Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman memperoleh status Daerah Istimewa, yang kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak demikian halnya dengan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Status daerah Surakarta tidak dikukuhkan seperti DIY menjadi Daerah Istimewa Surakarta, tetapi justru dihapuskan, dan Surakarta digabungkan ke dalam Provinsi Jawa Tengah.
Untuk pertama kalinya pengaturan tentang Daerah Istimewa muncul dalam UU No. 1 Tahun 1945, yang dalam penjelasan Pasal 1-nya menyatakan: “Komite Nasional Daerah diadakan di Jawa dan Madura (kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta) di Karesidenan di kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri…”. Pengecualian terhadap Surakarta dan Yogyakarta ini bisa dimaklumi karena keduanya merupakan wilayah kerajaan yang baru saja bergabung dengan republik.
Karena itu, struktur pemerintahan lokalnya diberi peluang menggunakan aturan yang berlainan. Daerah Surakarta dan Yogyakarta pada zaman penjajahan Belanda masing-masing adalah Daerah Swapraja yang besar pengaruhnya. Pada awal revolusi 1945, kedua daerah swapraja tersebut menunjukkan perkembangan yang sangat berbeda, sehingga sikap pemerintah terhadap kedua daerah (swapraja) tersebut pada mulanya belum tegas benar.
Namun demikian, menurut Rochmat Soemitro dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah dari Tahun 1945 s/d 1983 tahun 1983 dengan Komentar, Eresco–Tarate, Jakarta – Bandung, , tidak dapat diragukan lagi bahwa UU No. 1 Tahun 1945 tidak memandang kedua daerah tersebut seperti daerah karesidenan biasa. Jadi ada keistimewaannya. Keistimewaan yang hanya terlihat secara samar-samar (implisit) dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1945 tersebut dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam penjelasan pasal yang bersangkutan, yakni yang antara lain berbunyi sebagai berikut;
“Pasal Pertama: Komite Nasional Daerah diadakan di Jawa dan Madura (kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta) di karesidenan, di kota berotonomi, kabupaten dan lain-lain daerah yang dipandang perlu oleh Menteri Dalam Negeri.
- Ini berarti bahwa Komite Nasional Daerah di Propinsi, Kawedanan, Asistenan (Kecamatan) dan Si-ku dan Ku dalam kota, tak perlu dilanjutkan lagi.
- Tentang Jogyakarta dan Surakarta,dalam surat pengantar rancangan undang-undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rancangan itu, Badan Pekerja Pusat tidak mempunyai gambaran yang jelas. Jika begitulah surat pengantar sekiranya Pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan yang berlainan, Badan Pekerja bersedia menerima untuk membicarakannya- rancangan undang-undang yang mengenai daerah itu.”
Dari ketentuan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1945 beserta Penjelasannya dapat diketahui bagaimana suasana kejiwaan dan arah pemikiran di kalangan pemimpin-pemimpin Indonesia ketika itu tentang Daerah-daerah Swapraja Yogyakarta dan Surakarta. Tidak dibentuknya Komite Nasional Daerah (KND) di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta itu bukan karena BP KNIP tidak menyetujui diberikannya otonomi kepada Daerah Istimewa, tetapi karena Badan Pekerja Pusat tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai daerah itu.
Sekiranya Pemerintah menganggap perlu adanya undang-undang yang khusus mengatur Daerah Istimewa itu, maka Badan Pekerja Pusat bersedia membicarakannya. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman memperoleh status Daerah Istimewa, yang kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tidak demikian dengan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Hal demikian karena adanya “Gerakan Anti Swapradja” pada masa revolusi kemerdekaan yang dimotori oleh kelompok intelektual, pemuda dan pelajar di bawah pimpinan kerabat keraton sendiri yaitu KPH Mr. Sumodiningrat.
Di samping itu, dalam disertasi Edy S. Wirabumi, Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah dengan judul “Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta”, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tidak bisa bekerjasama seperti Kasultanan dan Kadipaten di Yogyakarta. Kemungkinan hal itu disebabkan karena yang satu tidak mau berada di bawah yang lainnya atau sebaliknya, sebab kedua-duanya merasa dirinya sama-sama tinggi dan kuatnya. Dari pihak Sri Mangkunegara tidak pernah ada kesediaan untuk menerima fungsi hanya sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa Surakarta.
