JAKARTA, Rambak.co – Peneliti senior Imparsial, Al Araf, mengungkapkan bahwa sekitar 2.500 prajurit TNI aktif saat ini menempati jabatan sipil. Pernyataan ini didasarkan pada data yang diterima dari Lemhannas pada tahun 2023.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi I DPR pada Selasa (4/3), Al Araf menyampaikan bahwa angka tersebut bersumber dari diskusi yang ia lakukan dengan Babinkum TNI saat presentasi di Lemhannas.
Baca Juga: Soroti Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Mustikata Pentaskan Teater Ngagorowok
Pelanggaran UU TNI dan Ancaman bagi Sistem Birokrasi
Menurut Al Araf, fenomena ini melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pasal 47 dalam UU tersebut secara tegas membatasi jabatan sipil oleh prajurit TNI.
“Saat ini banyak posisi di kementerian yang ditempati oleh personel TNI aktif. Hal ini jelas bertentangan dengan UU TNI,” ungkapnya.
Baca Juga: Jericho, Musisi Muda Berbakat Surakarta Siap Meramaikan Industri Musik Indonesia
Dalam paparannya, Al Araf menyoroti kasus kontroversial terkait pengangkatan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab). Jabatan tersebut kemudian diubah menjadi Sekretaris Militer untuk menyesuaikan struktur dari kekuasaan militer.
“Kasus Mayor Teddy adalah contoh yang mencerminkan bagaimana batasan hukum bisa berubah untuk mengakomodasi kepentingan tertentu,” tegas Al Araf.
Dampak terhadap Profesionalisme dan Ketatanegaraan
Lebih lanjut, Al Araf menekankan bahwa kehadiran prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengganggu sistem meritokrasi dalam pemerintahan.
“Selain tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, keterlibatan militer aktif dalam jabatan sipil juga berisiko merusak profesionalisme mereka sendiri. Ini bisa membawa kita kembali ke masa lalu di mana militer terlalu dalam mencampuri urusan pemerintahan,” pungkasnya.
Baca Juga: Penasihat Hukum Mbah Prenjak; Tanggapan Jaksa Perlu Dikritis Usai Tanggapi Esepsi
Pernyataan Al Araf ini memperkuat urgensi pemisahan yang jelas antara militer dan pemerintahan sipil. Praktik semacam ini dapat mengancam integritas birokrasi serta merusak sistem ketatanegaraan yang berbasis demokrasi dan supremasi sipil.