Habib adalah panggilan yang diberikan kepada ulama dari kalangan ‘Alawiyin atau dari Bani ‘Alawi yang artinya keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur imam Husain dan keturunan dari Sayyid ‘Alawi bin ‘Ubaidillah yang hijrah dari Basrah, Irak, ke Hadramaut, Yaman. Dari Hadramaut keturunan mereka bermigrasi ke pantai timur Afrika, pantai barat India dan yang paling besar bermigrasi ke Asia Tenggara.
Inilah yang disebut dengan habaib. Jadi, habaib bukanlah gelar resmi. Titel resmi bagi keturunan Nabi Muhammad itu adalah Sayyid atau Syarif. Ada yang mengatakan keturunan Hasan disebut Sayyid, dan keturunan Husain disebut Syarif. Intinya ada beberapa pandangan mengenai gelar keturunan Nabi. Akan tetapi dalam konteks Hadramaut, ada beberapa tradisi yang mengatakan bahwa mencintai keluarga Nabi itu wajib. Pada perkembangan berikutnya orang memanggil ulama dari kalangan Sayyid atau ‘Alawiyyin ini dengan panggilan habib. Itulah yang dimaksud dengan habaib, dikutip dari Ismail Fajrie Alatas, “Habaib in Southeast Asia,” dalam Encyclopaedia of Islam Three, ed. Kate Fleet et al. (Leiden and Boston: Brill, 2018).
Kapan habaib ini mulai ada di Indonesia? Sejarawan berbeda pendapat. Ada yang bilang sudah cukup lama. Tetapi catatan sejarah yang lebih jelas mengatakan bahwa pada abad ke-18, habaib sudah aktif di Nusantara. Di catatan tersebut kita bisa melihat bagaimana para Sayyid dari Hadramaut mempunyai posisi resmi di beberapa kesultanan Islam di Asia Tenggara. Ada yang menjadi qadi (hakim agama), mufti, menantu raja, bahkan menjadi raja.
Seperti misalnya di Aceh seorang Sayyid dari keluarga Bilfaqih menikahi Sultanah Aceh yang ke-4. Setelah itu datang fatwa dari Makkah yang mengatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Karena fatwa tersebut, sang Sultanah turun tahta dan suaminya, Sayyid dari Hadramaut menggantikan posisinya menjadi Sultan Aceh.
Di samping fakta di atas, kita juga bisa melihat beberapa kesultanan di Nusantara yang didirikan oleh habaib. Misalnya seorang ulama, Habib Husain alQadri, berdakwah di kalangan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Putranya kemudian menikah dengan salah satu bangsawan Bugis. Pada pernikahan ini, keturunannya mempunyai dua marga dengan status sosial tinggi, yaitu sebagai bangsawan Bugis dan habaib. Dari garis keluarga inilah yang kemudian mampu mendirikan kesultanan di Kalimantan Barat dan juga mendirikan Kota Pontianak.
Selain itu, kita juga bisa menemukan keluarga Alaydrus yang mendirikan emirat Kubu yang ada di Kalimantan Tengah. Emirat bukanlah kesultanan, tetapi di bawah kesultanan Pontianak. Kemudian ada keluarga al-Shihab di Siak, Indrapura yang membangun kerajaan di sana dengan sultannya yang terakhir, Syarif Kasim. Ketika Indonesia merdeka, Sultan Syarif Kasim turun tahta dengan alasan mengabdi di Republik Indonesia.
Dari beberapa catatan sejarah tersebut, kita bisa menyimpulkan dengan jelas bahwa habaib aktif di kesultanan di Nusantara sejak abad ke-18. Apakah sebelum masa itu habaib sudah ada di Nusantara? Kemungkinan ada, tetapi catatan sejarah tidak terlalu jelas. Walaupun misalnya di beberapa kitab-kitab nasab kaum ‘Alawiyin ataupun kitab-kitab nasab yang ada di Kesultanan Cirebon mengatakan bahwa delapan dari sembilan Wali Songo garis keturunannya bisa dilacak sampai kepada nasab habaib, dikutip dari Fathurrochman Karyadi, “Masuknya Islam di Nusantara versi Habib Salim bin Jindan,” Alif.ID, March 17, 2019, https://alif.id/read/atunk-oman/masuknya-islam-dinusantara-versi-habib-salim-bin-jindan-b216254p/.
