Belum lama ini, saya menerima undangan pengajian bertajuk “Ngaji Budaya”. Melihat judulnya, dalam pikiran saya langsung melesat: “Wah, Maiyah iki!” Forum pengajian dengan embel-embel ngaji budaya biasanya tidak jauh dari pengajian Maiyah—model sinau bareng, egaliter, diiringi musik, dan suasana cair antara yang di atas panggung maupun yang di bawa panggung.
Poster digitalnya semakin memperkuat dugaan saya: termuat foto penceramah berambut putih tanpa peci, grup musik tradisional, dan satu seniman perempuan tidak mengenakan jilbab. Saya tidak kenal siapa mereka, tetapi saya bisa membayangkan penceramah berlagak seperti Cak Nunnya, grup musik sebagai Kiai Kanjengnya, dan si seniman menjadi pembicara dari disiplin ilmu selain keislaman. Dalam benak saya terbesit pertanyaan: Ini Maiyahan atau Maiyah-maiyahan?
Maiyahan dan Maiyah-maiyahan tentu punya arti yang berbeda. Kalau Maiyahan, itu artinya sedang mengikuti acara maiyah. Seperti rutinan Simpul Maiyah bulanan di berbagai kota seperti Padhangmbulan di Jombang, Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Bantul, dan masih banyak lagi di beberapa daerah. Selain itu, ada forum Maiyah yang diadakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Sebenarnya tidak hanya itu. Setiap forum yang mempunyai ruh Maiyah juga bisa dikatakan Maiyah. Dari semua forum yang disebut sebagai Maiyah itu tidak harus menghadirkan Cak Nun.
Baca juga: Masih Relevan Sejarah Nasional?
Sementara Maiyah-Maiyahan adalah tiruan. Ingin menjadi Maiyah tetapi tidak termuat esensi Maiyah itu sendiri. Ibarat gambar nasi goreng, tampak luarnya saja, dan tidak bisa dimakan. Perlu digaris bawahi bahwa tiruan ini belum tentu salah. Sah-sah saja.
Bukannya su’udzan, tapi saya memang tidak punya ekspektasi lebih terhadap acara “Ngaji Budaya” tersebut. Mendirikan forum ala Maiyah bukan sekadar meniru panggungnya. Ini bukan soal menirukan tatanan acara, menghadirkan jamaah yang banyak dan beragam, atau membahas tentang keluhuran budaya Nusantara. Ini tentang kedalaman ruh.
Dan benar, acara tersebut terpaksa selesai lebih awal. Pukul 11 malam jamaah yang mayoritas ibu-ibu memilih pulang. Mereka terbiasa mengikuti pengajian yang membahas langsung pada topik kajian. Dimulai jam 8 dan selesai jam 10. Sedangkan, di forum itu ya seperti forum maiyah pada umumnya. Pembahasan diselingi musik dan mencapai klimaks dengan sesi tanya jawab di tengah malam. Suasana di dalam pengajian pun tidak ada bedanya dengan pengajian di masjid-masjid. Tenang, dan tidak ada tanda emosi jamaah yang bergejolak apalagi sampai urakan seperti dalam forum Maiyah.
Baca juga: Sejarah Orang Biasa dengan Kisah Menggugah
Dan memang, ruh Maiyah itu tidak bisa diimpor instan. Jamaah Maiyah itu bukan sekadar pendengar, tapi penanya, pengkritik, perenung, kadang juga penggugat. Mereka bukan duduk untuk diberi tahu, tapi untuk diajak berpikir. Maka, penceramah harus mempunyai interdisipliner keilmuan seperti halnya Cak Nun. Tidak harus berada selevel dengannya, tetapi mampu menerjemahkan kondisi langit agar dapat dipahami oleh penduduk bumi. Mampu menjelaskan situasi politik dan ekonomi negara ke dalam alam kesadaran jamaah serta berpijak pada dalil-dalil agama untuk menyelesaikan problematika umat.
Kok susah banget? Ya memang susah. Keilmuan multidimensi Cak Nun tidak lahir secara instan. Sejak era 70-an nama Emha Ainun Nadjib sering terpampang di media cetak, buku-bukunya dicetak ulang hingga kini. Forum Maiyah yang membuat jamaah betah duduk hingga 2/3 malam berkat kemampuan manajemen dakwah dan public speaking tingkat tinggi.
Maiyah-maiyahan ini adalah usaha untuk memberi nuansa lain dalam dakwah Islam. Sebab pengajian kita hari ini masih banyak yang terlalu fokus pada tema-tema ukhrawi yang diulang-ulang: iman, keutamaan sholawat, pahala puasa, kiamat sudah dekat, dan surga yang disiapkan untuk golongan tertentu. Ini penting, saya tidak menolak itu. Tapi masyarakat juga butuh pencerahan untuk hidup hari ini—bukan cuma bekal untuk mati besok. Mereka perlu tahu bagaimana agama memandang utang koperasi, pinjol, gaji buruh, harga gabah, sistem birokrasi yang korup, dan perilaku elit yang lupa bahwa rakyat bisa lapar.
Baca juga: Tukar Posisi “Konten” dan “Kreator”
Cak Nun dhawuh dalam bukunya yang berjudul Surat kepada Kanjeng Nabi bahwa yang dibutuhkan umat bukan sekadar jawaban. Tapi keberanian untuk bertanya. Di sinilah letak persoalannya: pengajian kita terlalu fokus menjawab pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan jamaah. Sementara pertanyaan yang sungguh-sungguh mereka alami—tentang anaknya yang kecanduan TikTok, tentang harga pupuk, tentang cara menolak sogokan di kantor kelurahan—justru dianggap tidak pantas dibahas di mimbar agama. Akhirnya agama terasa jauh. Padahal ia seharusnya hadir seperti air: bisa masuk ke dalam teko, ember, atau gelas rakyat kecil.
Sekali lagi, Maiyah-maiyahan ini merupakan sebuah proses belajar. Seperti kita dulu waktu kecil bermain menjadi polisi-polisian. Dari segi pakaian, sikap, dan ketegasannya meniru polisi. Boleh-boleh saja, namanya juga anak kecil. Jika ingin jadi polisi beneran tinggal belajar dan berlatih dengan giat agar kelak saat dewasa jadi polisi beneran. Walaupun orang dewasa masih main polisi-polisian juga ada. Sering tertawa sendiri malahan.