Jalan Tak Ada Ujung: Cemas dan Pengharapan

Oleh M Ghaniey Al Rasyid
20 Juni 2024, 14:51 WIB

“Manusia mesti belajar menguasai ketakutannya. Merasa takut adalah satu perasaan yang sehat, dan kerja kita ialah melawan rasa takut.” (Hlm. 120). Tukas Hazil bergumam membicarakan rasa takut yang terus mencecar dirinya seiring hembusan asap kayu yang dilahap api.

Sebuah novel gubahan Mochtar Lubis berjudul Jalan Tak Ada Ujung (1952) menggambarkan situasi pelik setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ingar-bingar suka nan cita menjemput kemerdekaan tak dapat dibayar dengan instan. Hindia Belanda tak tinggal diam atas apa yang dilakukan oleh orang-orang republik. Pertikaian, penyerangan dan pengorbanan tak luput setelah kemerdekaan dijemput.

Mafhum, ketakutan sering kali terbesit dalam diri mereka. Kondisi demikian terbesit cukup kentara dalam air muka tokoh pada cerita Jalan Tak ada Ujung. Hazil, Rakhmat, Guru Isa, Fatimah, Salim, Tuan Hamidy dan beberapa tokoh pelengkap yang bermain mimik agar tak dihinggapi perasaan takut.

Latar waktu di zaman revolusi di mana kokangan senjata, granat dikantung celana, wajah kumal dihinggapi debu dan perasaan gundah-gulana jadi perasaan wajib di sela-sela republik mempertahankan republik dari cengkraman Hindia Belanda. Meski realitas benar-benar memojokkan mereka, mereka kemudian dipaksa untuk mencecap derita semberi mencari kebahagian di puing-puing ketakutan.

Pagi yang kiwari kita rasakan sebagai hari cukup berbahagia, dapat menikmati semilir angin bercampur halimun yang membelai kulit, ditambah secangkir kopi hangat membasuh lidah yang kering. Namun, secangkir kopi yang hangat itu tak sejernih menikmati kopi seperti kondisi kiwari. Hazil, guru Isa, dan Rakhmat harus memasang mata lamat-lamat mempersiapkan kemungkinan buruk terjadi, seperti penangkapan dan penyerangan.

Ketakutan demi ketakutan terus menghinggapi. Guru Isa sebagai tokoh utama dalam cerita beberapa menggigit kuku jarinya. Batinnya cukup terpukul di tengah gendering perang dan penangkapan menyeruak tak pandang bulu. Sebagai guru ia tak luput untuk menyuluh kebaikan kepada sang Murid. Dia selalu menyembunyikan ketakutan dengan senyum masam dipaksakan.

Guru Isa tak percaya dengan kekerasan. Situasi medio 1947 yang sungguh lekat menyoal pertarungan, penembakan dan bergelimpangan kunarpa beserta lalat ijo yang menggerayangi. Batinnya yang terus bergejolak membikin dirinya sering demam dan membuat kepalanya dihantam migrain.

Kendati hujaman tak berujung matanya yang meniliki dan akal yang merekam sampai ajal menjemput, mencabik-cabik guru Isa yang memiliki prinsip hidup damai, tenang tanpa pertikaian di sela-sela kehidupan. Realitas tak seperti yang diharapkan guru Isa. Pemuda-pemudi menjadi pemberang. Ketakutan mereka ganyang mentah-mentah untuk sebuah nama yaitu kebebasan.

“Dan Guru Isa ingat jalan tiada ujung. Sesekali dijalani harus dijalani terus, tiada habis-habisnya. Terutama ketakutannya sendiri. Dia takut dengan mereka yang memperolok maut ini. Dan lebih takut lagi untuk tidak ikut.(Hlm; 92).

Mochtar Lubis menggambarkan bagaimana situasi perang benar-benar mencekam. Nyawa manusia seperti tikus-tikus di ladang yang terjerat oleh jebakan yang membikin nyawa mereka melayang. Mochtar sungguh teliti. Kita seakan diajak menerawang situasi psikologis disaat dentum martir dan genjatan senjata menyeruak mempengaruhi aktivitas hari-hari manusia yang merindukan kemerdekaan.