Tidak pernah ada tanda-tanda yang menunjukkan kesediaan Sri Mangkunegara untuk memegang fungsi di bawah Sri Sunan. Tuntutan beliau adalah agar Kasunanan Surakarta dijadikan daerah istimewa sendiri di bawah Sri Sunan, sedangkan Mangkunegaran harus dijadikan daerah istimewa juga di bawah pimpinan Sri Mangkunegara, yang berdiri sendiri sebagai daerah istimewa Mangkunegaran di samping, bukan di bawah Daerah Istimewa Kasunanan.
Jadi di Surakarta tidak pernah tercapai kata sepakat untuk mendirikan hanya satu Daerah Istimewa sebagai gabungan daripada Kasunanan Surakarta dan Daerah Mangkunegaran sebagaimana halnya di Yogyakarta.
Pada September 1945 KND mulai dibentuk di Surakarta. Raden Pandji Suroso menjadi Komisaris Tinggi Pemerintah RI yang berkedudukan di Kota Surakarta. Atas usul Badan Pekerja KND, Komisaris Tinggi menyetujui dibentuknya Pemerintahan Direktorium untuk daerah Surakarta. Pemerintahan ini diketuai oleh Komisaris Tinggi dan mempunyai 9 anggota, yaitu 5 dari KND dan 4 merupakan wakil-wakil yang ditunjuk oleh Sri Paku Buwono dan Mangkunagoro.
Gerakan anti swapraja ini kemudian berkembang menjadi aksi penculikan terhadap pembesar pembesar istana dan aksi melepaskan diri di berbagai daerah yang dulunya menjadi wilayah tradisional Surakarta. Fase sejarah gerakan anti swapraja ini seringkali disebut “Revolusi Sosial” di Surakarta.
Berbeda dengan di Yogyakarta yang tidak membentuk Komisaris Tinggi, yang sebenarnya diperuntukkan bagi “empat daerah Kerajaan Jawa” yang disebut “Praja Kejawen”, yakni Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, Kasultanan dan Paku Alaman, sampai jabatan Komisaris Tinggi untuk Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta dihapuskan oleh Penetapan Presiden Tahun 1946 No. 16/SD. Pembentukan Komisaris Tinggi di Yogyakarta ditolak oleh Sri Sultan karena Sri Sultan dalam Amanat 5 September 1945 sudah menegaskan bahwa segala kekuasaan di daerahnya berada di tangannya seluruhnya dan bahwa perhubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan Republik Indonesia bersifat langsung Sejak pembentukan Komisaris Tinggi yang berkuasa di seluruh daerah Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) pada hakikatnya sudah bukan lagi Sri Sunan dan Sri Mangkunegoro atau Pepatih Dalemnya masing-masing, melainkan sejak saat itu yang memegang kekuasaan tidak lain adalah Komisaris Tinggi RI bersama-sama Komite Nasional Indonesia sebagai wakil rakyat dan sehari-hari Direktorium tersebut.
Semua kabupaten dalam kedua daerah tersebut pada akhirnya satu persatu memisahkan diri dari Kasunanan Surakarta dan daerah Mangkunegaran dan menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia langsung di bawah pimpinan Komisaris Tinggi sebagai wakil Republik Indonesia yang sah.
Berlainan dengan perubahan-perubahan di Yogyakarta yang berlangsung dengan tenang, di Surakarta terjadi pergolakan-pergolakan. Pemerintahan Direktorium tidak dapat berjalan lancar, karena pihak Mangkunegaran kurang menyetujui bentuk ini. Di dalam masyarakat mulai timbul gerakan-gerakan yang anti kedua landschappen itu. Di lingkungan para pegawai sendiri juga timbul ketidakpuasan terhadap pembesar-pembesar keraton dan mulai menuntut agar pejabat-pejabat itu diganti dengan tenaga-tenaga yang berjiwa revolusioner.
KNID yang dipimpin Mr. Sumodiningrat, ipar Sunan tidak efektif. Pada 29 Oktober Ir. Sakirman, saudara S. Parman datang ke Surakarta dan mengubah organisasi KNID Surakarta sesuai dengan Maklumat No. X. Pada 1 November dibentuk BPKNID dengan ketuanya seorang veteran PKI sebelum perang, dan dikuasai oleh berbagai golongan pemuda yang berpendirian radikal dan tokoh-tokoh dari pergerakan. Komisaris Tinggi pun tidak dapat mengakomodasikan gerakan rakyat itu dalam suatu Direktorium yang dibentuknya.