Tetapi informasi ini diperdebatkan oleh para sejarawan. Selain itu, ada juga catatan yang mengatakan bahwa di Kasultanan Mataram (sebelum pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta) terdapat seorang sayyid ‘Alawi yang menjadi mufti Kasultanan Mataram di zaman Sultan Pakubuwono II. Tetapi kita tidak tahu sejauh mana pengaruh habaib di zaman itu pada bentuk-bentuk keislaman yang ada di keratonkeraton tadi. Islam Jawa, Keraton, dan Tarekat Syatariyah.
Mengapa kita tidak mengetahui pengaruh habaib sebelum abad 18? Karena pada zaman itu bentuk Islam yang dominan berada di keraton dan kesultanan. Adalah sebuah fakta bahwa di Nusantara sebelum abad 18 terdapat bentuk keislaman yang sebenarnya sudah terbangun cukup lama dan didominasi oleh tasawuf spekulatif (tasawuf teoritis, atau tasawuf nadhari). Hal ini karena pengaruh alShaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi dengan konsep wahdatul wujudnya yang sampai di Nusantara melalui silsilah tarekat Syattariyyah. Kita sudah banyak membaca misalnya dari karya Azumardi Azra dan yang lainnya bahwa tarekat Syattariyyah cukup berpengaruh di Madinah pada abad ke 16 dan 17, dikutip dari Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (University ofHawaii Press, 2004).
Di antaranya adalah Ibrahim al-Kurani dan banyak murid-muridnya dari Indonesia seperti Abdurrauf al-Singkili yang membawa Tarekat Syattariyah ke Nusantara. Tarekat ini sampai ke Jawa melalui Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan akhirnya masuk ke keratonkeraton. Jadi, di keraton sendiri kalau kita lihat literatur keislaman (yang mereka punya) sangat didominasi oleh ajaran-ajaran Syattariyah. Harus kita pahami bahwa teks-teks keislaman di zaman itu hampir seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa.
(baca juga; “Spirit of Capitalism” Warung Madura.)
Bentuk keislaman saat itu juga sangat berbeda dengan apa yang kita pahami sebagai Islam hari ini di mana Islam saat itu mempunyai kecenderungan berkelindan dengan kultur lokal. Pengaruh Timur Tengah khususnya Negeri Arab bisa dibilang ada tetapi budaya Jawanya sangat dominan dan tentu juga ada pengaruh-pengaruh dari wilayah lain seperti dari Persia dan India.
Pada awal abad ke-19, tiba-tiba bentuk keislaman yang didominasi ajaran Tarekat Syattariyah dan berbasis di keraton yang mana kitab-kitabnya berbahasa Jawa seperti serat, babad, suluk, dan lain-lain berubah. Yang mempunyai otoritas keislaman saat itu adalah seorang seperti Yasadipura. Ada Yasadipura I, Yasadipura II, dan sang cucu, Ranggawarsita. Mereka itulah (ototitas keagamaan) yang memproduksi khazanah Islam, yang mungkin bagi kaum Nahdliyin atau bagi habaib sekarang dianggap kurang Islami karena (bentuk keislamannya) sangat berbeda dengan apa yang kita pahami sebagai Islam hari ini.
Tapi justru menariknya di sini. Mungkin teks-teks itu sekarang bagi kebanyakan Muslim dianggap sebagai teks-teks kejawen dan lain-lain, tetapi itulah sebenarnya Islam di zaman itu. (Di mana) sangat dipengaruhi ajaran Tarekat Syattariyah. Jadi, keraton sampai abad ke-18 sampai abad ke-19 adalah pusat Islam.
Kita tahu Sultan Mataram saat itu menggunakan gelar Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi, sebuah gelar Khalifah; bahwa mereka betulbetul secara sadar memproyeksikan diri tidak hanya sebagai sultan, tetapi juga khalifah. Mereka betul-betul sadar bahwa kesultanan mereka itu adalah pusat Islam.
