Meski Sederhana dan Terasa Sia-Sia, Skripsi Tetap Akan Mengubah Dunia

Oleh Umu Hana Amini
13 Juli 2024, 19:00 WIB

Mudik ke kampung halaman, saya menyempatkan pada libur Iduladha menghadiri diskusi di salah satu komunitas. Perlu menjadi sebuah catatan, kota asal saya bukan kota (penuh) pelajar, seperti Yogya, Solo, Bandung, Malang, atau Jakarta. Di sini hanya ada beberapa universitas—tidak begitu ternama. Banyak pemudanya yang lebih memilih kuliah di luar kota. Kendati demikian, skripsi menjadi hal yang turut mengisi diskursus.

Menyoal penelitian, itulah topik diskusi. Sebagai “pendatang baru” di komunitas, saya menyimak saja pembicara dan moderator yang sama-sama magister pendidikan. Menariknya, beberapa peserta diskusi bukan mahasiswa, melainkan siswa aktif.

Diskusi tidak perlu muluk-muluk. Saya justru takjub dengan cara penyampaian tokoh-tokoh dalam diskusi yang mencoba lebih sederhana sebab pendengarnya yang beragam. Membahas penelitian tanpa membawa istilah metode dan paradigma agaknya susah, tapi mereka menjadikannya mudah saja dengan pengumpamaan-pengumpamaan keseharian.

Tanpa Hati

Seseorang mengaku sedang menyusun skripsi. Ia tidak terlalu menaruh rasa penasaran dengan penelitiannya karena melakukannya sebatas sebagai pemenuhan tuntutan akademik. Pada semester VI, ia sudah “dikejar-kejar” untuk setor judul. Maka, ia mengejarkan skripsi dengan apa adanya.

Seseorang yang lain “menghiburnya” dengan mengatakan bahwa skripsi bukan hal besar. Yang penting selesai. Lagipula, tidak akan sebuah skripsi, yang nantinya hanya menjadi arsip perpustakaan nihil pembaca itu, dapat mengubah dunia.

Tentu ini klise. Banyak dosen saya sewaktu kuliah juga mengatakan akan hal tersebut. Agar mahasiswanya lekas hengkang dari kampus sehingga kelulusannya dapat menunjang akreditasi program studi. Mahasiswa tinggal menyetujuinya, sepakat bahwa yang mereka perlukan adalah objek, teknik, teori, lalu mengolah data seadanya.

Baca Juga: Metafora dalam Ilmu Alam

Sementara itu, dosen saya yang lain sempat dongkol saat menghadapi skripsi-skripsi mahasiswa yang kacau hingga membacanya seperti sungguh menyiksa. Dalam tulisannya, ia masih sempat menulis bebas di salah satu media massa (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 2023), ia menaruh “Skripsi yang Baik (Tak Sekadar) Selesai” sebagai judul.

Ini memang bukan soal idealisme. Ada banyak faktor mahasiswa harus secepatnya lulus. Jika membahas realitas hari ini, tampaknya itu sudah basi. Terlebih kekesalan terhadap abainya negara pada kegiatan-kegiatan penelitian dan keilmuan—apalagi ranah humaniora.

Keseruan-Keseruan yang Semestinya Melenakan

Beberapa jam sebelum diskusi, saya menghadap Umberto Eco. Membaca kata pengantarnya di buku Bagaimana Menulis Tesis (Ircisod, 2020), saya menggarisbawahi: “… penyelidikan atau riset merupakan sebuah petualangan misterius yang menginspirasikan hasrat dan mengandung banyak kejutan. Bukan hanya individu, tetapi juga seluruh budaya ikut berpartisipasi, ketika ide-ide berkelana dengan bebas, bermigrasi ke mana-mana, lenyap dan muncul kembali.”

Saat ini ketika banyak mahasiswa sebenarnya sudah menjadi fenomena usang—tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian dan menjadikan tugas akhir sebagai momok. Kita amat menyayangkan jika tidak sempat menemukan hal-hal menyenangkan. Eco sendiri menemukan keajaiban ketika ia sedang menyusun pustaka. Dengan begitu, ia percaya diri mengatakan bahwa riset merupakan sebuah petualangan misterius.

Minus Pondasi

Omong-omong soal petualangan dan pencarian, salah satu partisipan diskusi turut berargumen: selama ini penelitian seolah hanya mencari-cari masalah. Disadari atau tidak, menghendaki kondisi ideal atau tidak, diterima atau diabaikan, masalah tetap ada. Meski pada akhirnya hanya menjadi bahan penelitian dan minim tindak lanjut, melakukan riset dapat menjadi langkah awal, menjembatani masyarakat atau objek kepada khalayak luas.

Jika tugas akhir hanya menjadi kewajiban menuntaskan tahapan akademik, bukan pertanggungjawaban terhadap ilmu atau persembahan, anggapan mencari-cari masalah ini tidak terhindarkan. Kita luput menyadari, hari ini kita kehilangan basis sehingga tidak heran jika mahasiswa tingkat akhir gagap riset.

Ialah ketiadaan mata kuliah filsafat ilmu yang semestinya program studi memebrikannya pada tingkat awal. Meski pada semester III—umumnya—mendapat mata kuliah metode penelitian dan sukses membedakan kuantitatif dan kualitatif, tanpa landasan yang kuat, selamanya mahasiswa akan kesulitan menyusun penelitian.

Ada hal yang memperparah kondisi. Dengan orientasi mahasiswa saat ini yang lebih mengarah pada kegiatan magang untuk menambah pengalaman, juga imbas dari adanya kurikulum yang membolehkan mahasiswa mengambil mata kuliah yang ia kehendaki, meninggalkan mata kuliah yang mestinya dikuasai.

Hal-Hal Ngawur Lainnya

Hal mengejutkan, tanggapan atas program mahasiswa UNS yang mengatakan bahwa Indonesia jadi fatherless country ketiga di dunia yang ternyata hanya merujuk pada pernyataan di situs berita. Artikel di Kumparan (8/7/2023) menyebutkan, tidak ada basis riset yang mengatakan bahwa Indonesia seperti yang jadi pijakan berpikir tim mahasiswa UNS tersebut. Lagi-lagi, ternyata, klaim yang sudah menghasilkan sosialisasi demi memenuhi proyek Kurikulum Merdeka itu kurang mendalam sebab dikejar tenggat waktu.

Dengan demikian, jika pencatutan rujukan dilakukan secara serampangan: mengerjakan sesuatu—baik penelitian maupun segala hal—demi proyek belaka; tentu akan banyak kesalah(paham)an yang terjadi. Kesalahan itu memang bisa saja dimaafkan, selama tidak menyebabkan efek domino. Tapi, siapa peduli? Kita butuh instan dan lekas jadi.

Dengan begitu, skripsi mengubah dunia, memang. Boleh jadi tidak mengubah dunia ke arah positif, tetapi negatif. Skripsi, penelitian, memang bukan hal besar. Bahkan, itu hal sederhana saja sebab setiap orang pada dasarnya, dengan rasa ingin tahunya, dapat “meneliti” sesuatu. Sesuai kapasitasnya dan batas-batas koridor keilmiahannya secara mandiri. Namun, nyatanya itu bukan hal sepele.

Skripsi akan selamanya terasa sia-sia jika persembahannya hanya kepada almamater, prodi, dan perpustakaan kampus. Jika untuk ilmu pengetahuan dianggap terlalu tinggi, setidak-tidaknya untuk diri sendiri, nilai diri.[]

Artikel Terkait