Hal ini antara lain disebabkan karena pemerintahan keraton dikuasai orang-orang yang masih mengharapkan kembalinya Belanda dan tidak ada kerja sama antara Kasunanan dan Mangkunegaran. Ketika itu dalam masyarakat tengah berkembang sikap anti swapraja, termasuk gerakan protes terhadap pembentukan Daerah Istimewa Surakarta yang direncanakan oleh Menteri dan Sri Sultan bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI.
Penegasan tersebut lebih dikuatkan lagi dalam Amanat 30 Oktober 1945 diktum keempat yang menyatakan bahwa: “Paduka Tuan Komisaris Tinggi pada tanggal 22-10-1945 di Kepatihan Yogyakarta di hadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh para Pembesar dan para Pemimpin telah menyatakan tidak perlunya akan adanya Subcomissariat dalam daerah kami berdua.”
Sunan Paku Buwono XII yang baru menggantikan ayahnya pada tahun 1944 tidak memikirkan pemerintahan, sehingga pemerintahan tetap di bawah kekuasaan Pepatih Dalem beserta kelompoknya yang masih mengharapkan kedatangan Belanda. Hal ini menimbulkan kerenggangan antara kelompok pergerakan dengan Keraton, yang sangat merugikan kedudukan keraton dalam masa revolusi itu.
Gerakan protes yang dimotori oleh kaum intelektual, pemuda dan pelajar menganggap bahwa terbentuknya Daerah Istimewa Surakarta akan membangkitkan kembali sistem feodalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis di alam kemerdekaan. Ketika itu timbul pula peristiwa penculikan beberapa pembesar Kantor Kepatihan Karaton Surakarta. Rencana Menteri Dalam Negeri untuk membentuk Daerah Istimewa Surakarta itu batal dilaksanakan dan mulai 1 Juni 1946 Surakarta di bawah Pemerintahan Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta, yang beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan sejumlah intelektual.
Kasunanan dan Mangkunegaran kehilangan kekuasaan politiknya setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946,28 karena daerah Surakarta menjadi Karesidenan, dengan Residen Iskak Tjokroadisuryo dan wakilnya Soediro. Pada tanggal 9 November 1946 Iskak dan Soediro diculik oleh gerombolan politik tertentu, tetapi pemerintahan tetap berjalan di bawah Badan Eksekutif yang para anggotanya berasal dari wakil partai-partai politik.
Karena kekacauan politik di Surakarta, Pemerintah Pusat turun tangan langsung untuk mengatasinya. Pada 6 Desember 1946, Gubernur Soetardjo Kartohadikosoemo mendapat tugas merangkap sebagai Residen Surakarta. Dalam suatu sidang DPR Surakarta 27 Februari 1947, Soetardjo mengajukan saran agar Kasunanan dan Mangkunegaran diberi Pemerintahan Otonom, tetapi sidang menolak.
Apa yang ditentukan Soetardjo tentunya sejalan dengan keinginan Pemerintahan Pusat, tetapi elite politik di Surakarta menghendaki dipertahankannya Pemerintahan Karesidenan. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 1947, terjadilah proses pembentukan daerah Surakarta dalam bentuk Haminte (=Balaikota). Menurut UU ini, Haminte di Surakarta bersifat istimewa, karena dapat berhubungan langsung dengan Kementerian Dalam Negeri.
Sebagai Walikota diangkat Sjamsurijal dan Soediro diangkat sebagai Residen. Badan Eksekutif Pemerintahan Balaikota adalah Dewan Pemerintahan Kota. Kota Surakarta menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Surakarta.
Di dalam PP No. 16/SD Tahun 1946 disebutkan bahwa: “Sebelum bentuk susunan Pemerintah Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan UU, maka Daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan satu Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap pegawai Pamong Praja dan Polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura luar Daerah Surakarta dan Yogyakarta.”
Di samping itu, Penetapan Pemerintah tersebut juga menetapkan pembentukan daerah baru di dalam Karesidenan Surakarta dengan nama Kota Surakarta. Belakangan lahir UU No. 16 Tahun 1947 yang membentuk Haminte Kota Surakarta.
Pada 20 Desember 1948, tentara Belanda memasuki Kota Surakarta. Selama pendudukan itu Belanda telah membentuk “Pemerintahan Swapraja”. Karena itu telah terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Pemerintahan Balaikota di satu pihak, dan Pemerintahan Swapraja di lain pihak, yang menimbulkan pro dan kontra. Karena situasi yang memburuk Pemerintah RI, Daerah Surakarta berada dan dikendalikan dari luar kota. Tetapi pada pertengahan Pebruari 1949 tersusun Pemerintahan Pamong Praja dalam kota yang para anggotanya sebagian besar terdiri dari para pelajar.