Keislaman mereka bukanlah Islam periphery atau pinggiran dari sebuah pusat (Islam) yang jauh seperti Makkah ataupun Hadramaut. Masjid Demak diproyeksikan—di dalam kitab-kitab Suluk dan Babad Jawa—sebagai center of Islam. Oleh karenanya, pada saat mulai banyak orang Jawa pergi haji, Mangkunegara KeIV menyitir dalam salah satu karyanya bahwa dia bilang “Saya heran mengapa anak-anak muda ini ingin pergi ke Makkah, (sedangkan) kita punya Masjid Demak di sini, mengapa jauh-jauh ke sana.” Pernyataan ini bisa dilihat sebagai pemahaman bahwa kita adalah orang Jawa dan Islam, dan ini adalah center of Islam.
Muslim Jawa tidak perlu ke pusat (Islam) yang jauh di sana, karena di sini adalah pusat (Islam). Apa yang kita punya di dalam Museum Radya Pustaka dan perpustakaan-perpustakaan keraton lainnya sebenarnya itu adalah Islam: Islam yang sangat Jawa dan tidak dapat diduplikasi di tempat lain, sangat orisinil. Dari sini, harus kita pahami bahwa hubungan awal habaib dan para kiai (yang jaringannya nanti membentuk NU) terbentuk sebagai tantangan terhadap Islam yang ala keraton tadi. Jaringan ulama tradisional bersama habaib ini bersinergi di abad ke-19 dan salah satu yang bertanggung jawab atas mandegnya tradisi Islam Jawa yang lebih kuno.
Islam Jawa ala keraton lebih tepat disebut dengan istilah Islam Nusantara daripada jaringan habaib dan Nahdlatul Ulama yang saat ini ada di Indonesia. Alasannya adalah jika kita melihat teks-teks agama yang dipakai, habaib maupun ulama dan jaringan pondok pesantren di bawah naungan NU lebih banyak menggunakan teks agama berbahasa Arab (Arab sentris) ketimbang teks agama berbahasa Jawa (Nusantara sentris) yang digunakan di keraton. (Serat, babad, suluk, dll) bagi kami, that is the original Islam Nusantara.
Pada abad ke-19, keraton sebagai pusat Islam kalah khususnya karena efek kekalahan Pangeran Diponegoro di perang Jawa pada 1825-1830. Dalam pandangan kami, perang Jawa ini adalah babak terakhir Islam keraton (Islam dengan pengaruh kuat Tarekat Syattariyah) yang kalah oleh gerak zaman roda kapitalisme dan kolonialisme yang waktu itu semakin memasuki wilayah Jawa. Oleh karena itu, kita tahu misalnya dari karya Peter Carey bahwa banyak sekali tokoh-tokoh kunci dalam perang Jawa itu adalah mursyid Tarekat Syattariyah, Peter Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: Brill, 2008).
Tidak hanya itu, bacaan favorit Pangeran Diponegoro adalah Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Fadlullah al-Burhanpuri yang merupakan seorang teoritis Tarekat Syattariyah. Dus, dampak dari perang Jawa ini mengakibatkan disrupsi pada Tarekat Syattariyah dan jaringannya yang sudah cukup terbangun lama. Lebih dari itu, pemerintah kolonial Belanda mengganggap perpaduan atara Islam dan keraton Jawa berbahaya sekali untuk stabilitas pemerintah kolonial karena berhasil membangun kekuatan dan berperang selama lima tahun lamanya, maka oleh karenanya harus dipisahkan.
Nancy Florida dalam bukunya Jawa-Islam Di Masa Kolonial: Suluk, Santri, Dan Pujangga Jawa, ed. Irfan Afifi (Yogyakarta: Buku Langgar, 2020) melihat ada upaya-upaya purifikasi keraton-keraton Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) dari pengaruhpengaruh Islam. Keraton ini dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadi benteng dari Javanisme dan mulai menerjemahkan kitab-kitab Jawa kuno, kakawin, sastra kakawin sebelum Islam dan lain-lain untuk menutupi kesusatraan dan teks-teks Islam yang sudah diproduksi dengan luar biasa di keraton Mataram semenjak Sultan Agung.
Habaib, Jaringan Kiai, dan Reorientasi Islam di Jawa Di sinilah kita melihat ada sebuah konteks pasca-Perang Jawa di mana pusat Islam yang tadinya terpaku pada keraton tiba-tiba hilang dan runtuh. Pertanyaannya siapa yang mengisi kekosongan itu? Sejak era ini kita bisa memahami peran habaib di satu sisi dan para ulama-ulama yang baru kembali dari Haramain (Makkah dan Madinah) di sisi yang lain.
