Pabrik guru di Indonesia sebagian besar hanya mengenal dua bahan baku. Pertama, anak dari desa lulusan MI, lanjut ke MTs, lalu lulus MA, dan dengan penuh harapan bisa masuk ke UIN. Kalau tidak cukup sukses, ya kuliah di kampus swasta. Kalau tidak cukup duitnya, maka masuklah ia ke kampus yang gedungnya lebih banyak daripada koleksi buku perpustakaannya.
Kedua, anak kota lulusan sekolah dengan fasilitas pendidikan yang memadai—laboratorium, komputer, ruang kelas yang luas, dan berbagai macam lapangan olahraga. Mereka punya peluang kuliah di universitas negeri ternama, atau kalau gagal dikit, masuk ke kampus swasta dengan kualitas yang sebanding dengan UKT-nya.
Menariknya, dua jalur produksi ini membentuk polanya masing-masing dan cukup konsisten. Jebolan madrasah dari desa kembali mengajar ke desa. Sedangkan anak kota kembali ke mengajar di kota atau di sekolah elit. Kedua pola ini semakin berjarak setelah adanya kebijakan zonasi yang tanpa sadar melanggengkan segregasi pendidikan: anak desa tidak bisa mencicipi sekolah favorit di kota, dan madrasah tetap jadi opsi paling realistis untuk sekedar melanjutkan jenjang pendidikan.
Setiap guru membawa warisan ilmu dan pengalaman dari bangku SD atau MI. Ia akan meniru bagaimana dulu gurunya mengajar. Maka, bersyukurlah bagi kalian jebolan sekolah kota—setidaknya punya referensi bahwa sekolah bisa menyenangkan, berpikir bisa menantang, dan belajar bisa memerdekakan. Berbeda dengan guru di desa, di mana pemahaman tentang pendidikan hanya sebatas hafalan, buka buku, mencatat, dan dikasih tugas. Kalau pengerjaan tugas belum selesai dijadikan PR. Ia tidak pernah melihat gurunya dulu menulis, membaca buku, berpikir, atau mempertanyakan sistem yang ada.
Siklus anak desa jadi guru di desa tidak selalu buruk. Mereka mengajar penuh dengan keikhlasan. Mau digaji berapapun tetap mau mengajar walaupun bisa jadi karena memang tidak bisa bekerja di bidang lain. Namun, ketika ruang pengalaman, pendidikan, dan intelektualitas mereka terbentuk dalam orbit itu-itu saja, tentu kita tidak bisa berharap ada gagasan segar dari ruang kelas mereka. Jangankan mengubah sistem, mengetahui sistem bermasalah saja termasuk kemewahan berpikir.
Sebaliknya, mereka yang besar dari sekolah kota seringkali tidak tersebar secara merata ke desa-desa. Bukan berarti tidak mau atau gengsi, tetapi sistem distribusi tenaga pendidik tidak cukup memberi ruang bagi guru progresif untuk masuk dan bertahan di daerah. Akhirnya roda pendidikan kita berputar tanpa arah. Jalan terus, tapi tak kemana-mana.
Kita tidak sedang menyalahkan guru desa jebolan madrasah itu. Mereka tumbuh di sistem yang memang tidak pernah memberi opsi lain. Nggak ada pengalaman belajar yang membuka wawasan. Nggak ada tradisi diskusi, dan akses ke sumber bacaan yang berkualitas. Bahkan kadang perpustakaan sekolah pun beralih fungsi jadi gudang tempat menyimpan bangku rusak.
Yang perlu dikritik ialah sistem yang menjadikan pendidikan seolah-olah hanya pekerjaan—bukan pergulatan intelektual. Guru lokal mengajar dengan metode warisan tanpa pernah bertanya: “Masih relevankah ini?” Bukan karena malas, tapi karena memang tak pernah diajak memikirkan hal semacam ini.
Tentu tidak adil jika menilai guru hanya dari kampus dan kampung halamannya. Tapi, mari kita jujur, bagaimana mungkin kita menuntut inovasi dari mereka yang tidak pernah mendapatkan ide-ide segar selama proses belajarnya? Bagaimana mungkin kita berharap siswa mampu berpikir kritis jika gurunya sendiri tidak merasa perlu untuk membaca ulang gagasan Paulo Freire? Atau bahkan sekedar bertanya : “Mengapa murid saya tidak semangat belajar?”
Kita terlalu sibuk mengomentari dan mengamati setiap detail dari perubahan kebijakan pendidikan. Oke, itu penting. Tapi, jangan-jangan masalah pendidikan tidak teletak pada kurikulum maupun kebijakan pemerintah, melainkan pada alam berpikir gurunya saja yang belum sampai. Mau gonta-ganti kurikulum model apapun asalkan ada bukunya, mereka tetap akan mengajar seperti biasanya. Mau huru-hara serame apapun, ya tetap tenang-tenang saja.
Kalau kita renungkan sejenak apa sih yang kita harapkan dari pendidikan di negeri ini? Stabilitas hidup? Padahal sepertinya masyarakat sudah sangat stabil. Mereka tak menuntut guru untuk bisa ini-itu, yang penting anaknya bisa manut sama orang tua, dan bisa ngaji. Itu saja. Sosok guru di mata mereka yang penting ramah, murah senyum, dan sapa. Tidak perlu fasih bahasa asing, ikut pelatihan skill sana-sini, apalagi ndakik-ndakik mempelajari metode pendidikan luar negeri. Kadohan!
Jadi, kita mau apa sekarang? Mau usik stabilitas hidup masyarakat kita? Toh, walaupun kita hidup di dunia yang sama, tetapi nyatanya berada di alam berpikir yang berbeda. Mau sehebat apapun menteri pendidikan, mau ngiblat sistem pendidikan terbaik di negara manapun, kondisi pendidikan kita tidak akan banyak berubah. Ibarat kamu menawarkan makan siang sea food terenak di dunia penuh dengan kandungan gizi, mereka tidak peduli karena bagi mereka namanya makan itu ya sama nasi dan yang penting kenyang!
Karena di negeri ini yang penting sekolah tetap jalan. Guru tetap mengajar, murid tetap datang dan kehidupan tetap lanjut seperti biasanya. Kritik? Perubahan? Simpan dulu. Nanti saja kalau sudah lulus sertifikasi—atau mungkin tidak sama sekali.