Pemerintahan ini di bawah perlindungan Tentara Pelajar Rayon Kota, yang dikomandani oleh Achmadi. Munculnya “Pemerintahan Swapraja” yang dibuat oleh Belanda tersebut, telah memperkuat gerakan anti Swapraja, dan pada gilirannya juga memperkuat anti Daerah Istimewa Surakarta. Setelah Belanda meninggalkan Surakarta pada akhir tahun 1949, Pemerintah RI melakukan berbagai penataan pemerintahan, termasuk pengembalian keberadaan Karesidenan Surakarta. Melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. F.X.3/1/13/1950 tertanggal 3 Maret 1950, pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dibekukan, dan hanya terbatas pada pemerintahan di dalam keraton saja.
Dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, telah memantapkan keberadaan Karesidenan Surakarta, yang meliputi wilayah Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Klaten, Karanganyar, dan Sragen.31 Sejak saat itu pengaturan tentang Daerah Istimewa Surakarta tidak pernah lagi dimunculkan di berbagai peraturan perundang-undangan, seolah-olah keistimewaan Surakarta sudah hilang eksistensinya. Setelah lahirnya Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 tertanggal 15 Juli 1946, maka sebelum bentuk/susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, daerah tersebut dijadikan Karesidenan yang berada langsung di bawah pemerintah Republik Indonesia. Apalagi setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 1948 dibentuk Provinsi Jawa Tengah dangan UU No. 10 Tahun 1950, daerah Karesidenan Surakarta tidak dibentuk sebagai Daerah Istimewa Surakarta melainkan menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah.
Dengan demikian, maka proses penghapusan Kasunanan dan daerah Mangkunegaran yang terjadi dari bawah, sementara waktu diperkuat Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946, pada akhirnya dilegalisasi dengan UU No. 10 Tahun 1950.32
Upaya “Pengakuan” Kembali Daerah Istimewa Surakarta?
Apabila dilakukan pencermatan ulang terhadap ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 (hasil perubahan), maka terdapat lima hal pokok, yaitu: bahwa (i) “negara mengakui”, (ii) “negara menghormati”, (iii) yang diakui dan dihormati itu adalah satuan-satuan pemerintahan daerah, (iv) satuan-satuan pemerintahan daerah dimaksud “bersifat khusus” atau “istimewa”, dan bahwa (v) satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa tersebut diatur dengan undang-undang.
Menurut Yohanis Anton Raharusun, Daerah Khusus Dalam Perspektif NKRI, Konstitusi Press, Jakarta, 2009, tentang apa yang dimaksud dengan “negara mengakui”, “negara menghormati”, dan “bersifat khusus” apakah pengakuan tersebut harus bersifat retrospektif, artinya objek yang diakui (daerah) tersebut harus sudah ada terlebih dahulu dari pernyataan pengakuan, atau dapat juga bersifat proaktif dan forward looking, dimana objek yang diakui baru timbul setelah adanya pernyataan pengakuan.
Ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 diadopsi dalam rumusan UUD Negara Republik Indonesia 1945 pada perubahan kedua 2000. Artinya, pernyataan pengakuan dalam Pasal 18B ayat (1) itu baru ada pada tanggal 18 Agustus 2000. Karena itu timbul persoalan, terutama dalam pemberian status khusus bagi suatu daerah, apakah satuan pemerintahan daerah yang dimaksudkan yang harus diakui dan dihormati oleh negara itu hanya satuansatuan pemerintahan sebelum tanggal 18 Agustus 2000 saja, atau dapat pula bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang baru.
Terhadap permasalahan ini tentu dapat pula berkembang dua pendapat yang berbeda satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa yang diakui dan dihormati hanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang sudah ada sebelumnya, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang baru mendapatkan status istimewa atau status khusus pun termasuk yang harus diakui dan dihormati. Permasalahan berikutnya adalah ketika unit pemerintahan daerah dimaksud akan diberi status sebagai daerah khusus atau istimewa, apakah Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dapat dijadikan dasar konstitusional dalam pemberian status tersebut?