Karena pada abad 19 muncul sistem tanam paksa yang berarti ada moneterisasi ekonomi agrikultur. Hasil dari itu, banyak petani Jawa mendapatkan kapital dari tanaman komersil (seperti kopi dan lainnya) yang digunakan untuk berangkat haji. Ketika berhaji, mereka tidak langsung pulang tetapi menjadi pelajar (santri) di Makkah.
Pada saat orang Jawa menjadi santri di Makkah pada abad 19, terjadi pergeseran orientasi Islam di mana tasawuf spekulatif ala Tarekat Syattariyah tidak lagi menjadi rujukan di Makkah dan Madinah. Orientasi ini digantikan oleh bentuk tasawuf berorientasi syariat. Di antaranya adalah Tarekat Naqsabandiyah, Qadiriyah, Samaniyyah, dan lain-lain yang biasa disebut lebih reformis. Tipikal dari tasawuf berorientasi syariat ini adalah mereka lebih berorientasi kepada masyarakat awam: bagaimana mencerdaskan masyarakat awam dengan tidak fokus mengajarkan tasawuf tetapi bagaimana mengajarkan masyarakat awam menjadi muslim yang baik secara syar’i.
Jadi, mereka lebih banyak menekankan misalnya tasawuf akhlaqi, dan mengajarkan fiqh al-‘ibadah (cara shalat, cara wudlu, hukum zakat dan lain-lain) dan teks-teks aqidah yang lebih simpel. Hal ini menjadi penting untuk diajarkan daripada membaca tentang martabat tujuh, martabat lima, tajalli tuhan di alam semesta ala Ibnu ‘Arabi. Maka dari itu banyak dari santri-santri dari Jawa ini yang terpengaruh dengan perubahan yang ada di Makkah pada masa itu. Ketika mereka kembali ke Jawa, mereka mengkritisi banyak guru-guru lokal yang masih berorientasi kepada Islam keraton dengan membawa kitab-kitab seperti ‘Aqidah al-‘Awwam dan mukhtasar-mukhtasar ilmu fikih.
Para ulama dan habaib yang semakin banyak datang ke Jawa di pertengahan abad 19 ini mengajarkan masyarakat awam bagaimana cara shalat, wudlu, dan lainnya. Mengapa pada masa itu banyak habaib pulang ke Jawa dari Makkah? Hal ini dikarenakan maraknya keberadaan orang-orang Hadrami di Jawa dan di Nusantara yang sukses berdagang dan bahkan mendominasi bisnis perkapalan di Nusantara.
Mereka sangat kaya dan punya keluarga yang lahir di Nusantara hingga berpikir bagaimana mereka bisa menjaga religiusitas keluarga mereka ini. Pada akhirnya para saudagar Hadrami yang kaya kaya ini baik yang ada di Singapura maupun di kota-kota di sepanjang pesisir Jawa mensponsori datangnya para ulama dari Hadramaut untuk datang dan mengajarkan keluarga dan anggota komunitas Hadrami bagaimana menjadi muslim yang baik.
(baca juga; Apakah Manusia Saat ini Keturunan Nabi Nuh?)
Salah satu yang paling terkenal dari orang-orang yang diundang untuk datang dan mengajar ini adalah Syekh Salim bin Sumayr. Walaupun bukan habaib tetapi guru-guru Syekh Salim hampir semua habaib dan beliau pribadi mengikuti tarekat habaib. Selain itu, Syekh Salim mengajar disponsori oleh keluarga alJunaid di Singapura dan kemudian di Jakarta. Ketika dia mengajar di dua tempat tersebut, Syekh Salim melihat banyak para muridnya awam ilmu agama.