Ketakutan untuk Dihadapi

Secara garis besar, novel Jalan Tak Ada Ujung menggambarkan bagaimana sengketa batin dan realitas berkecamuk memekik. Adalah sengketa merengguh ketenangan, kebahagian untuk hengkang dari perasaan takut maupun cemas. Di balik manifesto nasionalisme yang terselip semangat pengorbanan tiada ampun, novel itu cukup penting dalam menerawang konsep psikis dalam tokoh cerita.

Manusia sering mengidap kecemasan. Syahdan, kecemasan yang berkeliling di alam sadarnya bila tak terbendung membikin dirinya hanyut dalam derap derita ketakutan. Perasaan untuk mencerabut ketakutan itu, mengarahkan manusia untuk berlagak bergerak menjauhi ketakutan. Syahdan, manusia bertarung dengan pikirannya sendiri seperti guru Isa yang sia-sia ingin melarikan diri dari realitas.

“Ketakutannya untuk tinggal terus di Jakarta menghadapi kekurangan gaji setiap hari, terror Nica setiap saat siang dan malam, tiba-tiba bertambah besar. Berlipat ganda. Dia merasa seakan orang demam. . .” (Hlm.101).

Perasaan cemas yang bergulir silih berganti tak dapat dibendung. Bulu kudunya bergidik setiap saat ketika ingatannya memaksa menilik kunarpa yang robek tersayat, jeritan tangis bocah-bocah polos kehilangan ibunya hingga, ia menyadari kekerasan demi kekerasan terus terjadi diatas suluh kebebasan.

Menyoal, cemas, takut maupun takut, Sigmund Freud menguliti dengan cukup jelas. Dalam Psikoanalisis (Penerbit Ikon Teralitera, 2002), Freud membeberkan kecemasan/ketakutan. Meski Freud memandang kecemasan sebagai perkara yang alami bagi diri manusia. Namun kecemasan bisa membikin seseorang menderita ketika tak dapat menilik lebih jeli persinggungan antara kecemesan dengan diri mereka.

Syahdan, kepala migrain, demam, ingin muntah tersirat dalam air muka guru Isa yang terlilit kecemasan. Lebih dalam, Freud menerawang kecemasan ketika pertarungan eros berupa libido lebih kecil dibandingkan ketakutan. Alhasil munculah sebuah keterasingan yang diselimuti oleh kecemasan yang mengganyang tubuh seseorang.

Ketakutan/cemas yang diidap guru Isa membikin segalanya hancur. Tali cinta dengan istri hampir kandas, batinnya bergejolak oleh perasaan cemas, dan sulit untuk menentukan waktu tidur dengan baik. Kecemesan yang diidapnya membikin guru Isa menemui seeorang dokter. “Dan dokter mengatakan impotensinya adalah semacam psychishenya sendiri.” (Hlm.29).

Setiap manusia pasti pernah mengalami kecemasan. Kecemasan yang silih berganti menggelitik kesadaran manusia di sela-sela detik jarum jam berdenting. Freud memberi petuah, bahwa kecemasan ialah kondisi normal seseorang untuk menyalakan sebuah sinyal insting ego sebagai perlindungan diri dari realitas yang terkadang tak selaras dengan apa yang diharapkan.

Guru Isa yang cemas alhasil dapat menyadari rangsangan ego yang deras menyeruak guna menebas kecemasan yang beberapa kali ingin merambati dirinya. Guru Isa menemukan caranya. Ia kemudian menemukan sinar kebahagiaan walau beberapa kali kecemasan tetap saja muncul.

Jalan Tiada Ujung novel cukup penting bagi pembaca yang ingin menyelami kondisi psikis orang-orang di era perang yang penuh letupan juga tekanan. Novel itu disamping menggambarkan pelik-pelik merebut kemerdekaan, namun juga memberi secercah perenungan mengenai manusia, kesadaran dan pertaruhan. Sekian.[]

Artikel Terkait