Misalnya, sebagai contoh pembentukan Provinsi Papua (dulunya Daerah Provinsi Irian Barat) sejak awal pembentukannya diberi status sebagai daerah otonom oleh UU No. 12 Tahun 1969 dan tidak berstatus sebagai daerah khusus atau pun istimewa. Pemberian status otonomi khusus pada Provinsi Papua lebih didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan bukan karena adanya fakta kesejarahan (sejarah integrasi). Demikian pula pemberian status keistimewaan bagi Provinsi Aceh pun tidak sejak awal pembentukan Provinsi Aceh, tetapi pemberian status keistimewaannya ketika masa reformasi dan transisi demokrasi melalui UU No. 44 Tahun 1999 yang diundangkan pada tanggal 4 Oktober 1999, juga lebih didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan sosio-politik karena masyarakat Aceh terus bergolak.
Dalam perjalanan sejarah Pemerintahan Aceh ternyata pemberian status keistimewaan pun dipandang belum cukup karena secara substantif penyelenggaraan keistimewaan di Provinsi Aceh sama saja dengan daerah lain di Indonesia. Hampir dua tahun berjalannya keistimewaan di Provinsi Aceh, Pemerintah menambah status baru lagi kepada Provinsi Aceh dengan otonomi khusus melalui UU No. 18 Tahun 2001 yang diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001. Lima tahun berselang kemudian, tepatnya tanggal 1 Agustus 2006 kembali lagi Pemerintah merubah status Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Pemerintahan Aceh melalui UU No. 11 Tahun 2006. Di samping itu, melalui UU No. 11 Tahun 2006 tersebut Pemerintah mencabut status otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya UU No. 18 Tahun 2001.
Dari peristiwa pergantian status Provinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa yang kemudian ditambah lagi dengan status Otonomi Khusus dan kemudian diganti lagi bahkan dicabut status otonomi khususnya melalui berbagai undang-undang, menggambarkan secara jelas bahwa parameter pemberian status keistimewaan maupun status kekhususan bagi suatu daerah lebih didasarkan pada pertimbangan politis, tidak ada parameter yang jelas yang dapat dijadikan acuan bagi masyarakat untuk menentukan status bagi suatu daerah. Semuanya seolah sangat bergantung pada kepentingan Pemerintah Pusat dan daya tekan politis masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Adakalanya posisi Pemerintah Pusat sangat dominan menentukan status suatu daerah (status keistimewaan DIY), tetapi adakalanya Pemerintah Pusat berada di bawah tekanan politik masyarakat daerah tertentu (Provinsi Aceh dan Provinsi Papua). Seharusnya Pemerintah menentukan secara tegas dan jelas parameter pemberian status keistimewaan ataupun kekhususan bagi suatu daerah, sehingga eksistensi Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menjadi lebih bermakna dan mudah untuk dipahami, bukan sebaliknya sekedar menjadi ‘pajangan’ atau ‘aksesoris’ belaka.
Bagaimana kalau ada keinginan sekelompok masyarakat (tertentu) yang meminta agar status keistimewaan Surakarta dikembalikan? Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengembalikan status Surakarta sebagai Daerah Istimewa? Apakah keluarga kerajaan atau kerabat/keturunan Paku Buwono dapat melakukan “gugatan dan tuntutan” untuk mengembalikan status Surakarta sebagai daerah Istimewa ke Mahkamah Konstitusi melalui pengujian UU No. 10 Tahun 1950?
Jika ada pihak (masyarakat) yang menginginkan pengembalian status Surakarta sebagai Daerah Istimewa, pertanyaan yang muncul, (1) siapa yang menginginkan pengembalian status Surakarta dan kepada siapa status daerah istimewa tersebut akan dikembalikan? (2) wilayah yang mana yang akan diistimewakan? (3) dimana letak keistimewaannya? (4) apakah masyarakat Surakarta juga menginginkan pengembalian status Surakarta sebagai Daerah Istimewa? (5) apakah keluarga kerajaan/kadipaten Mangkunegaran juga menghendaki pengembalian status Surakarta sebagai daerah istimewa?
Berbagai pertanyaan tersebut layak dikemukakan karena tuntutan pengembalian status Surakarta sebagai Daerah Istimewa bukanlah persoalan yang sederhana. Apalagi, secara historis telah diketahui bahwa dua kerajaan yang ada di Surakarta tersebut tidak pernah bisa menyatu seperti menyatunya dua kerajaan di Yogyakarta, sehingga perlu diperjelas, siapa yang menginginkan pengembalian status Surakarta sebagai Daerah Istimewa tersebut, wilayahnya yang mana saja yang akan dijadikan Daerah Istimewa, letak keistimewaannya dalam hal apa saja.
Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan status Surakarta sebagai daerah istimewa? Hingga saat ini belum ada pengaturan perihal pengembalian status daerah, apalagi pengembalian status daerah istimewa. Yang ada adalah peningkatan status dari daerah administratif berubah menjadi daerah otonom, pemekaran daerah, dan penghapusan daerah. Dengan demikian, apabila ada masyarakat yang menginginkan pengembalian status Surakarta sebagai Daerah Istimewa bisa ditempuh upaya pemekaran daerah, yaitu pemekaran dari Provinsi Jawa Tengah.
Dengan demikian, prosedur pemekaran daerah yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah harus diikuti. Menurut ketentuan PP No. 78 Tahun 2007, aspirasi pemekaran daerah tersebut harus didukung oleh sedikitnya 5 (lima) daerah kabupaten/kota, mendapat persetujuan dari DPRD masing-masing daerah, mendapat persejuan dari DPRD Provinsi Jawa Tengah, DPRD Provinsi Jawa Tengah, dan mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri. Setelah mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak tersebut, barulah Presiden mengajukannya kepada DPR.
Usulan tersebut akan diterima atau tidak, status hukumnya apakah menjadi daerah istimewa atau tidak, sangat bergantung pada pertimbangan-pertimbangan politik Pemerintah dan DPR, serta urgensi pemekaran bagi kepentingan masyarakat di daerah Surakarta.
Bagaimana seandainya masyarakat mengajukan gugatan dan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi melalui pengujian UU No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah? Mahkamah bukanlah lembaga yang kompeten untuk memberikan persetujuan atau pun penolakan terhadap permohonan pengembalian status suatu daerah, misalnya status Surakarta sebagai Daerah Istimewa. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang diberi kewenangan antara lain untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Mahkamah Konstitusi hanya akan menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, serta kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon akibat dikeluarkannya undang-undang tersebut. Melihat persoalan tuntutan untuk pengembalian status Surakarta sebagai daerah istimewa dalam perspektif Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tentu tidak dapat hanya dilihat dari aspek yuridis semata, aspek lain juga perlu dipertimbangkan, misalnya historis ‘hilangnya’ status keistimewaan Surakarta dan juga faktor politis yang melingkupinya. Kajian historis tentang Surakarta yang dahulu diakui sebagai daerah istimewa tetapi kemudian dileburkan menjadi bagian dari Provinsi Djawa Tengah sebagaimana diuraikan di atas, tidak terlepas dari persoalan sejarah yang mengiringi perjalanan dua kerajaan (Kasunanan dan Mangkunegaran) di Surakarta di awal-awal kemerdekaan.
Parameter pemberian status keistimewaan bagi suatu daerah yang dipergunakan oleh Pemerintah hingga saat ini lebih didasarkan pada pertimbangan politis, tidak ada parameter yang jelas yang dapat dijadikan acuan bagi masyarakat untuk menentukan status bagi suatu daerah. Semuanya seolah sangat bergantung pada kepentingan Pemerintah Pusat dan daya tekan politis masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Adakalanya posisi Pemerintah Pusat sangat dominan menentukan status suatu daerah, tetapi adakalanya Pemerintah Pusat berada di bawah tekanan politik masyarakat di daerah tertentu. Seharusnya Pemerintah menentukan secara tegas dan jelas parameter pemberian status keistimewaan ataupun kekhususan bagi suatu daerah, sehingga eksistensi Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menjadi lebih bermakna dan mudah untuk dipahami.
Namun demikian, jika masyarakat menginginkan menempuh melalui jalur pengujian di Mahkamah Konstitusi, maka harus melibatkan banyak pihak untuk ikut mendukung keinginan tersebut. Permohonan akan lebih kuat kalau semua pihak, misalnya Kraton Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, masyarakat di Kota Solo, dan daerah-daerah bekas Karesidenan Surakarta juga dilibatkan, sebagaimana upaya yang dilakukan di Yogyakarta, antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bersatu padu bersama-sama masyarakat menuntut kejelasan status keistimewaan DIY. Tetapi, jika hanya diajukan oleh kelompok tertentu, sementara masyarakat Surakarta dan pihak-pihak lain justru menolak pengembalian status sebagai daerah istimewa, tentu akan menjadi langkah yang sia-sia.