Maka untuk membantu dalam proses pengajaran, Syekh Salim menulis kitab kecil yang bisa mengajarkan Islam dari dasar yaitu Safinah al-Najah. Selain itu, ada juga Habib Abdullah bin Umar bin Yahya yang juga datang atas undangan para saudagar Hadrami di Indonesia dan banyak menulis kitab yang ditujukan untuk orang orang awam, dikutip dari buku Tentang Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, “A Hadrami Sufi Tradition in the Indonesian Archipelago: The Itineraries of Ibn Yahya (1794-1849) and the Tariqa ‘Alawiyya,” in Buddhist and Islamic Orders in Southern Asia, ed. R. Michael Feener and Anne M. Blackburn (Honolulu: University of Hawaii Press, 2019)
Kitab ini tidak hanya ditujukan kepada anak-anak komunitas Hadrami, tetapi untuk kaum muslimin pada umumnya seperti kitab beliau yang masih terkenal dan masih banyak dibaca sekarang di kalangan Nahdliyin yaitu Safinah al-Salah. Adalah Habib Abdullah yang membawa untuk pertama kalinya kitab Sullam al-Tawfiq ke Nusantara. Kitab ini ditulis ditulis oleh sang paman dari jalur ibu yaitu Habib Abdullah bin Husain bin Thohir. Tiga kitab di atas dan 12 kitab lain seperti Risalah al-Jami’ah karangan Habib Ahmad bin Zen al-Habsyi adalah kitab-kitab yang ditulis oleh habaib di Hadramaut untuk mengajarkan Islam kepada para kabilah-kabilah Arab yang tidak mengerti Islam sama sekali.
Munculnya kitab-kitab kecil dan praktis ini membantu memperkenalkan praktikpraktik dasar keislaman kepada masyarakat awam. Pada saat habaib ini datang ke Nusantara mereka juga melihat umat Islam di sini juga awam sama seperti ketika mereka mengajar muslim di Hadramaut sana. Maka digunakanlah kitab-kitab yang awalnya ditulis untuk kabilah dan suku badui Arab untuk muslimin di Jawa. Oleh karenanya, jika kita melihat kitab-kitab seperti Sullam al-Tawfiq dan Risalah al-Jami’ah, semuanya adalah kitab yang merangkum bab keimanan (tentang ilmu akidah) secara sederhana misalnya tentang sifat dua puluh, makna dari kalimat syahadat, fikih ibadah dasar dan juga tassawuf akhlaqi.
Jadi, dalam satu kitab terdapat banyak pembahasan (all in one). Jadi menurut habaib yang mengajar di Nusantara ini, mereka sepertinya mengatakan: “Sudahlah dari pada pusing menggunakan rujukan kitab Tuhfah alMursalah (yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro), pakai kitab ini saja sudah cukup terutama untuk orang-orang di zaman ini yang awam agama.” Walaupun Syekh Salim bin Sumayr dan Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya tadi datang untuk mengajarkan anak-anak di komunitas Hadrami. Tetapi karena Hadrami banyak tinggal di kota-kota di pesisir pulau Jawa (Singapura, Gresik, dan Surabaya) maka aktivisme mereka bersinggungan dengan orang-orang di luar komunitas Hadrami, seperti orang-orang Jawa yang mau berangkat atau pulang haji.
Beberapa dari muslim Jawa ini singgah di Singapura untuk beberapa lama sehingga mereka bertemu dan belajar kepada Syekh Salim bin Sumayr yang pada akhirnya mengenalkan mereka kitab Safinah al-Najah. Atau ketika Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya berada di Surabaya, dirinya mengajarkan kitab Sullam al-Tawfiq di Masjid Sunan Ampel. Salah satu buktinya adalah satu manuskrip di Perpustakaan Nasional yang merupakan Tadzkirah (memorandum) dari Habib Abdullah bin Umar bin Yahya untuk para hujjaj (jamak haji) di Jawa.
Dalam manuskrip tersebut disebutkan beberapa nama muridnya seperti Haji Muhammad Arsyad, Haji Muhammad Saleh dan lain lain. Melihat nama-nama tersebut jelas bisa dilihat bahwa mereka bukan Hadrami. Dan merekalah yang menjadi murid Habib Abdullah ketika berada di Surabaya. Dalam tadzkirah juga dijelaskan bahwa masalah di pulau Jawa ini banyak orang yang tidak paham Islam tetapi mengajarkan agama Islam dengan cara yang rumit dan semakin tidak membuat orang awam paham agama.
