereka yang melakoni.
Pada Majalah Gatra (30/12/2000) menyuguhkan lebaran unik. Lebaran waktu itu bertepatan dengan hari raya Natal pada (25/12/2000). Perayaan hari besar yang berlangsung bersamaan itu peristwa unik mengandung banyak makna menyoal kebersamaan.
Perayaan secara bersama yang berlangsung tiga puluh dua tahun sekali menyiratkan kebersamaan mengenai makna ‘pulang’. Meski pada situasi itu lekat sekali dengan perayaan yang sifatnya ritus keagamaan, akan tetapi kerumunan kendaraan mengekor membikin pepat jalanan pantai utara hingga pelabuhan merak pada masa itu.
Para perantau kembali ke kampung halaman mulanya sebagai kebiasaan yang sifatnya kultural. Keberjalanan waktu dan kesepakatan akan pentingnya kembali ke rumah selepas lebaran, menyebabkan ‘mudik’ menjadi sakral. Selepas lebaran, terasa janggal apabila tidak kembali ke rumah bertemu sanak famili dan menikmati suasana penuh kenangan.
Mudik mengajak pelawatnya untuk berkisah. Rasa kasih tertuang di setiap rumah dengan melebur sembari mengucapkan ‘maaf’. Maaf bisa berlangsung di hari apapun dan kapanpun. Namun, maaf di bulan suci sebagai penanda bahwa hari kemenangan sebagai kesalingketerkaitan hubungan manusia dengan sang ilahi.
Hari Idul Fitri bukanlah hari di mana segalanya dirayakan dengan hingar-bingar bersifat hedonistik. Hari kemenangan bukan untuk menampilkan seberapa bagus pakaian yang kita kenakan di hari itu, seberapa mahal harga gawai kita, atau tukar kuat pengalaman duniawi. Mafhum, bulan puasa yang menghendaki seluruh umat muslim menjaga hati, pikiran, nafsu dan bersikap penuh kesederhanaan sebagai penekanan makna keimanan.
Sang seniman Danarto berujar dalam Cahaya Rasul (Dian Rakyat, 1999), memaknai hari kemenangan di bulan fitri. Hari kemenangan ketika seluruh nuansa tercerap. Kita menampik melawan hawa nafsu kita dan kemenangan dapat kita pertahankan dalam hari-hari kapanpun.
Sedangkan kekalahan Idul Fitri kita adalah ‘sisi gelap itu: saudara masih dalam jengkal kemiskinan, namun kita acuh. Sejauh itu semakin sukar guna hidup layak lantara kesenjangan sosial yang meruyak dan mengoyak mereka.
Keluarga, kenangan dan mudik merupakan aktivitas yang acap kali dilakukan oleh manusia Indonesia untuk merawat kebersamaan. Kebiasaan itu punya kemiripan dengan ‘Thanksgiving’ di Amerika Serikat yang berlangsung setiap 23 November.
Mudik menyadarkan kepada pelawatnya untuk memahami waktu yang fana. Beratus-ratus jam para pemudik bergulat di tempat asing mengadu nasib, saat pulang ditampilkan oleh sang waktu yang berlalu begitu cepat. Keberjalanan waktu secepat kilat itu seakan kemarin berlalu. Syahdan Dalam lebaran 1446 H, ini kita dapat semakin memperkuat keimanan kita sebagai seorang muslim untuk tetap berada di dalam rel ridha sang pengasih dan penyayang. Sekian.