Tragedi Robohnya Gedung Pondok Al-Khoziny: Antara Takdir atau Jerat Hukum Kelalaian

Sore itu, tepatnya 29 September 2025, menyeruak tangisan di antara debu bertebaran di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. Debu-debu itu berisyarat. (Maaf) Ratusan Santri tertimbun oleh bangunan bertingkat.

Oleh Lilik Setiawan
14 Oktober 2025, 08:32 WIB

Sore itu, tepatnya 29 September 2025, menyeruak tangisan di antara debu bertebaran di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. Debu-debu itu berisyarat. (Maaf) Ratusan Santri tertimbun oleh bangunan bertingkat.

Konon, mereka sedang melangsungkan shalat Ashar di sebuah Musala yang satu bangunan dengan bangunan yang amburk itu. Sorot mata kemudian tertuju di Pondok itu. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah hanyaak bisa dibilang takdir?

Tragedi ini bukan hanya duka kemanusiaan, tetapi juga alarm keras bagi penegakan hukum dan standar keselamatan konstruksi di fasilitas publik. Jika kita melihat dari kacamata hukum, insiden ini bukan murni “kecelakaan” yang tak terhindarkan, melainkan mengandung unsur kelalaian  yang patut diusut tuntas.

Kelalaian yang Tak Terbantahkan

Fakta-fakta di lapangan seperti yang dikumpulkan dari berbagai sumber menunjukkan adanya beberapa kecerobohan fatal:

Pertama, Gedung Belum Laik Fungsi: Musala tiga lantai itu diketahui masih dalam tahap pembangunan (renovasi) dan baru saja selesai proses pengecoran lantai pada siang hari sebelum kejadian. Secara teknis, struktur bangunan belum kokoh atau belum laik fungsi untuk menahan beban, apalagi menampung ratusan orang.

Kedua, Digunakan untuk Ibadah: Meskipun bangunan belum selesai dan rentan, pengelola membiarkan (atau bahkan mengizinkan) ratusan santri berkumpul di dalamnya untuk salat berjamaah. Ini adalah keputusan yang sangat berisiko tinggi.

Para ahli konstruksi menduga keras penyebab keruntuhan adalah struktur bangunan yang tidak mampu menopang beban pasca-pengecoran. Ini mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap standar teknik sipil yang seharusnya menjadi harga mati dalam setiap pembangunan.

Jerat Pidana Menanti Penanggung Jawab

Dalam konteks hukum, kelalaian yang berujung pada korban jiwa dan luka-luka masuk dalam kategori tindak pidana. Setidaknya ada dua pasal utama yang relevan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

Pada Pasal 359 KUHP: Mengenai kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, kemudian, pada pasal 360 KUHP: Mengenai kelalaian yang menyebabkan orang lain luka berat atau luka-luka.

Inti dari kedua pasal ini adalah: apakah ada tindakan ceroboh dari pihak penanggung jawab yang memiliki hubungan sebab-akibat langsung dengan jatuhnya korban? Jawabannya, menurut analisis hukum, adalah ya. Keputusan untuk menggunakan bangunan yang jelas-jelas belum aman adalah kelalaian yang secara langsung mengakibatkan hilangnya nyawa para santri.

Selain itu, tragedi ini juga menyentuh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Pembangunan fasilitas publik seperti ini wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan harus memiliki izin, yang saat ini dikenal sebagai Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

Dugaan kuat pembangunan musala dilakukan tanpa PBG. Struktur yang roboh menunjukkan kegagalan total dalam memenuhi persyaratan teknis keselamatan bangunan.

Selanjutnya kita diajak untuk memiliki Undang-Undang Bangunan Gedung, melalui Pasal 46 dan Pasal 47, secara tegas mengancam sanksi pidana (penjara hingga 5 tahun dan denda) bagi pemilik atau pengguna bangunan yang tidak memenuhi ketentuan dan mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Mengingat proyek pembangunan pondok pesantren sering kali bersifat swadaya dan tanpa melibatkan kontraktor resmi yang bersertifikasi, sorotan utama pertanggungjawaban pun mengarah kepada otoritas tertinggi atau pimpinan Pondok Pesantren selaku Pemilik dan Penanggung Jawab Proyek.

Pimpinan ponpes, sebagai pengambil keputusan utama, patut diduga bertanggung jawab atas, keputusan membangun tanpa melibatkan ahli konstruksi yang kompeten dan keputusan mengizinkan penggunaan bangunan yang secara fisik belum laik fungsi untuk kegiatan berjamaah ratusan santri.

Hukum tidak mengenal status sosial atau jabatan. Jika unsur kelalaian dan pelanggaran standar keselamatan terbukti, maka Kepolisian wajib mengusut tuntas dan menetapkan tersangka untuk memastikan keadilan bagi para korban dan keluarganya.

Tragedi Al-Khoziny harus menjadi pelajaran pahit bagi seluruh lembaga pendidikan dan ibadah di Indonesia. Keselamatan para santri adalah prioritas utama, bukan hanya masalah dana atau kecepatan pembangunan. Kepatuhan pada standar konstruksi dan perizinan yang sah bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan demi nyawa dan masa depan generasi kita.

Artikel Terkait