Habib Abdullah merekomendasikan muridnya mengajar menggunakan kitab Sullam al-Tawfiq yang dikarang oleh sang paman. Habib Abdullah melanjutkan bahwa semua pengajaran agama yang para muridnya butuhkan untuk mengajar orang awam ada dalam kitab tersebut. Tadzkirah juga memberikan gambaran bagaimana Habib Abdullah mengasumsikan bahwa umat Islam di zaman itu adalah orang awam. Maka untuk belajar tentang tauhid, menggunakan kitab ‘Aqidah al-‘Awwam.
Di sinilah ada titik temu antara para santri Jawa yang ada di Makkah yang terpengaruh oleh tarekat berorientasi syariah dan habaib yang terpengaruh oleh pemikiran Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad (haddadiyah).
Yang terakhir ini adalah seorang tokoh reformis abad ke-17–18 yang tidak menganjurkan tasawuf yang bersifat tinggi, melainkan merekomendasikan bertasawuf sebagai dakwah untuk orang awam. Beliau menulis kitab yang sangat berpengaruh yaitu Da’wah al Tammah yang memberikan kiat-kiat dakwah untuk masyarakat awam. Inti dari kitab ini adalah ulama tidak perlu menelusuri fikih yang rumit.
Tugas ulama adalah menjadi dai dan mengajarkan orang awam bagaimana menjadi muslim yang baik. Di sinilah kita melihat titik temu antara dua perjalanan. Pertama migrasi habaib dari Hadramaut ke Nusantara membawa paradigma dari Imam al-Haddad (haddadiyah) yang lebih menitikberatkan kepada masalah mengajarkan kepada orang awam. Kedua, perjalanan orang-orang Jawa ke Makkah untuk belajar agama dan kembali dengan membawa pemahaman tasawuf berorientasi syariat yang mempunyai paradigma sama dengan haddadiyah. Kedua paradigma ini berkelindan menggantikan posisi ajaran Tarekat Syattariyah yang terpuruk setelah perang Jawa ini. Setelah dua paradigma (haddadiyah dan tasawuf berorientasi syariat) masuk ke Jawa, kita lihat ada perubahan mendasar.
Otoritas agama yang awalnya menggunakan serat, babad, suluk dan lainnya yang berbahasa Jawa berubah menggunakan teks berbahasa Arab seperti Safinah al-Najah, Risalah al-Jami’ah, Sullam al-Tawfiq, dan ‘Aqidah al-‘Awwam. Data ini bisa kita lihat dari karya Van Den Berg yang melakukan survei dan menemukan bahwa kitab-kitab karya habaib yang disebutkan di atas digunakan dan dipelajari di pesantren-pesantren di Jawa dan Madura pada abad ke-19, L.W.C. Van Den Berg, Hadrami Dan Koloni Arab Di Nusantara, ed. Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1989).
Selain itu, dalam penjelasan di awal tadi, kita melihat perubahan pergerakan Islam dari yang tadinya terpusat di keraton berubah menjadi menyebar ke kampung-kampung dan desa-desa baik di pesisir maupun di pendalaman. Di sana para santri dan para ulama membangun banyak langgar yang berkembang menjadi pesantren.
Di tempat-tempat inilah kita melihat munculnya kurikulum baru yang akhirnya kita anggap sebagai kurikulum ahli sunnah wal jamaah yang kita pahami sekarang ini. Lebih dari itu, kurikulum di pesantren ini terdiri dari kitab-kitab tidak berbahasa Jawa, akan tetapi berbahasa Arab.
Pada akhirnya, Islam menjadi sebuah agama dengan jumlah massa yang besar melalui aktivisme habaib dan para kiai melalui pondok pesantren yang mereka bangun, dan kitab populer yang dikarang yang menjadi kurikulum dasar studi keislaman di Nusantara. Inilah salah satu yang harus kita pahami dalam memaknai relasi antara habaib dan para kiai yang mana ada kesamaan visi dan misi.
Di samping itu, dikemudian hari ditemukan juga adanya kesamaan isnad atau sanad di mana baik habaib dan para kiai belajar dari guru-guru yang sama. Ini terjadi bukan di Hadramaut karena pada abad ke-18 dan 19 tidak ada ulama Jawa yang datang dan belajar agama di sana. Tetapi ini terjadi di Makkah karena banyak orang-orang Jawa dan dari seantero Nusantara belajar kepada mufti Syafi’iyah di Makkah. Seara historis, mufti Syafi’iyah di Makkah di pegang oleh beberapa orang yang mempunyai hubungan dekat dengan habaib di Hadramaut.
Salah satunya yang terkenal adalah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang merupakan guru dari banyak ulama Jawa dan juga guru dari banyak habaib. Jadi, setelah dijelaskan sebelumnya ada kesamaan visi dan visi antara ulama Jawa dengan habaib, yang tidak kalah penting juga adalah adanya hubungan pertalian sanad guru yang sama yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.
Sebelum era Sayyid Zaini Dahlan sebagai mufti Makkah, ada Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi yang juga menjabat mufti Syafi’iyah. Beliau ini ayah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penulis kitab Maulid Simt al-Durar. Di dua era mufti Syafi’iyah ini, banyak sekali ulama Nusantara dan habaib dari Hadramaut yang belajar dengan beliau.
Di luar dua nama di atas, kita juga mengenal nama Syekh Muhammad bin Said Babsayl, seorang mufti Syafi’iyah yang menjadi guru dari Habib Ali Kwitang, dikutip dari Ismail Fajrie Alatas, “Becoming Indonesians: The Ba ’Alawi in the Interstices of the Nation,” Die Welt Des Islams (2011) dan Hadratussyekh K.H. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu, Hadratussyekh juga belajar kepada Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, kakak dari Habib Ali al-Habsyi penulis kitab Simt al-Durar.
Jadi ikatan antara ulama Jawa dan habaib semakin kuat dan semakin gencar karena ada dua kesamaan: persamaan visi dan misi serta sanad dan silsilah keilmuan yang membuat mereka cukup dekat. Oleh karena itu, tidak heran jika kitab karangan habaib (Safinah al-Najah, Risalah al-Jami’ah, dan Sullam al-Tawfiq) yang menjadi kitab dasar kurikulum Islam di Jawa disyarahkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani di Makkah.
Ini menunjukkan bahwa Syekh Nawawi memiliki kesamaan visi dengan habaib yang mengedepankan pemikiran haddadiyah untuk dakwah kepada masyarakat awam. Dengan menulis syarah tiga kitab di atas, sebenarnya Syekh Nawawi mempersiapkan buku yang bisa digunakan oleh para pengajar di kemudian hari di Jawa untuk menjelaskan tiga kitab tersebut kepada khalayak ramai. Tujuannya agar kitab-kitab tersebut bisa dibaca di langgar dan pondok pesantren sebagai kurikulum ibtidaiyyah.
Tidak semua orang mau belajar sampai ke Minhaj al-Talibin atau Fath al-Mu’in karena kedua kitab tersebut hanya untuk kelas khusus. Jika berbicara kitab yang bisa digunakan untuk masyarakat umum ialah Safinah al Najah, Risalah al-Jami’ah, dan Sullam al-Tawfiq. Ini sudah cukup. Syekh Nawawi alBantani menyarahi kitab kitab tersebut untuk membantu para ulama dan para pendidik di Nusantara agar bisa mengajarkan kitab kitab tersebut kepada masyarakat secara luas. Dan ini menjadi embrio dari apa yang kita sebut sebagai ahli sunnah wal jamaah masa ini.
Oleh karena hubungan ulama dan habaib yang sudah disebutkan di atas, tidak heran jika fatwa habaib dari Hadramaut juga digunakan sebagai rujukan oleh para kiai NU. Ini bisa dilihat dari salah satu kitab yang digunakan di lajnah bahtsul masail yaitu Bughyah al-Mustarsidin. Kitab ini berisi fatwa habaib di Hadramaut yang kemudian dirangkum menjadi satu kitab oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur Ba ‘Alawi, seorang mufti dari kota Tarim, Hadramaut dan ahli nasab habaib. Baik habaib dan para ulama tradisional (sebelum mereka mendirikan NU) adalah saling berkaitan secara paradigma keagamaan dan secara sanad keilmuan. Ketika semakin banyak para ulama tradisional di Nusantara berkumpul (salah satunya pasca pulang belajar dari Makkah kepada dan bersama kalangan habaib), mereka kemudian mendirikan jamiyah Nahdlatul Ulama pada 1926.
Jadi boleh dibilang habaib dan ulama NU secara kultural, teologi, visi, dan misi dakwah serta sanad keilmuan sangat sama dan sangat berkelindan. Sikap ini bisa dipahami dengan memahami fakta bahwa Habib Ali Kwitang adalah tokoh yang sangat terbuka dengan semua kalangan. Dia mempunyai hubungan yang baik dengan pendiri al-Irsyad, Syekh Ahmad Surkati, walaupun yang bersangkutan cukup kritis terhadap para habaib.
Begitu juga hubungan Habib Ali dengan dengan tokoh Muhammadiyah dan Persis, Kiai Mas Mansur dan Ahmad A. Hasan di mana di antara mereka bertiga punya hubungan yang dekat. Bagaimana dengan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari? Tentu saja hubungannya sangat dekat karena satu guru, di antaranya Syekh Muhammad Said Babsayl, dan lain lain.
Selain itu, kedekatan keduanya bisa dilihat ketika baik Habib Ali bersama-sama dengan Hadratussyekh ikut terlibat dalam Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang dibuat Jepang pada waktu itu. Setiap Habib Ali pergi ke Jawa Timur (misalnya untuk menghadiri haul Habib Syech Bafaqih Boto Putih di Surabaya atau pergi mengunjungi sahabatnya Habib Soleh al-Hamid di Tanggul, Jember, bersama murid-muridnya yang merupakan kiai-kiai Betawi seperti K.H. Abdul Rozak Ma’mun, K.H. Thohir Rohili, K.H. Abdullah Syafii dan lain lain) selalu mampir ke Tebuireng untuk menemui Hadratussyekh Hasyim Asy’ari.
Begitu juga pada saat muktamar NU di Jakarta pada 1959, di mana K.H. Wahab Hasbullah menjadi Rais Aam menggantikan Hadratussyekh, Habib Ali meskipun bukan anggota Nahdlatul Ulama tetapi beliau sangat dituakan dan sangat dihormati oleh para kiai NU, dikutip dari Alatas, “Becoming Indonesians: The Ba ’Alawi in the Interstices of the Nation.”
Maka K.H. Wahab Hasbullah meminta Habib Ali untuk membaca doa penutup dalam rangkaian muktamar NU tersebut. Begitu juga Habib Salim Bin Jindan yang mana banyak guru beliau adalah para kiai seperti Syekhana Kholil Bangkalan dan banyak lagi sanad keilmuan beliau yang kembali ke Syekh Mahfudz Termas.
Sama dengan Habib Ali, Habib Salim memilih untuk tidak berada di satu organisasi tertentu sehingga dia bisa berbicara dengan kaum modernis dan juga kaum tradisionalis. Contoh di atas bukan berarti mengatakan bahwa semua habaib ada di luar organisasi Nahdlatul Ulama. Ada beberapa habaib yang masuk dalam keorganisasian NU, di antaranya adalah Habib Djamaluddin Assegaf Puang Ramma di Makassar yang merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan. Beliau adalah ayah dari Habib Abdurrahim Assegaf Puang Makka yang merupakan mursyid tarekat Kholwatiyah penerus Syekh Yusuf alMakassari.
Ada beberapa habaib lain yang ikut ke dalam suatu organisasi, tetapi pada umumnya mereka lebih memilih untuk dakwah di luar jamiyah, yang artinya mereka secara kultural dan teologis sama dengan Nahdhatul Ulama tetapi tidak menjadi anggota resmi jamiyah tersebut. Relasi antara habaib dan kiai ini terus berlanjut dari zaman ke zaman dan hubungan antara mereka terkadang dimediasi oleh tempat ketiga seperti Makkah yang terjadi sampai sekarang. Hal ini karena banyak putra dari para kiai di Nusantara dan habaib belajar kepada Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki di Makkah sehingga sanad keilmuan mereka juga tersambung.
Perlu diketahui bahwa banyak guru dari Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki adalah habaib dari Hadramaut. Sehingga sanadnya keilmuan mereka bersambung. Begitu juga akhir-akhir ini dengan makin banyaknya putra para kiai di Nusantara yang meneruskan pendidikannya ke Hadramaut, baik di Ribath Tarim, Dar al-Mustafa, atau Universitas al-Ahqaf, dikutip dari Tebuireng: Journal of Islamic Studies and Society Vol. 2, No.2, 2022.